Mamӧzi aramba adalah kegiatan memainkan seperangkat alat musik aramba yang menandakan bahwa sedang digelarnya sebuah pesta di tempat tersebut. Pesta itu bisa berupa owasa ataupun fangowalu (pesta perkawinan).
Kegiatan musikal ini menjadi salah satu tradisi dalam kebudayaan Nias yang eksis sampai saat ini walaupun perlahan-lahan mulai berkurang. Umumnya, pemukul aramba (samӧzi aramba) berasal dari masyarakat umum, tidak mesti berasal dari kalangan tertentu. Biasanya dimainkan oleh laki-laki yang terdiri dari golongan remaja ke dewasa.
Pada saat ini, mamӧzi aramba juga diaplikasikan sebagai pengiring tari-tarian, seperti tari ya’ahowu, tari moyo, dan tari tuwu. Alat-alat musik tradisional yang dimainkan dalam mamözi aramba, yaitu gӧndra, faritia (canang), dan aramba (gong). Berikut penjelasan singkat tentang ketiga alat musik tersebut. (göndra, tidak merujuk pada gendang, tetapi lebih pas disebut bedug, Red)
Göndra
Göndra adalah alat musik tradisional Nias yang termasuk dalam klasifikasi membranofon dua sisi yang berbentuk seperti barel. Göndra tersebut memiliki 2 sisi yang diameternya sama dan dilapisi oleh membran yang terbuat dari kulit kambing ataupun kulit lembu yang telah diolah dan dikeringkan.
Badan göndra dibuat dengan kayu dari pohon besar yang dikerok dan telah dikeringkan terlebih dahulu. Pembuatan göndra Nias bisa kita dapat di daerah Nias tengah dan di Desa Onozikhö, Kabupaten Nias Utara.
Kedua sisi göndra yang dilapisi oleh membran mempunya diameter 57 cm, di bagian bawah membran dilapisi karet sebagai penahan suara biar agar terlalu gaung. Göndra memiliki panjang 70 cm dan lebar 60 cm. Bentuknya menyerupai bedug yang ada di masjid, hanya perbedaannya terletak pada pemukulnya dan ukurannya.
Göndra dimainkan dengan cara dipukul dengan 2 alat pemukul yang terbuat dari bambu yang panjangnya kurang lebih 50 cm. Bambu tersebut ditipiskan dan dirapikan agar tidak melukai tangan si pemain. Ketebalan bambu tersebut disesuaikan dengan keinginan yang membuat dan yang memainkan, tetapi rata-rata ketebalan yang ada berkisar 3-4 milimeter. Jika terlalu tebal, bambu tersebut akan terasa memberatkan pemain untuk memukul göndra. Sebaliknya jika bambu tersebut terlalu tipis, suara yang dihasilkan tidak akan keras dan pemukul tersebut akan cepat patah. Pemukul gondra tersebut biasanya disebut masyarakat dengan nama bözi-bözi göndra yang artinya pemukul göndra.
Memainkan göndra tidak perlu memerlukan tenaga yang ekstra (tidak perlu terlalu kuat). Hal ini karena bunyi yang dihasilkan göndra sudah cukup besar, apalagi jika dalam konteks mamözi aramba. Dinamika dalam bermain aramba juga diperlukan walaupun hal ini tidak diajarkan secara formal.
Pemukul göndra dipegang dengan cara digenggam. Banyak masyarakat luar, terutama orang yang mempunyai pengetahuan musik Barat, menganggap memegang pemukul göndra dan memainkan gӧndra sama seperti dalam permainan drum.
Namun, persepsi itu tidak benar karena teknik memukul göndra adalah setengah didorong sambil dipukul, bukan dipukul seperti memukul drum. Dalam segi posisi, göndra diletakkan di bawah tiang yang terbuat dari kayu simalambuo atau kayu duria (yang tingginya berkisar 200 cm dan disebut fanaha gӧndra) dengan cara digantungkan. Terkadang göndra juga digantungkan di tiang-tiang di bagian luar rumah, sesuai dengan situasi, konsep acara, dan posisi göndra tersebut dipakai.
