Oleh Yosafati Gulö, Email: yosagulo4@gmail.com
Pekerjaan: Wiraswasta, Tinggal di Kediri, Jawa Timur
Kasus dugaan suap terhadap Bupati Nias Barat, Faduhusi Daeli (FD), yang pernah viral di media sosial hilang seperti tertelan angin. Namun, karena peristiwa yang terjadi tahun lalu itu telah direkam dan ditayangkan di Youtube, siapa pun dan kapan pun tetap bisa disaksikan. Akan tetapi, agak aneh, kendati ada indikasi korupsi, penegak hukum tetap bergeming dan hingga kini tidak ada kelanjutannya. Publik tentu ingin penegakan hukum yang tanpa pandang bulu.
Dalam rekaman video terlihat jelas seorang pria bernama Na’aso Daeli (ND) menemui FD di kantornya memberikan setumpuk uang lembaran nominal Rp 100.000 sebesar Rp 7,5 juta. Uang itu, disebut ND, sebagai sisa dana taktis sebesar 5 persen yang sebelumnya telah diberikan kepada Dinas Pekerjaan Umum (PU) Nias Barat dengan jumlah yang sama. Setelah memberikan uang itu, ND meminta FD agar memberikan jabatan kepada Yono, orang sekampungnya, di kantor PU Nias Barat. Tanpa banyak bicara FD menyetujui permintaan itu seraya meminta ND menyerahkan fotokopi SK terakhir Yono kepada dirinya.
Menurut akun Efarina TV di Youtube, kasus tersebut telah dilaporkan oleh Lembaga Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara di Medan, Oktober 2016. Tiga bulan kemudian, Januari 2017, Kejati Sumut melimpahkan kasus itu ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Gunungsitoli. Namun, Kejari Gunungsitoli sejauh ini tidak bertindak apa-apa.
Melihat gelagat tak baik itu, GMPK melakukan aksi di Kejari Gunungsitoli pada April 2017. Mereka mendesak agar kasus tersebut segera ditangani Kejari. Karena tidak ada respons, GMPK pun mencurigai adanya dugaan kolusi antara Kajari Gunungsitoli dan Bupati FD. Kecurigaan itu muncul karena sejak kasus itu dilaporkan, jangankan Bupati FD, para saksi yang berkaitan dengan kasus itu pun tidak pernah dimintai keterangan oleh Kejari Gunungsitoli.
Empat Kejanggalan
Di pihak lain, FD menyangkal keras berita dan isi video tersebut. Kepada beberapa media online ia bertutur, uang yang diterimanya dari ND bukan Rp 7,5 juta tapi Rp 5 juta. Pengakuan ini jelas bohong. Suara ND dalam video terdengar jelas menyebutkan jumlah Rp 7,5 juta ketika menyodorkannya kepada FD, bukan Rp 5 juta.
FD memang bilang, uang tersebut bukan untuk dirinya. Akan tetapi, dipakai untuk sumbangan sosial untuk gereja, di mana ia menjadi salah seorang penasihat pada pembangunan gereja tersebut. Ia mengaku telah menyerahkan langsung ke pihak gereja, lima hari setelah menerimanya dari ND.
Menurut dia, penyebaran rekaman video percakapannya dengan ND merupakan cara ND memeras dirinya untuk mendapatkan proyek. Itulah sebabnya ia melaporkan ND kepada Polres Nias tanggal 27 Desember 2016. Namun, laporan tersebut belum sempat diproses. Selang beberapa hari terdengar berita bahwa Bupati FD mencabut laporannya di Polres dengan alasan dirinya dan ND sudah berdamai.
Berita itu mengagetkan publik. Pasalnya, penyelesaian seperti itu janggal di mata hukum. Pertama, dalam video terlihat jelas Bupati FD menerima tumpukan uang yang disertai janji pemberian jabatan yang diminta ND. Sama sekali tidak menyinggung bantuan untuk gereja. Ini artinya, bantahannya melalui media tidak didukung bukti.
Kedua, jika FD melaporkan ND karena dianggap memeras dirinya tentu saja boleh. Namun, mencabut laporan dengan alasan mereka berdamai tidak otomatis menghapus fakta bahwa ia telah menerima uang dengan imbalan jabatan yang diminta ND.
