Monday, October 7, 2024
  • Iklan HUT Nisel Ke-21 Disbudparpora
BerandaKanalDiaspora NiasProses Pembentukan Kepribadian dan Strategi Mengubahnya

Proses Pembentukan Kepribadian dan Strategi Mengubahnya

KULIAH ONLINE

Narasumber: Fidelis Waruwu, M.Sc.Ed

Pengantar: Dalam rangka membangun komunikasi, persaudaraan, dan sharing gagasan seputar isu-isu pendidikan terkini, Grup Whatsapp Orahua Tötönafö-Diaspora Kepulauan Nias menyelenggarakan kuliah dalam jaringan (online) pada hari Selasa, 9 Januari 2018, dengan topik “Pendidikan Karakter Tötönafö: Proses Terbentuknya Kepribadian dan Strategi Mengubahnya”. Narasumber adalah pakar leadership dan living values, Fidelis Waruwu M.Sc.Ed ((Biografi Narasumber: Fidelis Waruwu, M.Sc.Ed, saat ini memimpin Education Training & Consulting, Jakarta dan merupakan trainer bersertifikasi MBTI dan Leadership John C. Maxwell. Lahir di Nias pada tanggal 28 Oktober 1964. Ia belajar filsafat di STFT St. Yohannes Pematangsiantar hingga menyelesaikan Sarjana Filsafat di Universitas Katolik St. Thomas Medan (1990). Tiga tahun kemudian ia belajar ilmu pendidikan dengan jurusan formasi kepribadian di Universitas Pontificia Salesiana, Roma, Italia. Setelah menyelesaikan Master in Science of Education (M.Sc.Ed) tahun 1996 ia mengikuti program sertifikasi 6 bulan menjadi formator para formator (formatore dei formatori) dengan bidang keahlian formasi kepribadian. Selanjutnya ia memperoleh sertifikat sebagai Trainer Living Values (Oxford, 2004) dan sertifikat MBTI (Myers Briggs Type Indicator) internasional (2006) serta DISC Profile. Sekarang ia banyak memberikan training di bidang formasi kepribadian, MBTI, DISC Profile, Corporate Culture, Character Building & Team Building. Ia memperoleh sertifikat sebagai pembicara dan coach “Leadership” dari John C. Maxwell (www.johncmaxwellgroup.com/fideliswaruwu). Ia juga menjadi founder Education Training & Consulting (www.edutraco.com) yang memberikan pelayanan dalam berbagai training formasi kepribadian. Berbicara pada banyak seminar, baik di tingkat nasional maupun internasional. Pada tingkat nasional, menjadi staff pengajar “Integritas kepribadian” pada Pentaloka Nasional Program KB Bagi kepala Institusi Pengelola KB Kabupaten/Kota angkatan I s/d IV (2005); menjadi pembicara “Keluarga sebagai tempat pembelajaran dan pewarisan nilai-nilai kehidupan” di Lokakarya Nasional Departemen Agama RI; memberikan puluhan seminar Living Values dan educational program di berbagai institusi, bagi para guru, dosen dan orang tua, al. di tingkat universitas: Universitas Pelita Harapan (Jakarta), Universitas Bina Nusantara (Jakarta), Universitas Indonesia, Jakarta; Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta dan Universitas Tarumanagara, Jakarta. Pada tingkat Yayasan: IPGABI (Ikatan Pembina Gelanggang Anak-anak Buddhis Indonesia), Yayasan Bunda Hati Kudus, Jakarta; Yayasan Regina Pacis, Jakarta; Yayasan Adikarat Niat, Jakarta; Yayasan Diannanda, Jakarta; Yayasan Sekolah Madania, Bogor; Pelatihan Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan di NTT (Kupang, Ende, Atambua, Sumba Timur dan Barat). Menjadi pembicara dalam kongres internasional, antara lain: menjadi pembicara dengan topik, ”Living Values and emotional intelligence” pada European Congress of Psychology (3-8 July 2005) di Granada, Spanyol. Menjadi pembicara, “Living Values Educational Program (LVEP) increases teaching quality” (13-17 Juli 2005) pada International School Psychology Colloquium di Athena, Yunani; Menjadi peserta dan pembicara pada “28th International Congress of Psychology”, Beijing 8-13 Agustus 2004. Menjadi Peserta dan pembicara dengan topik “Social activities of the elderly across cultures” pada: “International Federation on ageing” 7th Global Conference, Singapura, 4-7 September 2004; Sebagai Peserta dan pembicara dengan topik, “Parmalim music and healing. A case study on healing in Tapanuli, North Sumatra” pada International Association for Cross-Cultural Psychology Sixth European Regional Congress 2003, di Budapest – Hungary; Sebagai Peserta dan pembicara dengan topik, “Religious development in adolescence. An empirical study of the religious component and of some variables related to it” “8th European Congress of Psychology” di Vienna – Austria, tanggal 6-11 Juli 2003. Menulis buku: “Membangun Budaya Berbasis Nilai. Panduan Pelatihan bagi Trainer”. (Grasindo, 2010). Bersama dengan Drs. Monty P. Satiadarma, menulis buku Mendidik Kecerdasan (Obor, 2003), dan puluhan artikel ilmiah yang tersebar pada berbagai jurnal ilmiah, & berbagai media.)), dan penanggap utama adalah Pdt. Dr. Tuhoni Telaumbanua (Eporus BNKP) dan Pastor Onesius Otenieli Daely, OSC, P.hD (Dosen Fakultas Filsafat, Unpar). Moderator Apolonius Lase (praktisi media di Kompas).  Kuliah daring dimulai pukul 19.00 dan berakhir pukul 21.40 dan dihadiri oleh semua anggota OTT dari seluruh dunia.

Moderator membuka kuliah daring pertama ini dengan menjelaskan sedikit tujuan kuliah ini. Menurut dia, kuliah ini sangat perlu buat diaspora kepulauan Nias untuk saling belajar. Mengutip Immanuel Kant, seorang penganut aliran Filsafat Pencerahan, berkebangsaan Jerman,  “Manusia hanya dapat menjadi sungguh-sungguh menjadi manusia melalui pendidikan dan pembentukan diri (character) yang berkelanjutan. Manusia hanya dapat dididik oleh manusia lain yang juga dididik oleh manusia yang lain.”

Apa itu karakter? Menurut Kertajaya (2010), karakter ialah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seseorang itu bertindak, bersikap, berucap, dan merespons sesuatu.

Banyak para ahli memberikan pendapat soal ini apa itu pendidikan karakter. Thomas Lickona, misalnya, menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang pokok.

Sesuai waktu yang sudah disepakati bersama, Fidelis pun memulai kuliah daring. Waktu seorang anak lahir, dia belum mempunyai kepribadian. Namun, bayi telah membawa potensi di dalam dirinya. Ada tiga potensi yang sudah dibawa sejak lahir, yaitu kemampuan berpikir (kognitif), kemampuan merasa (afektif), kemampuan berperilaku (psychomotor). Anak yang baru lahir belum bisa berpikir. Namun, dia punya potensi berpikir.

Bagaimana seorang anak membentuk pola pikirnya? Anak mendengar suara ibunya yang mengatakan, “Ini mama sayang”, pada waktu yang sama, anak itu juga melihat wajah mamanya. Kejadian ini, membentuk asosiasi di dalam kesadaran anak, kata mama identik dengan perempuan yang selalu merawatnya. Terbentuklah konsep mama di dalam pikirannya. Anak terus-menerus mengobservasi setiap kata yang didengarnya dan kemudian melakukan asosiasi di dalam pikirannya. Ketika anak sering mendengar kursi, meja, lampu, dan berbagai kata-kata lain, konsep kata-kata itu dibentuk di dalam pikirannya.

Hari demi hari anak melakukan observasi terhadap apa yang dialaminya, kemudian merekam hasil observasinya itu di dalam kesadarannya, menjadi bagian dari pengetahuannya. Semakin hari, anak semakin banyak mengobservasi cara-cara orang dewasa berkomunikasi dan berperilaku. Misalnya anak mengobservasi orangtuanya yang selalu berdoa sebelum dan sesudah makan; juga selalu berdoa sebelum dan setelah tidur. Kebiasaan baik ini diobservasi oleh anak setiap hari dan direkam ke dalam bawah sadarnya bahwa perilaku yang baik itu adalah selalu berdoa.

Jika ini konsisten menjadi pengalaman anak, perlahan-lahan terbentuklah kepribadian anak yang religius. Demikian terbentuk nilai-nilai moral (yang menjadi pola pikir) seorang anak. Itu berarti, kalau anak-anak tidak pernah mengobservasi orangtuanya melakukan hal-hal yang baik (berdoa, menolong orang lain, menghargai orang lain), nilai-nilai itu juga tidak direkam oleh anak.

Demikian terbentuk nilai-nilai moral (yang menjadi pola pikir) seorang anak. Itu berarti, kalau anak-anak tidak pernah mengobservasi orangtuanya melakukan hal-hal yang baik (berdoa, menolong orang lain, menghargai orang lain), nilai-nilai itu juga tidak direkam oleh anak.

Lebih lanjut anak-anak belajar membentuk pola pikirnya berdasar pada pengalaman-pengalamannya sehari-hari. Misalnya, ketika ke pasar, anak melihat bahwa apa saja bisa dibeli kalau ada uang. Maka anak minta dibelikan mainan kesukaannya. Tapi orangtua mungkin menanggapi anak, “Tidak ada uang untuk beli mainan.” Namun, setiap kali membayar belanjaan, anak melihat uang dikeluarkan dari dompet ibunya.

Jika pengalaman ini berulang-ulang anak belajar berpikir bahwa “boleh lain kata-kata lain perbuatan”. Ini benih karakter suka bohong kelak.

Pengalaman-pengalaman itu bisa dialami anak dalam situasi yang berbeda-beda, misalnya ketika ayah dan ibu pergi dari rumah dan anak ingin ikut serta, dikatakan kepada anak, “Sayang, makanlah dulu, papa dan mama tidak pergi.” Kenyataannya, anak lagi makan dan kedua orangtuanya menghilang pergi. Anak menangis, mengalami dibohongi. Bila hal ini terjadi terus-menerus, akhirnya anak membentuk pola pikirnya bahwa berbohong itu adalah hal biasa.

Baca juga:  Warga Dusun I Hiligara Ingatkan Kepala Desa Akan Janji Lanjutkan Pengaspalan Jalan

Jadi, kadang secara tidak sadar, orangtua membentuk pola pikir anak-anaknya secara salah. Dari situ, kita bisa memperhatikan cara-cara bicara anak-anak, persis mengikuti cara-cara bicara orangtuanya (pengasuhnya). Kalau orangtua atau pengasuhnya sering membohongi anak, anak-anak yang dibesarkan dalam pola pengasuhan demikian akan belajar bagaimana berbohong

Terbentuknya Pola Rasa Anak

Terbentuknya pola rasa anak belajar dari proses meniru dari lingkungan sekitar. Anak-anak mengungkapkan emosinya, dengan cara meniru bagaimana cara-cara orang dewasa mengungkapkan emosi mereka. Misalnya anak mengobservasi: kalau ayah atau mamanya marah maka anak didiamkan. Pola-pola ini akan direkam oleh anak. Kelak, kalau dia marah pada temannya, dia juga akan mendiamkan. Jadi, pola reaksi ketidaksenangan anak akan selalu mendiamkan.

Apabila orangtua atau pengasuh anak suka menakut-nakuti anak-anak, anak-anak belajar menjadi takut. Sebenarnya setiap anak tidak memiliki rasa takut sampai mereka mempunyai pengalaman negatif tentang sesuatu. Karena itu, anak bisa memegang pisau, api atau binatang apa pun tanpa rasa takut. Tapi, ketika orang dewasa atau pengasuhnya menakut-nakuti anak tentang binatang tertentu, akhirnya anak belajar menjadi takut.

