Oleh Friderikus Hia
Ada pertanyaan-pertanyaan sederhana saya dalam memaknai Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Pertanyaan itu, antara lain mengapa Anda ada di Indonesia? Apakah tindakan Anda mencerminkan jiwa Indonesia? Makna jiwa Indonesia itu seperti apa?
Bagi saya pertanyaan itu tidak terjawab sempurna. Walaupun demikian, setiap pembaca tulisan ini akan menemukan jawaban secara pribadi lepas pribadi tentang apa yang sebaiknya Anda pikirkan dan Anda lakukan untuk Indonesia.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda ini merupakan momentum berharga bagi pemuda Indonesia mengenang kembali identitas sebagai penyokong kemajuan bangsa indonesia dan dunia pada umumnya. Berbicara tentang pemuda Indonesia mendasari pikiran kita untuk kembali mengingat perjalanan sejarah bangsa serta menuntun kita menafsirkan ke depan, sebab perbincangan pada masa kini tidak lepas dari masa lampau sebagai tongkat perjalanan serta masa depan sebagai arah dan tujuan perjuangan bangsa saat ini.
Secara jujur dan kritis terhadap realitas keindonesiaan sejak masa pra-Proklamasi Kemerdekaan (bahkan jauh sebelumnya), terlihat bahwa sejerah bangsa negara kita sangat dinamis bahkan fluktuaktif dengan berbagai kecenderungan pada setiap era. Pada masa pra dan pasca-Proklamasi, kehidupan bangsa masih sangat kental diwarnai idealisme perjuangan melepaskan diri dari penjajahan, sementara spirit persatuan dan kesatuan (solidaritas nasional) tidak sulit digalang karena seluruh rakyat digerakkan oleh motivasi yang sama.
Semangat “kekitaan” yang berhasil dilebur dari “kekamian” melalui Sumpah Pemuda 1928, sangat mewarnai kebangsaan kita saat itu. Pada langkah berikutnya, Pancasila yang sejak awal diidealkan menjadi common platform bangsa oleh pendiri bangsa mulai mengalami cobaan-cobaan serius.
Dari era Orde Lama (Bung Karno) yang secara eksperimental menerapkan Demokrasi Terpimpin dan secara kontraktif memaksakan Nasakominasi, lalu pada masa Orde Baru (Pak Harto) terjadi banyak penyimpangan serius dalam implementasi Pancasila karena penyelenggaraan negara masih sangat dipengaruhi feodalisme dan di bumbuhi KKN, hingga era reformasi dengan euforia dan kebebasan yang nyaris tanpa batas, lalu bangsa ini melakukan rekonstruksi platform kebangsaan/kenegaraan dan ini terjadi justru di tengah arus globalisasi sehingga tidak terhindarkan masuknya ‘tangan’ dan pemikiran asing yang bisa berdampak membiaskan arah perjuangan dan menggerus nilai-nilai luhur bangsa.
Saat ini problem terbesar bangsa kita adalah pudarnya jati diri atau lunturnya Wawasan Kebangsaan dalam ekspresi Pemuda. Persoalan bangsa terasa lebih berat dengan rapuhnya kepemimpinan dan terutama keteladanan pada setiap level dan segmen masyarakat serta rendahnya daya kendali dan daya kelola pemerintah terhadap aneka problematika.
Kondisi tersebut berpotensi menyesatkan bangsa ini dalam labirin yang membingungkan— tidak tahu ada dimana, tidak tahu hendak kemana, dan diruwetkan dengan beragam kepentingan (conflict of interests), jalan keluar yang ideal, strategis, rasional, realitas dan visioner namun berat adalah rekonstruksi jati diri bangsa dalam bingkai Keindonesiaan.
Untuk mampu menembus lengkah itu, kesadaran bersama perlu dibangkitkan kembali bahwa eksistensi suatu bangsa–negara sesungguhnya diikat oleh kesepakatan, komitmen, dan tujuan hidup bersama. Berdasarkan konsensus, pemufakatan dan keputusan bersama itulah segala upaya digulirkan guna mencapai apa yang disebut Tujuan Nasional.