Orang yang memainkan göndra disebut samözi göndra. Samözi göndra terdiri dari dua orang, yaitu sanaha dan sanindra. Sanaha adalah orang yang memainkan göndra dengan cara membuat ritme yang konstan dan berulang-ulang. Fungsi sanaha adalah untuk menjaga tempo dan pulsa bagi sanindra agar tidak berantakan.
Sanindra adalah orang yang memainkan alat musik göndra dengan cara berimprovisasi sambil menjadikan sanaha sebagai pedoman dalam segi tempo dan pulsa. Pada umumnya variasi yang dibentuk oleh sanindra tidaklah begitu sulit. Sanindra hanya menggunakan ritme-ritme sederhana, seperti ketukan ½ dan ¼. Dalam permainan göndra, samözi göndra tidak mengaplikasikan teknik rudiment (single stroke, double stroke, paradidle) seperti pada drum.
Faritia
Faritia adalah alat musik yang terbuat dari logam ataupun kuningan dan termasuk dalam klasifikasi idiophone. Bentuk alat musik ini menyerupai talempong dari padang, ataupun gamelan dari Jawa. Diameter faritia adalah 23 cm, ketebalannya mencapai 4 cm dan bagian tengahnya menonjol (membulir).
Alat musik ini termasuk ke dalam kategori idiophone yang dipukul. Faritia dipukul dengan menggunakan kayu simalambuo ataupun kayu duria yang telah dirapikan. Alat musik ini dahulu adalah barang yang diimpor dari luar pulau Nias, yang semula hanya sebagai bahan barteran dalam sistem perdagangan. Ini membuktikan bahwa alat musik ini bukanlah alat musik yang asli buatan masyarakat Nias, tetapi dijadikan sebagai alat musik tradisional Nias.
Menurut bapak Yas Harefa (2012) “Faritia ini adalah barang yang diimpor dari Jawa sampai saat ini. Pada zaman dulu, jika ada yang ingin memiliki faritia, maka ono Niha akan memesannya kepada pedagang-pedagang dari luar Pulau Nias sebelum mereka mengadakan transaksi (barter)”.
Aramba
Aramba adalah salah satu yang termasuk dalam kategori idiofon yang dipukul, menyerupai faritia, hanya saja bentuknya lebih besar. Diameter aramba 56 cm dengan ketebalan 7 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu simalambuo yang dilapisi kain dan karet. Aramba juga dikenal sebagai gong.
Pemukul aramba tersebut mempunyai tebal yang diameternya sekitar 2-3 cm. Pemukul aramba ini sengaja dibuat tebal agar bunyi yang dihasilkan aramba nantinya akan besar.
Keberadaan Aramba diyakini sama seperti keberadaan faritia. Hal ini disebabkan kedua alat musik tersebut sama-sama terbuat dari bahan logam. Dahulu aramba tunggal ini dipakai sebagai wadah untuk mengetahui batas lokasi kekuasaan seseorang. Hal ini disebabkan karena saking besarnya bunyi pukulan aramba.
Jika aramba dipukul, bunyi yang bisa dikeluarkan bisa melewati bukit dan lembah. Sejauh mana pukulan aramba terdengar, sejauh itu pula wilayah yang akan didapatkan/dikuasai. Selain itu aramba juga berguna sebagai tanda bahwa adanya sebuah desa atau banua di sekitar daerah tersebut.
Dahulu setiap pukul 6 sore aramba dibunyikan untuk memberitahukan kepada masyarakat Nias yang lagi di hutan atau yang sedang mengembara bahwa di sekitar tersebut ada sebuah banua. Selain itu, aramba juga berguna sebagai tanda apabila adanya suatu imbauan bagi masyarakat untuk berkumpul.
Dalam permainan mamözi aramba, aramba ini dipakai sebagai pedoman mengetahui awal ketukan. Cara memainkannya mudah, hanya cukup menghitung dua atau empat ketuk (tergantung kesepakatan pemainnya) dan memukulnya setiap ketukan pertama. Aramba yang dipakai bisa hanya satu dan bisa juga dua ataupun tiga.
Dalam masyarakat Nias, semakin banyak kita menggunakan aramba, berarti yang mengadakan kegiatan mamözi aramba tersebut semakin tinggi derajatnya. Hal ini disebabkan aramba adalah salah satu benda yang tergolong mahal dan spesial bagi ono Niha pada zaman dahulu.
Makin perdalam bro, biar budaya Nias makin dikenal.