Ketiga, kalau benar bahwa uang pemberian ND merupakan bantuan pembangunan gereja mengapa pembicaraan yang muncul dalam video justru dana taktis sebesar 5 persen untuk PU dan 5 persen untuk FD? Mengapa pembicaraan bantuan gereja tidak muncul? Bukankah ini membelokkan fakta?
Keempat, perdamaian antara FD dan ND tampak merupakan upaya FD untuk menutupi dugaan tindak pidana yang dilakukannya. Semestinya Polres Nias tidak mendiamkan hal tersebut. Sebab, pemberian dana 5 persen kepada pejabat PU oleh ND dan tindakan FD menjanjikan jabatan yang diminta ND setelah menerima uang merupakan bukti awal adanya tindak pidana.
Pertanyaannya, mengapa Polres Nias membiarkan hal itu? Bukankah dugaan tindak pidana yang melibatkan, ND, FD, dan pejabat PU tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan dugaan pemerasan yang dituduhkan FD kepada ND?
Ancaman Hukuman
Ditinjau dari ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Tipikor, tindakan ND, FD, dan pejabat di Dinas PU diancam hukuman pidana penjara minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Kualifikasi ancaman ND sudah terpenuhi dalam Pasal 5 Ayat (1), huruf a dan b UU Tipikor, yaitu bahwa ND memberikan sesuatu (uang) kepada FD sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya FD berbuat sesuatu (memberikan jabatan yang diminta ND). Ini jelas bertentangan dengan kewajiban jabatan FD sebagai Bupati Nias Barat.
Sementara kualifikasi FD dan pejabat PU sudah terpenuhi dalam Pasal 5 Ayat (2) karena FD sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara telah menerima pemberian ND sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf a atau huruf b sehingga mereka dapat dipidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Ayat (1).
Lebih berat lagi kalau kasus itu dikategorikan menerima hadiah atau janji sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU Tipikor dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun plus pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Ketentuan Pasal 12, khususnya pada huruf a, dimungkinkan dikenakan kepada FD. Sebab, tindakan menerima uang dan menjanjikan jabatan yang diminta ND, memenuhi kualifikasi ketentuan huruf a, yaitu bahwa FD adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah berupa uang, padahal diketahui atau patut diduga bahwa uang tersebut diberikan untuk menggerakkan FD agar melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya.
Ancaman pidana di atas memang terkesan terlalu keras bagi FD. Namun, perlu diingat, yang dipentingkan oleh UU Tipikor, bukan jumlah uangnya, melainkan tindakan korupsi atau gratifikasi. Tindakan itulah yang dinilai sangat berbahaya, baik terhadap keuangan dan perekonomian negara maupun hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Itulah sebabnya tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang juga harus ditangani secara luar biasa oleh UU Tipikor (lihat konsideran menimbang UU Tipikor).
Pertanyaannya, mengapa kejahatan luar biasa ini dianggap enteng oleh Polres Nias dan seolah membiarkan FD mendikte lembaga kepolisian? Apakah karena nilai nominalnya dianggap kecil sehingga polisi malas memproses? Ataukah karena Bupati Nias Barat termasuk pejabat yang dikecualikan dalam kasus korupsi atau gratifikasi?
Mari kita tunggu jawabannya dari Polres Nias, Kejari Gunungsitoli, Kejati Sumut, dan KPK! Sebagai warga, tentu saya dan masyarakat Indonesia berhak mendapatkan informasi terakhir terkait kasus ini.
Isi dan ekses dari “Jurnalisme Warga” ini adalah tanggung jawab penuh dari si penulis. Baca selengkapnya Penyangkalan Jurnalisme Warga. Jika ingin menulis di “Jurnalisme Warga” silakan Klik di sini
Informasi kepada Admin, sejak awal semester 2 tahun akademik 2015/2016, saya sudah tidak mengajar lagi di UKSW. Saat ini aktivitas saya bekerja sebagai wiraswasta. Dengan demikian, deskripsi diri saya di atas mohon diperbaiki.
Baik Pak @yosafatigulo:disqus. Terima kasih atas informasinya yang diberikan. Kami sudah Lakukan pembetulan.
Pelakunya sekarang sudah sampai di mana ya proses hukumnya?