Friday, March 29, 2024
BerandaSudut PandangOpini"Ebua Hugõhugõ Zato", Ekspresi Kebersamaan dalam Masyarakat Nias 

“Ebua Hugõhugõ Zato”, Ekspresi Kebersamaan dalam Masyarakat Nias 

KEARIFAN LOKAL

Oleh Dr. Sadieli Telaumbanua, M.Pd., M.A.

Berteriak adalah salah satu perilaku manusia. Entah itu dengan suara pelan ataupun dengan lantang. Orang yang sedang dalam bahaya, misalnya, biasanya secara spontan akan mengeluarkan suara untuk mengekspresikan rasa takut atau setidak-tidaknya rasa terkejut. Boleh jadi, orang ini akan berteriak meminta tolong atau bantuan orang lain. Jika peristiwa ini terjadi di tempat sunyi atau jauh dari keramaian orang, teriakan ini diulang-ulang dan semakin lantang.

Setiap etnis di negeri ini memiliki ekspresi yang berbeda-beda dalam mengungkapkankan kebersamaan. Orang Nias, misalnya, mengakui bahwa teriakan satu orang tidak terlalu lantang, walaupun orang tersebut  dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, jika teriakan dilakukan secara bersama dengan sejumlah orang, hasilnya akan lebih lantang serta daya jangkaunya pun semakin jauh.

Prinsip ini terangkum dalam ungkapan ebua hugõhugõ zato (terjemahan bebas: lebih lantang teriakan orang banyak).  Ide atau gagasan ini tidak dapat terbantahkan. Katakanlah teriakan 10 orang tentu lebih lantang dibandingkan dengan teriakan satu atau dua orang. Akan semakin bergema lagi apabila setiap orang memiliki warna dan volume suara yang sama serta dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Sungguh sebuah teriakan yang lantang dan terdengar jauh. Pendengar pun akan terentak, mungkin juga ketakutan jika teriakan itu bernada ancaman.

Tidak dapat dimungkiri bahwa suara gemuruh “kejaaarrrr!”, dari sejumlah orang, misalnya, akan mengundang rasa takut bagi orang yang mendengar. Jangan-jangan ada maling yang melarikan diri dan dikejar oleh banyak orang. Terbayang bagi kita perlakuan orang banyak terhadap pencuri yang berujung pada kematian. Main hakim sendiri pun sering tidak terelakkan di negeri ini.

Kebersamaan

Ungkapan ebua hugõhugõ zato memiliki nuansa makna manakala dikaitkan dengan kesatuan dan persatuan yang saat ini hampir terkoyak oleh ego masing-masing. Sinyal ini yang ditangkap oleh Presiden Joko Widodo sehingga mengingatkan anak-anak bangsa agar memperkokoh persatuan dan kesatuan.

Bagi kita saat ini ungkapan ebua hugõhugõ zato semakin relevan untuk direfleksi sejenak. Kearifan lokal ini memiliki kontribusi besar dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa terutama pada tataran lokal.  Esensi utama ungkapan ini tidak terbatas pada teriakan (hugõ-hugõ), tetapi pada tataran kebersamaan. Leluhur Nias mengajarkan bahwa cita-cita, dambaan, idaman akan lebih berhasil apabila dilakukan secara bersama-sama. Oleh karena itu diperlukan kekompakan, keharmonisan, dan saling topang (Nias: laso).

Semut adalah serangga yang tidak memedulikan persoalan dalam hidupnya dan selalu siap membantu tanpa mengharapkan sesuatu dalam mencapai keberhasilan bersama. Target utama adalah fokus pada tujuan dan bekerja sama mencapai tujuan.

Alf Cattel pernah berujar, “Kaum yang tertindas adalah kaum yang tercerai-berai, sementara kaum yang kuat adalah yang selalu mengutamakan kebersamaan”.

Peribahasa yang paralel dengan itu adalah, Aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso; tafafõfõ na anau, tafahea na esolo. Alisi khõda tafadaya-daya, hulu tafaewolo-wolo” (terjemahan bebas: seberat apa pun beban, akan menjadi ringan jika dipikul bersama. “Tabagi-bagi wa’aukhu, tafaosa wogikhi manu” demikian ungkapan sederhana lainnya. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Pada era kesejagatan (globalisasi) ini untuk mewujudkan sebuah cita-cita mesti semua umat manusia mesti berkolaborasi, bukan kompetisi. Ibarat orkestra, masing-masing memiliki peran yang sama mewujudkan sebuah simponi yang indah. Apabila umat manusia senantiasa berada dalam sebuah konser musik dengan peran masing-masing serta berusaha menghamoniskan sebuah nada, kita yakin nyanyian yang dilantunkan terasa merdu yang pada akhirnya teriakan serta tepuk tangan yang meriah menjadi ganjaran kita.

Peribahasa lain mengatakan, “Na ha sara zõndra, na ha sara li; ta’olikhe gawõni, ta’olae guli nasi” (terjemahan bebas: jika seiya, sependapat, kayu besar bisa menjadi seperti lidi, luas samudra pun bisa selebar daun pisan; atau andaikata kita sehati sepikir, seia sekata maka segala yang diingini pasti terwujud dengan mudah).

