Home Featured Membawa Hombo Batu ke Ajang PON, Kenapa Tidak…

Membawa Hombo Batu ke Ajang PON, Kenapa Tidak…

0
Membawa Hombo Batu ke Ajang PON, Kenapa Tidak…
Seorang pelompat batu sedang melewati batu setinggi 2,1 meter dengan dikawal oleh prajurit Bawomataluo. Foto: Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Nias Selatan.

Oleh Esther Gloria Noritha Telaumbanua, Pendiri Rumah Nias Heritage

Asian Games 2018 telah usai. Namun, gegap gempitanya masih hangat saja. Capaian Indonesia yang spektakuler menoreh sejarah baru. Dari 40 cabang olahraga (cabor) Indonesia berkibar di 25 cabang olahraga yang membuatnya terdongkrak ke posisi 5 besar Asia (urutan keempat). Indonesia menyabet 31 emas dari 462 pertandingan. Kebanggaan nasional ini seperti menjadi energi baru yang merasuk ke sanubari mayoritas rakyat Indonesia. Inilah momentum kebangkitan olahraga nasional.

Dari Asian Games ke PON XX

Esther Glorian Telaumbanua (Dok. Pribadi)

Pada AG 2018, ada 40 cabor yang dipertandingkan, termasuk di antaranya sepuluh cabor baru, yaitu bridge, rollersport, basket 3×3, jetski, pencak silat, jiu jitsu, sambo, kurash, paralayang, panjat tebing. Disetujuinya cabor baru ini tentu sudah melalui proses dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Cabor baru ini membawa warna, ciri dan ceritanya masing-masing terkait sejarah, keaslian, kepopuleran, dan tren era milenial. Kurash, misalnya, merupakan seni beladiri tertua di dunia berasal dari Uzbekistan. Pencak silat adalah seni beladiri asli orang Indonesia. Indonesia meraih paling banyak emas dari cabor baru ini, bahkan meraup hampir semua medali yang diperebutkan pada cabang pencak silat.

Ini menunjukkan bahwa keolahragaan itu terus berkembang mengikuti tren dan kemajuan yang ada. Cabor baru memberikan peluang bagi atlet-atlet di cabang itu untuk membina diri dan mengukir prestasi baru. Dinamika ini memberi inspirasi lahirnya cabor baru berbasis budaya, seperti hombo batu (lompat batu) Nias. Mewarnai AG 2018, Museum Nasional mengadakan pameran di mana hombo batu Nias dipromosikan sebagai olahraga berbasis budaya. Kelompok pelompat batu Nias di Jakarta juga diundang ekshibisi pada salah satu acara pendukung di areal kantor Kemenpora.

Hombo batu ini merupakan tradisi yang dipraktikkan dari generasi ke generasi. Bersama dengan tumbuhnya desa-desa adat ratusan tahun lalu, hombo batu hidup dan dipraktikkan. Hombo batu bukan sekadar melompati batu, tetapi merupakan sebuah harmonisasi sistem gerak yang meliputi kejelian, kepekaan, kekuatan dan konsistensi.

Dahulu diinisiasi untuk kepentingan desa zaman itu, sekarang lebih pada pertunjukan seni. Walau merupakan pertunjukan unsur keolahragaannya kuat karena meliputi pembinaan fisik dan mental, hombo batu mengandung unsur rekreasi dan pelibatan sosial. Di desa-desa adat di Nias Selatan dapat ditemukan kelompok anak-anak berlatih lompat batu. Mereka mempersiapkan diri menjadi pelompat batu dewasa dengan lompatan-lompatan gemilang. Asian Games 2018 yang gemilang, menoreh harapan dihati kiranya lompatan-lompatan gemilang si fahombo batu Nias suatu saat dapat hadir di sana. Mungkin dimulai pada PON XX tahun 2020.