Semua jenis fobia (seperti ketakutan pada kecoak, takut pada hantu, takut ketinggian, takut gelap) dipelajari anak dari pengalaman-pengalaman awalnya. Demikian anak-anak membentuk pola rasa (cara-caranya mengungkapkan emosinya).

Proses Pembentukan Karakter

Bagaimana proses pembentukan karakter? Prosesnya hanya ada dua: Pertama, anak mengobservasi perilaku orang dewasa. Kedua, anak meniru (imitasi) perilaku tersebut. Ketika anak mengobservasi perilaku orangtua yang bicara lembut dan menghargai lawan bicaranya, anak juga menirunya. Apabila anak melakukan terus-menerus perilaku tersebut, terbentuk kebiasaan (habit). Kalau anak terus-menerus melakukan perilaku tersebut, dalam waktu yang lama, kebiasan tadi berubah menjadi sifat.

Sifat adalah kebiasaan yang sangat menonjol yang diulangi anak dalam berbagai situasi, misalnya sifat malas. Perilaku ini diulang dari berbagai kondisi, contohnya malas bangun pagi hari, malas mandi, malas sarapan, malas ketika pergi ke sekolah; malas ketika sampai di sekolah, cara duduknya seperti mau tidur, malas menulis, malas mengerjakan tugas; kemudian pulang sekolah: malas buat PR, malas membereskan buku-bukunya; malam malas belajar, hanya main games terus. Ketika perilaku itu diulang-ulang, akhirnya anak membentuk sifat malas.

Nah, kalau perilaku itu terus-menerus dilakukan, yang tadinya sudah menjadi sifat, meningkat menjadi karakter (seolah-olah menjadi darah daging). Maka karakter adalah sifat yang sangat menonjol yang sudah menjadi pola pikir, pola rasa dan pola laku. Berarti karakter menjadi inti dari kepribadian.

Nah, kalau perilaku itu terus-menerus dilakukan, yang tadinya sudah menjadi sifat, meningkat menjadi karakter (seolah-olah menjadi darah daging).

Kita dapat melihat contoh-contoh karakter manusia misalnya: Orang Nias, kalau ketemu, selalu memberi salam, kemudian bersalaman. Ini sudah otomatis, dan dilakukan dengan spontan, tanpa pikir lagi. Kalau tidak melakukannya, maka kita merasa ada yang salah. Jadi sudah menjadi karakter. Sebaliknya kalau anak itu dibesarkan di mana dia tidak mengobservasi cara-cara itu, maka dia tidak memiliki karakter tersebut.

Berarti karakter itu terbentuk ketika ada dua hal: (a) observasi perilaku (b) Imitasi atas perilaku tersebut. Kalau dua hal itu dilakukan terus-menerus, perilaku itu menjadi  kebiasaan dan lama-lama (kalau terus dilakukan) perilaku itu menjadi sifat dan kalau terus-menerus dilakukan maka akan menjadi karakter.

Pertanyaannya, kalau sudah menjadi karakter, apakah perilaku tersebut bisa diubah? Bisa! Hanya perlu ada (1) tekad untuk melakukan perilaku baru. (2) Perilaku baru itu diulang-ulang melakukannya secara konsisten sampai menjadi kebiasaan, menjadi sifat dan kemudian menjadi karakter.

Mengubah Karakter Generasi Nias Zaman “Now”

Cara mengubah karakter generasi Nias zaman now, menurut Fidelis adalah

  • Keteladanan orang dewasa (cara bicara, cara berperilaku, cara bekomunikasi, cara mengemukakan pendapat) itu diobservasi oleh anak-anak (generasi muda kita) dan mereka akan meniru gaya tersebut. Hal itu kalau dilakukan terus-menerus akan membentuk karakter mereka. Berarti karakter anak dipengaruhi oleh karakter siapa pengasuh anak itu karena anak itu mengobservasi perilaku orang dewasa yang dekat dengan dirinya.
  • Kalau mau mengubah karakter orang-orang Nias, mulailah merubah perilaku orang dewasa (ayah dan ibu) melalui pendidikan dalam keluarga; merubah karakter guru (dalam pendidikan) dan sekaligus mempromosikan perilaku-perilaku yang berbasis nilai oleh para figur masyarakat (kelihatannya itu yang sedang dilakukan oleh Pak Jokowi).
  • Perlu diberi kesadaran kepada orangtua, para pendidik, semua figur masyarakat, bahwa cara-cara kita berperilaku akan menjadi bahan observasi anak-anak (calon generasi Nias masa depan). Maka kalau mau membangun karakter orang Nias yang kuat di masa depan, mesti kita mulai dengan perubahan di dalam keluarga, pendidikan, sekolah, gereja, dan masyarakat.

Kalau mau membangun karakter orang Nias yang kuat pada masa depan, mesti kita mulai dengan perubahan di dalam keluarga, pendidikan, sekolah, gereja, dan masyarakat.

Dalam tanggapannya sebagai penanggap utama pertama, Pdt.Dr. Tuhoni Telaumbanua menjelaskan bahwa pengalaman masa kecil sangat berpengaruh terhadap pendidikan karakter. Ketika melakukan refleksi tentang pengalaman masa kecil, ada 3 hal yang perlu diperhatikan: (1) Bahwa pengalaman dalam keluarga inti sangat menentukan dasar terbentuknya karakter. (2) Pengalaman lingkungan yang asri, bersahabat dan akrab serta keterlibatan dalam adat-istiadat juga turut membangun kharakter itu. (3) Pengalaman-pengalaman yang dilihat dan dialami mendapat akumulasi pembentukan diri melalui “manö-manö” yang kami dengar.

Adapun penanggap utama kedua Pastor Ote Daeli OSC, P.hD, lebih mendalami perihal apakah bakat itu sebenarnya diturunkan (biologis) atau dibentuk (kultural). Ternyata, menurut narasumber, ada kombinasi faktor bawaan yang diturunkan melalui DNA, dan menyebabkan ada orang yang menonjol di bidang tertentu. Singkatnya, ada faktor bawaan (yang sering disebut bibit), faktor pola asuh (lingkujgan keluarga dan pendidikan awal) yang sering disebut bebet dan faktor pendidikan yang dialami oleh seseorang, yang sering disebut bobot. Faktor pendidikan ini termasuk pelatihan, hasil refleksi diri, pembinaan khusus.

Kuliah daring yang berjalan dengan penuh antusias dari peserta segera diakhiri. Moderator mengakhiri kuliah pada pukul 21.40. Selama kuliah berlangsung peserta telah mendapatkan pencerahan yang luar biasa tentang pendidikan karakter dari narasumber. Anak akan menyimpan apa pun yang ia lihat ke dalam alam bawah sadarnya. Sifat dan karakter orangtua akan ditiru dan dianggap sebagai sesuatu kebenaran. Sebagai orangtua hendaknya bisa menjaga kata dan laku sehingga bisa membentuk karakter anak. Jika orangtuanya lembut, anak akan bersifat dan berkarakter lembut. Jika orangtuanya selalu jujur, anak akan alhasil menjadi anak yang jujur. Lingkungan akan sangat membentuk pola pikir anak.

Dalam konteks ke-Nias-an, karakter orang Nias bisa terbentuk lewat pendidikan keluarga. Apa yang kita lihat sekarang pada karakter ono niha adalah sumbangan pendidikan karakter di keluarga kita selama ini. Gereja dan lembaga-lembaga yang bersentuhan dengan masyarakat, termasuk lembaga pendidikan sangat berperan dalam pendidikan karakter ini.

Tokoh diaspora Kepulauan Nias, Yosafati Gulö, memberikan kesan tentang kuliah daring yang diberikan narasumber. Menurut dia, kuliah ini sangat luar biasa. “Pak Fidelis seolah membongkar semua kekurangan dan kelemahan saya dalam pendidikan anak. Secara umum apa yang dikuliahkan Pak Fidelis kita sudah paham. Tetapi penyampaiannya yang tertata rapi membuat pemahaman lebih mantap sekaligus menguak kelemahan-kelemahan yang saya lakukan selama ini.” Kesan ini diamini oleh peserta lain.

Notulis: Marinus Waruwu

RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments