Saturday, April 27, 2024
BerandaSudut PandangOpiniMencermati Seks Pranikah pada Usia Anak-Remaja di Pulau Nias

Mencermati Seks Pranikah pada Usia Anak-Remaja di Pulau Nias

GENERASI PENERUS

Oleh Beniharmoni Harefa

Saat mendampingi beberapa kasus seks pranikah usia anak-remaja, khususnya di Kepulauan Nias, penulis terkadang tidak mampu menalar, anak SMP atau SMA, sudah akrab dengan dunia seks pranikah. Bahkan, terdapat anak-remaja, yang sudah berulang-ulang melakukan seks bebas dengan pacarnya. Hal tersebut menjadi biasa, bahkan terulang saat si anak-remaja berganti pacar.

Seks pranikah pada usia anak-remaja semakin mengkhawatirkan. Mencengangkan! Namun, demikianlah fakta, potret kehidupan anak-remaja saat ini. Guna menyeragamkan pemahaman, yang dimaksud usia anak-remaja dalam tulisan ini, yakni seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Siapa Pelaku dan seperti Apa Modus?

Apabila mencermati beberapa kasus seks pra nikah pada usia anak-remaja, tidak dimungkiri, teman acap kali menjadi pelakunya. Teman yang dimaksud adalah teman spesial si korban, atau dalam bahasa mudanya “pacar”. Teman spesial atau pacar ini awalnya berkenalan secara biasa kepada korban. Kenalan di sekolah, media sosial, tempat privat les, bahkan ada juga kenalan di rumah ibadah. Berkenalan itu, biasanya berlanjut lebih dekat, diajak jalan, hingga traktir-mentraktir, dan sebagainya.

Beniharmoni Harefa —Foto: Dokumentasi Pribadi
Beniharmoni Harefa —Foto: Dokumentasi Pribadi

Lalu tak terhindarkan, pacaran di tempat sepi, serta sang pacar pada gilirannya akan meminta bukti cinta kepada pacarnya, yakni seks. Melakukan berulang-ulang hingga menjadi hal wajar ketika si korban ataupun pelaku bersama pacar yang lain. Dalam salah satu kasus yang pernah penulis dampingi, jawaban dari salah seorang anak pelaku bahwa si korban bukanlah pertama kali dengan pelaku. “Bersama pacar sebelumnya juga pernah kok bang”. Jawaban enteng itu terlontar. Demikianlah fakta di dunia anak-remaja saat ini.

Pada beberapa kasus, yang pernah dijumpai khususnya di Pulau Nias, kasus seks pranikah itu acap kali terjadi di warung internet (warnet), pantai-pantai, rumah/indekos pelaku, hotel, dan tempat lainnya. Kalau dipikir-pikir untuk apa juga warnet menyediakan bilik-bilik tertutup apabila hanya mengakses informasi untuk mengerjakan tugas sekolah, misalnya.

Pantai-pantai juga tidak perlu menyediakan pondok tertutup, kalau hanya untuk menikmati pemandangan laut. Rumah/indekos siswa/mahasiswa juga jarang dipantau oleh si empunya. Hotel juga demikian, petugas resepsionis hotel, tidak terlalu mementingkan siapa penyewa kamarnya. Rupiah lebih penting daripada perlindungan masa depan anak-remaja.

Mengapa Terjadi?

Usia anak-remaja memang identik dengan kenakalan (delinquency). Pada usia ini, rasa ingin tahu tentang sesuatu hal, amatlah besar. Suka meniru dan mudah terpengaruh, menjadi ciri khas pada usia anak-remaja, termasuk melakukan seks pranikah. Banyak kalangan sembarangan menilai, jika mendengar terjadi seks pranikah pada usia anak-remaja itu memang karena si anak berperilaku demikian. Padahal, anggapan itu hanya memojokkan anak, serta menggunakan penilaian dari sudut pandang yang sangat sempit.

Anthony M Platt (1977), penulis sepuluh buku dan 150 esai dan artikel yang berhubungan dengan isu-isu ras, ketimpangan, dan keadilan sosial dalam sejarah Amerika Serikat, menggambarkan, keadaan struktur sosial yang ada di sekitar anak menjadi penyebab kenakalan. Struktur sosial itu, dimulai dari keluarga (orangtua), lingkungan tempat tinggal, lingkungan pendidikan (sekolah) menjadi poin penting, penyebab kenakalan anak. Pada gilirannya, masyarakat sekitar dan pemerintah juga turut andil. Lingkungan sosial di sekitar anak menjadi penyumbang terbesar penyebab kenakalan anak-remaja.

Jika dikaitkan dengan seks pranikah, setidaknya ada tiga penyebab anak-remaja melakukan seks pranikah. Pertama, kurangnya perhatian dan pengawasan orangtua. Sering orangtua merasa cukup apabila anak sudah aktif dalam kegiatan dan organisasi serta berprestasi di sekolah. Pengenalan secara dekat pada aktivitas keseharian anak, bukan menjadi agenda penting orangtua.

Baca juga:  Ini Jawaban Hilarius Duha atas Pertanyaan Warganya

Perhatian dan pengawasan orangtua juga kurang, terhadap akses informasi yang diterima anak. Di era yang serba digital saat ini, jika kurang pengawasan, akan membawa efek negatif bagi anak. Akses informasi yang dicerna anak, akan mempengaruhi konstruksi berpikir dan pergaulan mereka. Akses yang dimaksud termasuk internet, film, reality show, sinetron, dan tayangan lainnya.

Pada pertengahan tahun 2012 yang lalu, penulis mendampingi seorang anak yang melakukan kasus pencabulan. Pengakuan jujur sang anak (pelaku), perbuatan pencabulan dilakukan, dikarenakan sering membaca situs dan menonton film porno di warung internet langganannya. Saat ada kesempatan, pelaku mengajak pacarnya (korban) ke kamar indekosnya. Di situlah perbuatan pencabulan terjadi. Apabila yang diakses tidaklah tepat, maka media informasi, dapat merusak pola berpikir, bertindak, bergaul anak. Penyalahgunaan kecanggihan teknologi, dapat merusak anak.

Kedua, kurang perhatian dan pengawasan guru. Nilai-nilai moral murid, sering terlupakan dari program pengajaran guru. Prestasi dianggap lebih berharga dibandingkan dengan nilai moral seperti kejujuran dan kesederhanaan. Perhatian dan fokus guru lebih ditekankan pada aspek nilai akademik semata sehingga tidak jarang, anak lebih memilih berprestasi dengan berbagai usaha, dari pada belajar dengan sungguh-sungguh. Merosotnya nilai moral itu menjadi penyumbang utama, anak melakukan berbagai jenis kenakalan termasuk seks pranikah.

Ketiga, pengawasan/pemberian izin pada usaha warnet, pantai, rumah indekos, hotel (penginapan), amatlah longgar. Si pemberi izin berhenti pada penerbitan surat izin usaha saja, tidak lagi turut campur pada difungsikan untuk apa usaha tersebut sehingga sering kali tempat-tempat ini menjadi tempat strategis bagi anak-remaja melakukan aksinya.

Stop Seks Pranikah

Miris memang. Usia anak-remaja yang seharusnya berada pada tahap mempersiapkan diri sebagai generasi penerus, justru melakukan seks pranikah. Melihat faktor penyebab di atas, setidaknya ada tiga alternatif penanggulangan seks pranikah pada usia anak-remaja.

Pertama, perhatian dan pengawasan orangtua pada anak-remaja harus maksimal. Orangtua harus mengenal dekat keseharian anak. Mengenal siapa teman dekat, ke mana setelah pulang sekolah, situs apa saja yang biasa diakses, melalui HP, gawai (gadget), laptop, komputer milik si anak. Pendidikan seks (sex education) juga perlu disampaikan orangtua agar anak-remaja tidak memperoleh informasi yang keliru tentang seks.

Kedua, guru sebaiknya tidak terfokus pada nilai akademik semata. Pendidikan dan pengajaran guru, sebaiknya lebih menekankan pada aspek kejujuran, kesederhanaan, konsistensi, ketekunan, dan berbagai nilai moral lainnya. Guru menjadi bagian terpenting, karena sebagian waktu anak-remaja, dihabiskan di lingkungan sekolah. Maka keteladanan yang diperoleh dari guru, akan memberikan dampak positif pada perkembangan pemikiran anak. Pemikiran positif dari anak-remaja, mempengaruhi tindakan dan pergaulan mereka.

Ketiga, pemerintah khususnya pemerintah daerah, kiranya memperketat pemberian izin dan pengawasan bagi warung internet (warnet), pantai-pantai, rumah/indekos pelaku, hotel, dan tempat lainnya di mana anak-remaja acap kali melakukan praktik seks pranikah. Peran serta masyarakat untuk mengawasi juga diperlukan sehingga ke depan seks pranikah pada usia anak-remaja dapat dihentikan. [Beniharmoni Harefa,     Pernah Bekerja di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias; Saat ini sedang menempuh pendidikan lanjutan di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Lahir dan dibesarkan di Gunungsitoli]

RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments