Oleh Postinus Gulö, SS., M.Hum
Menyampaikan kritik mesti dengan niat tulus. Kritik mesti didukung oleh data yang akurat untuk membuka pikiran pembaca dan tentunya pikiran mereka yang menjadi alamat kritik masyarakat. Jika masyarakat mengkritik pemerintah kabupaten (pemkab), itu berarti masyarakat menaruh harapan besar kepada pemkab. Masyarakat pun terlibat mengontrol dan mengevaluasi kinerja pemkab. Sikap ini juga merupakan bagian dari keikutsertaan masyatakat dalam pembangunan Nias Barat.
Kita jangan sampai terperangkap pada kecenderungan seperti yang dibongkar oleh ahli ekonomi berdarah India-Amerika, Profesor Ravi Batra. Dalam bukunya The Coming Revolution Against Corruption and Economics Chaos (20017), Batra mengatakan bahwa ada banyak kaum intelektual tidak berani mengkritik penguasa. Mereka tidak ingin kehilangan karier yang telah membuat mereka nyaman. Malah mereka bersekongkol dengan elite penguasa agar kepentingan mereka terlindungi. Ternyata hanya sedikit saja yang berani mengkritik, berani mengambil risiko melawan gelombang pasang kebijakan politik ekonomi yang salah arah. Tujuan mereka hanya satu: ikut memperbaiki pelayanan terhadap masyarakat (Ravi Batra: 2007, 103).
Tulisan ini berdasarkan analisis terhadap data APBD-PAPBD Nias Barat tahun 2017 dan LHP No 65.A/LHP/XVIII.MDN/07/2017. Tentu saja tulisan ini suatu kritik, sekaligus evaluasi dan kontrol rakyat agar kinerja Pemkab Nias Barat sesuai dengan semangat Daerah Otonomi Baru (DOB): Kinerja Pemkab untuk menyejahterakan masyarakatnya. Bapak Bupati Faduhusi Daeli dan Bapak Wakil Bupati Khenoki Waruwu telah dilantik 22 April 2016. Artinya, kini (2018) mereka hampir 3 tahun memimpin Nias Barat. Saya masih ingat janji kampanye mereka bahwa dalam jangka 3 tahun saja mereka mampu membangun infrastruktur jalan dari pusat kabupaten ke semua (8) pusat kecamatan. Janji ini jauh meleset. Padahal, mereka punya slogan yang terdengar heroik: “Kami pembawa perubahan agar Nias Barat berdaya”!
Program Prorakyat Dikurangi
Tahun 2016-2017, saya amati benar menjadi tahun-tahun terbongkarnya defisit APBD Nias Barat. Akan tetapi, ada hal yang perlu diluruskan: oknum pejabat saat ini justru bukan melakukan autokritik memperbaiki kinerjanya. Malah menuduh orang lain sebagai penyebabnya. Alhasil, muncullah beberapa tanggapan kritis dari masyarakat. Bahkan, mantan Bupati Nias Barat Bapak Adrianus Aroziduhu Gulö ikut nimbrung menyampaikan tanggapan sekaligus klarifikasi karena ada oknum yang menuduhnya tanpa dasar.
Dalam pengamatan saya, minimal ada dua tanggapan masyarakat yang perlu kita perhatikan. Pertama, defisit itu hal biasa, tidak perlu ditakuti karena tidak melanggar hukum. Kedua, defisit merupakan ketidakmampuan pengelolaan keuangan daerah. Penyusunan anggaran tidak berdasarkan kemampuan keuangan daerah melainkan menurut selera yang tak terukur dan kurang akuntabel. Seiring berubahnya waktu kedua tanggapan masyarakat tersebut mulai terlihat yang mana yang lebih akurat.
APBD Tahun 2017 ditetapkan 13 Januari 2017 oleh DPRD Nias Barat. Termasuk pengesahan tercepat! Tentu saja pengesahan APBD ini memunculkan harapan akan adanya perubahan kehidupan masyarakat Nias Barat. Namun, harapan itu seolah sirna dan tak mungkin terwujud. Mengapa? Rupanya dalam PAPBD Tahun 2017 yang ditetapkan 9 Oktober 2017 ada sejumlah kegiatan strategis dan prorakyat dikurangi dengan alasan: kekurangan uang dalam APBD. Bahkan dikurangi pula kebutuhan mendesak, seperti program air bersih, pembelian pupuk, dan beasiswa.
Anehnya, justru yang dinaikkan biaya operasional para pejabat! Politik anggaran semacam ini wajib kita kritik, terutama karena tak sejalan dengan slogan pimpinan Pemkab sejak kampanye hingga kini: “Nias Barat berdaya”. Yang diberdayakan bukanlah masyarakat, malah pejabatnya! Di bawah ini penulis perlu menyajikan beberapa perubahan APBD Nias Barat.
Anehnya, justru yang dinaikkan biaya operasional para pejabat! Politik anggaran semacam ini wajib kita kritik, terutama karena tak sejalan dengan slogan pimpinan Pemkab sejak kampanye hingga kini: ”Nias Barat berdaya”.
Pertama, pengurangan anggaran di Dinas Pendidikan. Dalam APBD (Januari 2017) anggaran untuk program pengembangan standar minimal pendidikan dasar sebesar Rp 2.750.000.000. Akan tetapi, dalam PAPBD (Oktober 2017) justru dikurangi sekitar 79 persen. Kini tinggal Rp 562.017.500, berkurang sebesar Rp 2.187.982.500. Tidak hanya itu, program beasiswa untuk jurusan tertentu yang tadinya sebesar Rp 4.226.000.000, kini tinggal sebesar Rp 3.704.920.000. Artinya, berkurang sebesar Rp 521.080.000.
Kedua, pengurangan anggaran di Dinas Pekerjaan Umum (PU). Program pembangunan atau rehabilitasi dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya dalam APBD sebesar Rp 2.000.000.000. Akan tetapi, dalam P-APBD dipreteli menjadi sebesar Rp 494.680.000. Dengan kata lain, berkurang sebesar Rp 1.505.320.000. Penulis juga meneliti dan menganalisis pengurangan anggaran untuk program perumahan, permukiman, air minum, dan sanitasi. Awalnya biaya program-program prorakyat ini sebesar Rp 13.044.142.850. Alangkah ironisnya justru dalam PAPBD dikurangi sangat besar, tinggal Rp 2.945.478.550 atau berkurang sebesar Rp 10.098.664.300. Padahal, program-program Dinas PU ini langsung menyentuh kehidupan masyarakat Nias Barat jika benar-benar dilaksanakan.
Ketiga, pengurangan anggaran di Dinas Perumahan. Tadinya anggaran program kinerja pengelolaan persampahan telah disahkan sebesar Rp 796.000.000. Akan tetapi, Pemkab mengubah anggaran ini dalam P-APBD menjadi sebesar Rp 200.000.000, berkurang sebesar Rp 596.000.000.
Tidak Dilaksanakan
Dalam data BPS tahun 2014 terlihat jelas bahwa pembangunan pertanian di Kabupaten Nias Barat pada tahun 2013 memberi sumbangan PDRB (produk domestik regional bruto) sebesar 73,63 persen. Dari data ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya sebagian besar masyarakat Nias Barat memiliki mata pencarian di bidang tanaman bahan makanan/pangan, tanaman perkebunan dan peternakan. Mestinya Pemkab meningkatkan pelaksanaan anggaran di bidang ini. Itu sebabnya, saya—dan tentu juga masyarakat petani di Nias Barat—sangat bersemangat ketika dalam APBD 2017 ada tercantum beberapa program yang dapat membantu petani.
Namun, pada PAPBD sebagian program prorakyat itu justru tidak dilaksanakan. Kenyataan ini membuat kita semua kecewa. Kami amati ada dua Dinas, yakni Dinas Pertanian dan Pariwisata, yang awalnya punya program yang dapat membantu para petani dan kemajuan pariwisata. Anggaran terhadap program-program ini pun sudah dialokasikan dalam APBD induk. Akan tetapi, pada PAPBD justru tidak dilaksanakan, antara lain:
Pertama, anggaran program pengadaan pupuk sebesar Rp 2.500.000.000, sesudah PAPBD menjadi Rp 0 (nol) alias tidak dilaksanakan. Begitu pula program penyediaan tenaga ahli di bidang pertanian dengan anggaran sesuai APBD sebesar Rp 200.000.000, malah tidak dilaksanakan alias menjadi sebesar Rp 0 (nol) pada PAPBD. Ada satu lagi program yang tidak dilaksanakan, yakni program pengadaan bibit pinang. Anggaran untuk program ini tadinya sebesar Rp 150.000.000, setelah perubahan menjadi sebesar Rp 0 (nol).
Kedua, anggaran program pembangunan guest house di Pantai Sirombu awalnya sebesar Rp 2.000.000.000. Rupanya program ini tidak dilaksanakan. Padahal, program ini sangat menunjang pariwisata Nias Barat.
Kita masih ingat, ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Pulau Nias, 19 Agustus 2016, dengan jelas menyatakan: “Potensi terbesar Pulau Nias ada dua: pariwisata dan perikanan. Pada dua hal ini kita harus fokus dan beri prioritas”. Akan tetapi, melihat komposisi APBD Nias Barat dan pelaksanaannya, ternyata Pemkab Nias Barat lalai mewujudkan harapan Presiden ini, yang adalah harapan masyarakat Nias Barat juga.
Biaya SPPD Dinaikkan
Walaupun belum keluar hasil evaluasi BPK terhadap penggunaan APBD 2017, tetapi setelah penulis mempelajari Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang PAPBD 2017, ternyata defisit tidak bisa dihindari, jika dilaksanakan sesuai yang telah ditetapkan berdasarkan persetujuan DPRD. Artinya, Pemkab Nias Barat belum juga jera dengan defisit yang terjadi pada tahun 2016. Seperti kita ketahui bersama bahwa salah satu penyebab terjadinya defisit APBD tahun 2016 adalah kenaikan biaya perjalanan dinas (SPPD) para pegawai yang melonjak sangat besar, yakni Rp 45.820.230.099. Padahal, pada 2015 hanya sebesar Rp. 28.196.409.239. Artinya, SPPD naik sebesar Rp 17.623.820.860.
Kenyataan ini sangat ironis. Pemkab Nias Barat dalam penganggaran ternyata tak pro-rakyat. Buktinya, Pemkab Nias Barat berani mengurangi berbagai program yang prorakyat dengan alasan: kurang anggaran, tetapi justru berani menaikkan lagi SPPD pada tahun 2017. Dalam APBD tahun 2017 kita mendapatkan beberapa SPPD yang mendapat kenaikan pada kisaran 13 persen hingga 185 persen, misalnya:
Pertama, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan dalam APBD induk sebesar Rp 81.000.000. Tapi dalam PAPBD menjadi sebesar Rp 231.000.000, naik sebesar Rp 150.000.000. Kenaikan serupa terjadi di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup awalnya sebesar Rp 100.000.000. Sesudah perubahan menjadi sebesar Rp 280.000.000, naik sebesar Rp 18.000.000.
Kedua, Dinas Pendidikan telah dianggarkan dalam APBD sebesar Rp 200.000.000. Rupanya dalam P-ABPD naik menjadi sebesar Rp 500.000.000. Artinya naik sebesar Rp 300.000.000. Begitu juga di bagian Inspektorat mengalami kenaikan signifikan. Awalnya sebesar Rp 100.000.000. Akan tetapi, sesudah perubahan menjadi Rp 300.000.000, naik sebesar Rp 180.000.000.
Ketiga, kenaikan SPPD di Bappeda cukup besar. Awalnya sebesar Rp 150.000.000. Ternyata dalam P-ABPD menjadi Rp.350.000.000. Dengan kata lain, naik sebesar Rp 200.000.000 (133,33 persen). Tidak jauh beda, Dinas Pekerjaan Umum mengalami kenaikan, awalnya Rp 200.000.000, tetapi sesudah perubahan menjadi sebesar Rp 450.000.000. Mengalami kenaikan sebesar Rp 250.000.000 (125 persen).
Keempat, Di bagian Sekretaris Derah tak luput juga dari kenaikan SPPD. Dalam APBD induk sebesar Rp 3.075.000.000, tetapi sesudah perubahan menjadi sebesar Rp 4.735.600.000; naik sebesar Rp 1.660.000.000. Begitu juga di pos anggaran SPPD di BPKPAD mengalami kenaikan. Sebelum perubahan sebesar Rp 750.000.000, tetapi sesudah perubahan menjadi sebesar Rp 850.000.000, ada kenaikan sebesar Rp 100.000.000.
Ada yang tak masuk akal dalam kenaikan SPPD itu. PAPBD Nias Barat ditetapkan pada tanggal 9 September 2017. Sementara masa penggunaan anggaran hanya sampai bulan Desember 2017. Maka muncul pertanyaan: bagaimana mereka menghabiskan alokasi SPPD yang naik sangat besar itu hanya dalam waktu tiga bulan?
Ada yang tak masuk akal dalam kenaikan SPPD itu. PAPBD Nias Barat ditetapkan pada tanggal 9 September 2017. Sementara masa penggunaan anggaran hanya sampai bulan Desember 2017. Maka muncul pertanyaan: bagaimana mereka menghabiskan alokasi SPPD yang naik sangat besar itu hanya dalam waktu tiga bulan?
Dari kenyataan ini dapat kita lihat adanya potensi rekayasa serta mengesampingkan prinsip penggunaan anggaran, yakni hemat, tidak mewah, efektif, efisien sesuai Permendagri No 13/2006 Pasal 122 ayat 10.
Sibuk Bayar Utang?
Dalam APBD Tahun 2017 terlihat jelas bahwa begitu besar anggaran yang dialokasikan untuk Dinas PU dan Penataan Ruang. Ternyata angaran sebesar itu tidak semua digunakan untuk pembangunan fisik, melainkan dipakai sebagian untuk membayar utang tahun sebelumnya yakni utang tahun 2016. Pengalihan semacam ini disebut DPAL (dokumen pelaksaan anggaran lanjutan). Misalnya, belanja modal sebesar Rp 147.800.000.000, berubah menjadi Rp 125.282.020.000. Artinya, berkurang sebesar Rp 22.517980.000, dan uang yang berkurang itu digunakan untuk bayar utang tahun 2016.
Kita merindukan Nias Barat berdaya. Harapan besar mayoritas masyarakat Nias Barat kepada pimpinan Nias Barat, sejak awal sudah terlihat. Akan tetapi, kita tidak boleh terlena. Wujud cinta kita kepada pimpinan kita adalah mesti berani mengkritik mereka secara positif dan konstruktif. Oleh karena itu, kita semua perlu mendalami pos-pos anggaran tertentu dalam APBD Nias Barat yang dialokasikan untuk bayar utang atau DPL. Mengapa? Menurut analisis saya, ada yang aneh dan di luar kelaziman administrasi keuangan negara. Misalnya, DPAL/utang tersebut tidak tercatat dalam APBD induk, melainkan muncul pada P-APBD.
Bahkan, jika kita teliti secara mendalam dan obyektif, dokumen pelaksanaan anggaran lanjutan mengandung arti bahwa sebagian besar kegiatan/program tersebut telah diksanakan pada tahun sebelumnya, pada tahun 2017 dilanjutkan agar bermanfaat.
Lebih aneh lagi, karena rupanya DPAL/utang tersebut tidak tercatat dalam buku utang oleh BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Utara sebagaimana bisa kita baca dalam LHP nomor 65A/LHP/XVII.MDN/07/2017 dalam lampiran 8 dan 9, yang dikeluarkan pada 12 Juli 2017.
Penegak Hukum dan BPK
Biasanya tim audit BPK turun ke kabupaten/kota antara Februari dan Mei. Jika DPAL/utang belum diketahui besarnya waktu penetapan APBD induk itu artinya APBD induk ditetapkan pada bulan oktober. Akan tetapi, utang/DPAL sudah diketahui pada akhir Desember, saat tutup buku. Jika ada proyek yang diperpanjang selama 50 hari, karena proyek itu sangat strategis untuk masyarakat, beban pemda pada pihak ketiga seharusnya sudah dapat diketahui akhir Januari.
Manakala demikian, timbul pertanyaan: mengapa Bupati dan Sekda selaku ketua TAPD tidak memerintahkan seluruh Unit Kerja agar melaporkan semua utang, DPL, tunda bayar, putus kontrak dan retensi tahun 2016 kepada tim BPK?
Kondisi ini menunjukkan ketua TAPD tidak mampu mengoordinasi pimpinan OPD (organisasi perangkat daerah) untuk melaporkan semuan beban kepada pihak ketiga yang ada di unit kerja masing-masing dengan jujur. Ternyata data dari BPKPAD dan unit kerja tidak akurat. Hal ini yang membuat bupati selalu berubah-ubah jika menyampaikan besaran defisit kepada publik.
Ada kesan seolah-olah ada data yang disembunyikan kepada masyarakat dan BPK saat mengaudit. Ini sangat berbaya karena melanggar prinsip sistem pelaporan keuangan daerah yaitu transpran dan akuntabel.
Kita menaruh harapan kepada penegak hukum dan tim audit BPK agar memberi perhatian khusus pada pos-pos yang dialihkan tersebut. BPK perlu menelusuri mengapa utang kepada pihak ketiga tahun 2016 tidak dilaporkan semuanya kepada tim audit BPK saat datang audit di Nias Barat. Padahal, terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good government) perlu didukung oleh kinerja yang jujur, transparan, akuntabel, dan tidak menutupi penggunaan anggaran.
Diharapkan juga kepada Pimpinan Daerah Nias Barat memberi penjelasan kepada masyarakat alasan mengapa beberapa program prorakyat justru dikurangi, dan tidak dilaksanakan dan bahkan dialihkan untuk bayar utang. Kritik saya berdasarkan analisis terhadap data yang ada merupakan sumbangan pemikiran agar Pemkab Nias Barat punya politik anggaran yang pro-rakyat pada tahun 2018 hingga 2021.
Ya’ahowu Bpk Apolonius Lase atas penayangan tulisan saya ini di media online KabarNias.Com. Setelah saya baca kembali, ada sedikit yang kurang dari data penulisan angka uang. Maka pada kesempatan ini saya ingin memperbaikinya. Kalimat “Kenaikan serupa terjadi di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup awalnya sebesar Rp 100.000.000. Sesudah perubahan menjadi sebesar Rp 280.000.000, naik sebesar Rp 18.000.000”. Yang benar ini: angka Rp 18.000.000, seharusnya Rp 180.000.000.
Demikian perbaikan. Ya’ahowu fefu