Anak-anak hingga remaja di Nias Selatan, khususnya desa yang memiliki hombo batu, berlatih serta menjalani seleksi untuk menjadi pelompat batu. Foto ilustrasi: Bambang Aryadi Ndraha

Jejak Tradisi Lompat Batu Nias

Fahombo batu (melompati batu) merupakan ritual budaya Nias sebagai inisiasi menguji ketangkasan fisik dan kesiapan mental para remaja pria di Nias menjelang usia dewasa. Mereka diuji kemampuannya melompati susunan batu megalit yang mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atasnya datar. Tingginya 210 sentimeter dengan lebar 90 cm dan panjang 60 cm. Di depannya ada undukan batu kecil setinggi 30 cm berfungsi sebagai pijakkan kaki sebelum melakukan lompatan. Dengan bentuk susunan batu tersebut, fahombo batu memerlukan teknik khusus karena memiliki tingkat kesulitan tertentu. Si fahombo batu harus bisa melompat tinggi lebih dari 2 meter.

Pada masa lampau, untuk melatih kecakapan, permukaan batu diberi rintangan seperti ditutupi dengan duri dan bambu tajam. Para pelompat tidak hanya harus melintasi tumpukan batu tersebut, tetapi ia juga harus mampu mendaratkan kedua kaki dengan posisi yang tepat dan tetap siap. Pelompat batu mengawali dengan lari kencang sejauh 10-15 meter. Lalu menginjak batu undukan kecil untuk menghasilkan daya dorong melakukan lompatan setinggi-tingginya dan sekaligus melayang melewati lebar permukaan, serta kemampuan mendarat dengan tepat. Uniknya, posisi tubuh tetap dengan kepala di atas, kaki yang mengayunkan daya dengan tangkas. Salah menginjakkan kaki pada batu undukan kecil, daya dorong kurang dan kekuatan melompat akan terbatas. Kesalahan teknis dalam hal ini akan dapat menyebabkan terjatuh, cedera otot atau patah tulang. Karena itu, para pemuda melakukan latihan berulang-ulang dengan serius.

Ada pembentukan karakter ketangguhan dan ketangkasan dalam fahombo batu. Dahulu, seorang pemuda yang lulus melakukan fahombo batu dengan sempurna dianggap telah cukup tangguh. Maka hak dan kewajiban sosialnya sebagai ono niha dewasa sudah bisa dijalankan, yaitu untuk menjadi prajurit desa (sawõlõ). Prajurit desa dipersiapkan untuk menghadapi perang antardesa atau konflik dengan warga desa lain. Ketangkasan melompat batu merupakan kebutuhan, baik untuk menyerang dalam peperangan, bertahan dari serangan, maupun untuk menyelamatkan diri. Dahulu kerap terjadi peperangan antardesa, di antaranya dalam kaitan mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Karena itu, desa-desa selalu dikelilingi pagar dan berbagai bentuk rintangan sebagai pengamanan. Pagar dari batu, bambu atau batang pohon, dibangun mengelilingi desa umumnya dibuat setinggi kira-kira 1,5–2 meter. Itu sebabnya prajurit desa dilatih. Prajurit desa harus tangkas melompati pagar atau benteng desa sasaran supaya tidak terperangkap di daerah musuh. Para pemuda yang kembali dengan sukses dalam misi penyerangan desa lain atau menyelamatkan diri akan menjadi pahlawan di desanya. Pesta dan tarian adat digelar untuk menyambut prajurit yang menang dari peperangan.

Baca juga:  Film Karya Fakoli Menangi Festival Film Anak 2015

Sekarang ini, jejak tradisi lama itu telah menjadi sebuah atraksi yang unik. Tiada duanya di dunia. Hanya ada di Nias, khususnya di tempat asalnya di desa-desa adat seperti Bawömataluo (Bukit Matahari), Hilinawalö Mazinö, Orahili Fau, Hilisimaetanö. Di depan rumah raja, di desa-desa adat ini terdapat peninggalan batu bersusun (hombo-batu) yang dikenal penggunaannya dalam tradisi fahombo batu. Di sanalah, fahombo batu ini dilakukan dengan sempurna dan dapat dinikmati seutuhnya baik sebagai atraksi seni maupun tradisi budaya lengkap dengan penjelasan detail secara filosofis-historis.

Dalam sebuah pertunjukan seni dan pariwisata, beberapa pemuda Nias berpakaian tradisional Nias secara bergantian melakukan fahombo batu. Bagi pelompat yang sudah mahir, fahombo batu dilengkapi dengan berbagai gaya lompatan yang menarik. Beratraksi saat sedang mengudara. Ada yang dengan melakukan aksi menghunus pedang, mengibarkan bendera, bahkan ada gaya yang mencekam dengan menjepit pedangnya dengan gigi, dan lain-lain. Di banyak pertunjukan, permukaan batu ditambah dengan tumpukan 1-2 orang di atasnya. Para pelompat selalu saja berhasil melompat dengan gemilang. Ada juga yang melompat dalam kelompok, biasanya 9 orang melakukan lompatan beruntun. Perlu kekuatan fisik, kecepatan, ketangkasan, dan dan strategi untuk menghasilkan lompatan-lompatan gemilang. Atraksi yang berlatar belakang tradisi ini menjadi satu acara yang sangat diminati wisatawan yang datang ke Nias. Bahkan atraksi ketangkasan ini juga menjadi ikon pariwisata dan gambarnya pernah tercantum pada mata uang kertas seribu rupiah.

Menjadi Cabang Olahraga

Dari cirinya, hombo batu Nias dapat dikelompokkan dalam cabang olahraga atletik lompat tinggi, atau dikelompokkan tersendiri karena pada hombo batu ada alat bantu berupa pijakan sebelum melompat. Tekniknya menyatukan daya lompat tinggi dan melayang melewati lebar permukaan batu. Pada saat melompat dan melayang posisi tubuh tetap dengan kepala di atas, demikian pula saat mendarat dengan kedua kaki terjejak.

Menjadikannya sebagai cabang olahraga yang diminati banyak orang bukanlah hal mustahil. Lompat batu Nias, sudah cukup dikenal dan dikagumi banyak orang. Aktivitasnya tetap dipraktikkan sejak dulu, sampai hari ini dan selama kebudayaan orang Nias masih hidup. Di mana ada komunitas masyarakat Nias berada, di sana ada aktivitas lompat batu.

Artinya, potensi atlet pelompat batu sudah ada di banyak belahan Nusantara. Untuk skala wilayah, pertandingan lompat batu sudah beberapa kali dipertandingkan. Pada Pesta Ya’ahowu Kepulauan Nias tahun 2016, turnamen terbuka berselancar dan lompat batu merupakan dua mata kegiatan utama. Pada pertandingan resmi itu dua pelompat muda mencatatkan rekor melompat batu setinggi 2,45 meter.

Artinya, sudah ada atletnya, ada standar penilaian, ada juri dan ada penggemar. UU dan peraturan tentang sistem keolahragaan nasional juga terbuka untuk ini. Tinggal diseriusi saja dengan langkah progresif yang tepat.

Mari bersama-sama melangkah untuk itu. Yang perlu diperhatikan adalah penamaan cabor sebaiknya ’hombo batu’, untuk tetap melekatkan sejarahnya dan mendorong mencintai Nias di mana tradisi itu bersumber.

Langkah pertama dimulai dengan membangun organisasi atau asosiasi yang mewadahi olahraga lompat batu. Organisasi ini berfungsi melakukan pembinaan dan mengorganisasi pengembanganya. Baik dalam menyiapkan program pembinaan bagi atlet dan pelatih, penetapan standar penilaian, melakukan promosi dan menyelenggarakan pertandingan reguler. Upaya sosialisasi perlu untuk memperkenalkan dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat Indonesia diikuti dengan pembentukan cabang-cabang pengurus di sejumlah daerah. Hal ini merupakan satu ketentuan diterimanya menjadi cabang olahraga resmi.

Dimulai dengan menjadi nasional dan bagian dari FORMI serta ajang Asosiasi Olahraga Internasional untuk Semua Orang (TAFISA), selanjutnya KONI/KOI, dan dipertandingkan pada ajang internasional setelah memenuhi syarat lebih komplet. Intinya, ada langkah nyata yang diseriusi.

Mari para pemuda bersama-sama melangkah untuk itu. Yang perlu diperhatikan adalah penamaan cabor sebaiknya ’hombo batu’, untuk tetap melekatkan sejarahnya dan mendorong mencintai Nias di mana tradisi itu bersumber.

Sambil melestarikan budaya, bina potensi mengukir prestasi. Ada pertandingan untuk cabor atletik lompat tinggi, lompat galah, lompat jangkit, lompat jauh, dan semoga kelak ada hombo batu. Atlet fahombo batu Nias ikut PON XX tahun 2020, kenapa tidak bisa? Kuncinya, aoha noro nilului wahea!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.