Secara fisik negara, Indonesia memiliki tiga karakteristik utama yakni secara geografis sebagai negara kepulauan pada “posisi silang” antara dua benua dan dua samudra; memiliki sumber daya alam yang melimpah; serta secara demografis memiliki keanekaragaman yang sangat luas dalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan serta ras/etnik, agama, bahasa, kultur, sosial ekonomi dan lain lain.
Salah satu konsekuensi dari letak strategis dan kekayaan SDA yang melimpah adalah masuknya berbagai kepentingan asing (regional dan global). Pergesekan antarberbagai kepentinganasing tersebut—selain kepentingan internal/nasional, apa bila tidak dikontrol (melalui tahap Kebijakan) maka akan berdampak negatif bagi NKRI.
Menanggapi kondisi alaminya, Indonesia perlu dipersatukan dengan identitas nasional yang kuat atau jati diri yang teguh. Mengutip pakar sejarah Authony D. Smith (Nation Identity, London, 1991) menifestasi jati diri suatu bangsa terefleksi dalam identitas nasional (national identity), penghayantan terhadap budaya (culture) yang sama, ditandai dengan adanya persamaan ideologi serta kesadaran kolektif bahwa mereka mempunyai latar sejarah yang sama.
Dalam konteks Indonesia, dimensi–dimensi tersebut telah mengkristal dan termanifestasi pada filsafat Pancasila sebagai penghayatan dan sintesis dari ideologi pergerakan masyarakat Indonesia yang pluralistis melalui proses hiostoris yang panjang (pendapat Jakob Oetama seperti dicatat Prof. Dr. Moeljarto Tjokrowinoto, UGM, 2003).
Guna mencapai tujuan umun sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945, dibentuklah institusi yang supra maupun infastruktur politik. Institusi-institusi tersebut berfungsi melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa atas dasar/asas Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)—tiga pilar penting yang menahan eksistensi dan peradaban manusia/bangsa.
Saat ini dihadapkan dengan persoalan besar menyangkut institusi dan kepemimpinan, yang secara ringkas dapat diurai sebagai berikut.
Pertama, menyangkut institusi. Sebagai pilar demokrasi tampaknya Parpol, DPR dan MPR masih perlu waktu dan upaya keras untuk bisa berfungsi sepenuhnya. Dengan muatan feodalisme, orientasi kekuasaan dan fanatisme golongan yang kental, kita sulit mengharapkan Perpol tampil sebagai agen perubahan dan pilar demokrasi yang efektif. Karena DPR berbasis Parpol (dari segi rekruitmen dan pembinaan), maka ciri atau karakter Parpol mewarnai Senayan (DPR) yang menciptakan kebanyakan anggota DPR tampil sebagai wakil Parpol, bukan wakil rakyat.
Demikian pula dengan lembaga hukum seperti Komisi Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Polri dan Kejaksaan masih mengalami keabu-abuan fungsional sehingga tidak mampu mencerminkan adanya koordinasi dan keserasian juga masih dihinggapi kerapuhan institusional dan cultural (etos kerja serta pengabdian yang rendah, urat kepentingan dan beraroma KKN), sehingga sulit menjadi tembok keadilan. Adanya amandemen UUD 1945 telah tergeser dari spirit dasarnya serta banyaknya produk UU yang tumpang-tindih, tambal-sulam di sana–sini sehingga upaya penegakan hukum bangsa di negeri ini akan semakin memudar dan luntur.
Kedua, tentang kepemimpinan (leadership)—bukan hanya kepemimpinan nasional tetapi etika dan kualitas kepemimpinan dalam segala segi—sudah sering diperbincangkan orang. Hanya saja perlu ditegaskan kembali bahwa solusi masalah bangsa sangat bergantung pada aspek kemampuan, keberanian dan ketegasan dalam menanggapi, mengolola dan mengatasinya, bahkan menafsirkanya. Dengan demikian akan ada upaya yang solutif yang perlu dan utuh.
Kepincangan institusional sebagai kerusakan moral dan jati diri bangsa serta rapuhnya kepemimpinan tersebut menghasilkan Indonesia yang diperhadapkan oleh beragam masalah, antara lain kuatnya pengaruh gaya hidup negatif global di kalangan masyarakat. Menjamurnya pemakaian narkoba, kemunculan folosofi liberalisme dan kapitalisme, terinfeksinya virus KKN ke berbagai lini kehidupan bangsa, penyeludupan, pencurian ikan, pembabatan hutan, penggelapan pajak, bertambahnya jumlah penduduk miskin dan angka penganggur, masih berkobarnya semangat golongan (semangat “kekitaan” menjadi semangat “kekamian-baik itu aspek agama, suku, ras, wilayah, dan sebagainya), tindakan Kriminalitas terdengar di mana-mana, adanya demonstrasi yang tiada lelah masyarakat menyerukan demokrasi.
Kondisi yang alami dan nyata seperti ini jelas akan menjadi “medan perang” yang berat dan penuh tantangan untuk ditaklukkan karena semakin menyulitkan untuk mencapai konsensus bersama.
Apa yang Seharusnya Perlu Terjadi?
Jati diri bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses historis yang panjang dalam suatu komunitas Nusantara yang multikulturalistis dan lahir dari kesadaran kolektif atas dasar “kesepakatan, kesepadanan, keseteraan, dan kebersamaan”. Proses ini merentang panjang sejak perjuangan sebelum kemerdekaan yang mencapai titik kulminasi tatkala para pendiri bangsa ini mengikrarkan Sumpah Pemuda—yang menggeser spirit ‘kekamian’ menjadi ‘kekitaan’—dan akhirnya memuncak secara total dan vital dari perspektif kebangsaan pada momentum Proklamasi Kemerdekaan.
Namun, yang perlu kita pahami dan sadari bahwa sampai saat ini, Pancasila yang kita sebut sebagai ideologi bangsa masih bersifat visi, ideal, mimpi, dan belum dibumikan sehingga menjadi pedoman konkret dalam aspek politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan “peremajaan kembali” dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila pada segala tataran dan aspek kehidupan bangsa-negara kita. Ini merupakan “PR” besar bagi pemerintah dan seluruh komponen bangsa Indonesia. Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa pemerintah (pembuat kebijakan) harus mampu menggali kepercayaan bangsa melalui perilaku atau integritas yang sesuai eksistensi sebagai pemerintah itu sendiri. Begitupun sebaliknya untuk masyarakat harus mampu memahami dan bersikap sesuai perannya sebagai warga negara Indonesia. Tugas yang seperti ini jelas bahwa susah dan sulit dilaksanakan, tetapi tidak boleh dilepaskan dalam diri individu sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Untuk merangsang semangat “keindonesiaan untuk mencapai tujuan Indonesia” perlu adanya penyadaran kembali (rekonsientisasi) terhadap gejala tantangan bangsa, terutama disintegrasi; penegasan kembali (reafirmasi dan rekonsolidasi) Pancasila sebagai “ideologi payung” dan “rumah bersama”—mengutip lirik lagu Franky Sahilatua “Pancasila Rumah Kita”; Pemanduan dengan menjadikan hukum dan pendidikan sebagai “sektor Pengarah”.
Dengan cara ini kita dapat meningkatkan daya kendali dan daya kelola terhadap problematika bangsa yang sejalan dengan cita-cita demokrasi, yakni terbentuknya masyarakat madani yang kuat. Proses memandu terutama dilakukan oleh masyarakat melalui kontrol dan masukan kritis.
Mudah-mudahan kita semakin mampu dan mau berperan serta berkontribusi sebagai agen pembaruan dan pemerkuat aktualisasi jati diri bangsa kita agar kita dapat “menemukan kembali keindonesiaa dan kian mendekat pada cita-cita Indonesia”. Mengutip pesan Goenawan Mohamad dalam buku Surat dari untuk pemimpin, yakni, “Menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai”. Semoga. [Friderikus Hia, Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Bandung]