Baca juga:  Memaknai Ungkapan "Lõ Moli Dataŵo si Ha Tambai"

Namun, ada beberapa hal yang sangat manusiawi, seperti sifat egois, mau menang sen-diri, tidak mau rugi, dan selalu perhitungan, yang membatasi bentuk kerja sama manusia.

Lagi-lagi semut memberi solusi kepada kita, yakni komunikasi. Jika diperhatikan dengan baik, setiap kali semut bertemu dengan semut lainnya dari arah yang berlawanan, mereka selalu “bertabrakan” satu dengan yang lain (selalu berciuman). Sejatinya saling bertukar informasi tentang suatu tujuan.

Judirman Djalimin mengungkapkan, “Jika kita mampu menciptakan komunikasi yang terbuka dengan siapa pun, bersiap-siaplah untuk menampung berbagai kesempatan dan peluang”.

Implikasi

Tidak dapat dimungkiri bahwa maju-mundurnya sebuah negara sangat ditentukan oleh persatuan dan kesatuan warganya. Dalam menyatukan potensi warga ini dibutuhkan seorang pemimpin yang cukup tangguh. Bagi masyarakat Nias tempo dulu, pemimpin ini dikenal sebutan tuhenõri, balugu (Nias Selatan: si’ulu), dan salaŵa.

Ebua hugõhugõ zato. Bagi seorang pemimpin adalah sebuah inspirasi konstruktif dalam memberdayakan masyarakat. Sejatinya pembangunan sebagai spirit Pembukaan UUD 1945 adalah pemberdayaan masyarakat.

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, demikian salah satu penggalan lagu “Indonesia Raya”. Pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang mampu mempersatukan semua potensi yang dimiliki oleh masyarakatnya. Lõ sendoro si tenga khõnia, lõ sehao si tenga so’ono; lõ samemondri na moda’i, lõ gõi same’e õ na olofo, (terjemahan bebas: tiada seorang pun yang  peduli pada sesuatu yang bukan kepunyaannya), demikian ungkapan leluhur masyarakat Nias.

Berkenaan dengan kearifan masyarakat Nias ini, hal-hal yang mesti menjadi referensi para pemimpin, adalah sebagai berikut. Pertama, seorang pemimpin mesti menjadi  tuhe (tunggul), yang memiliki keteguhan dan keteduhan hati. Peribahasa Nias, abõlõ duhe (tuhe) moroi ba nangi (terjemahan bebas: lebih kuat tunggul daripada angin) menjadi penambah “gizi” ketangguhan para pemimpin.

Tuhe selalu menjadi tumpuan/gantungan berbagai peralatan para petani ketika mereka sedang di ladang. Hal ini berimplikasi langsung  bahwa seorang pemimpin harus menjadi pelayan masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin yang setiap saat mendengar keluhan warganya. Ketika warganya tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka, tidak mampu membeli kebutuhan pokok sehari-hari atau tidak mampu membeli obat bagi keluarga yang sakit, di saat itu pemimpin hadir mengangkat beban mereka.

Masyarakat tidak butuh visi-misi dan janji, mereka ingin bukti. Warga tidak memerlukan upacara, pidato, sambutan dan seremoni lainnya. Wong cilik mengingini seteguk air dan sesuap nasi, kesehatan, dan pendidikan, lain tidak.

Kedua, pemimpin yang didambakan oleh masyarakat adalah yang berkarakter salawa (terjemahan bebas: petinggi)  secara paripurna.  Pemimpin yang memang memiliki nilai tambah dibandingkan semua warga yang dipimpinnya

Masih berkaitan dengan sifat teguh ini, peribahasa Nias Selatan mengingatkan, “He abasõ furiu, he abasõ fõnau, he abasõ gabõlõu ba he abasõ gaberau, bõi ine abasõ nitaromiu” (terjemahan bebas: sekalipun muka-belakang, kiri-kananmu basah kuyup, hindari agar tempat dudukmu tetap kering). Integritas menjadi kata kunci. Seturut kata dengan laku. Harus dihindari, “No ihaogõ mbawa ba no ihaogõ li ba no sa modadao bakha ba dõdõ zilatao wa lõ sõkhi” (terjemahan bebas: muka begitu manis, tutur kata begitu santun, tetapi hati sarat dengan kebencian dan dendam).

Pilkada 9 Desember

Pada 9 Desember 2015, kita akan memilih pemimpin di Kepulauan Nias. Jika masyarakat ingin sebuah perubahan, pilih kandidat yang memiliki kemampuan dan kemauan membangun Kepulauan Nias dengan tulus dan jujur.

Abaikan mereka yang menjadikan Nias sebagai tempat “indekos”. Terlebih lagi mereka yang tidak peduli dengan kebersamaan (mementingkan diri sendiri dan kelompoknya), jauhi mereka.

Tentu saja, di atas semua itu, diperlukan sikap  kebersamaan sebagaimana judul tulisan ini. (Penulis: Dosen Kopertis Wilayah I dpk pada Universitas Prima Indonesia, mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Gunungsitoli dan mantan Pj Rektor IKIP Gunungsitoli)

RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments