Tuesday, March 19, 2024
BerandaKanalDiaspora NiasMenjelajahi Negeri Ratu Elizabeth untuk Pertama Kali

Menjelajahi Negeri Ratu Elizabeth untuk Pertama Kali

CERITA DARI LONDON

Oleh Sirus Laia, London

Jika Anda punya kesempatan untuk berkunjung sehari ke kota London, ibu kota Inggris, apa kira-kira yang Anda mau lihat? Ada banyak tempat yang selalu ramai dikunjungi turis, misalnya istana Buckingham Palace, di mana Ratu Elisabeth berdiam. Atau menara Big Ben, yang bunyi loncengnya sering kita dengar dari siaran BBC. Tempat ini sungguh dijejali oleh turis untuk mengambil selfie dengan latar belakang Big Ben. Demikian juga Natural History Museum, di mana dipajang bangkai-bangkai raksasa dinosaurus yang mengilhami film-film seperti Jurassic Park dan Godzilla. Turis berdesak-desakan di sini.

Akan tetapi, jika Anda seorang Ono Niha dan apalagi berasal dari Nias Tengah, yang terkenal memiliki rasa religiositas kental, apa kira-kira yang bagi Anda lebih menarik untuk dikunjungi di London?

Nah, baru-baru ini dua Ono Niha asli, P. Dionisius Laia dan P. Pius Ndruru, berkunjung sehari ke London. Mereka lagi belajar bahasa Inggris di Oxford dan mengambil kesempatan untuk berjalan-jalan ke Ibu Kota negara Inggris itu. Dan penulis, yang juga dari Nias Tengah, menjadi guide. Dan melalui tulisan ini saya harap Anda bisa ambil bagian dalam tour tersebut.

Karena hanya punya waktu beberapa jam saja, saya mengusulkan kepada mereka untuk fokus pada satu tempat saja, yang kemungkinan bisa memberi kesan mendalam bagi mereka secara religius. Apalagi mereka berdua religius juga. Untungnya mereka setuju. Namun, dalam perjalanan menuju tempat tujuan tersebut. kami mengambil waktu untuk berhenti pada beberapa tempat menarik lainnya sehingga bisa sambil menyelam minum air.

Bucckingham Palace & Trafalgar Square

London, England, UK --- Buckingham Palace, London --- Photo © Murat Taner/Corbis
London, England, UK — Buckingham Palace, London — Photo © Murat Taner/Corbis

Yang pertama adalah Buckingham Palace. Sayang untuk bisa memasuki istana perlu beli tiket dan harus dipesan jauh-jauh hari sebelumnya. Itu pun harus bersiap-siap terjebak dalam antrean panjang. Jadi bagi P. Dionisius dan P. Pius cukup menyaksikan kemegahan istana ini dari luar saja.

Di depan istana terdapat monumen Ratu Victoria, ratu yang paling lama memerintah di masa lalu dan yang pada masa pemerintahannya Inggris berekspansi menaklukkan dunia bukan hanya dalam arti wilayah, melainkan juga dalam berbagai segi kehidupan dan teknologi. Monumen Victoria ini dikelilingi oleh pilar-pilar, yang mewakili setiap negara/daerah jajahan Inggris pada masa sang Ratu.

Akan tetapi, pilar dengan nama Pulau Nias tak ada di antaranya. Nah, jelas. Setelah Stamford Raffles mendeklarasikan Pulau Nias masuk di bawah pemerintahan Inggris, beberapa bulan kemudian London membatalkan keputusan itu pada Maret 1823 dan memutuskan menjadikan Pulau Singapura sebagai daerah di bawah Inggris. Sayang, kan? Kalau tidak, barangkali Pulau Nias telah maju seperti Singapura sekarang.

Dari Buckingham Palace kami melenggang melewati gedung di mana Perdana Menteri Inggris berkantor. Terus sampai ke Trafalgar Square, di mana terdapat sebuah monumen yang tinggi menjulang ke langit, memperingati gugurnya Admiral Nelson pada perang Inggris melawan Perancis di pertempuran Trafalgar.

London memang penuh dengan monumen perang, seolah mengingatkan setiap pengunjung akan masa lalu Inggris yang penuh darah, perbudakan dan kekejaman. Namun, yang mengherankan, bekas-bekas jajahan Inggris (bahkan ada yang bukan bekas jajahan) dengan sukarela bergabung dalam satu persekutuan negara-negara yang disebut Persemakmuran Inggris, yang tentu saja dikepalai oleh Ratu Inggris.

Jadi, kendati dewasa ini Inggris tidak menjajah lagi, sepertiga umat manusia di dunia ini masih menerima Ratu Inggris sebagai ratu mereka (ke-53 negara yang tergabung dalam Persemakmuran Inggris berpenduduk 2,2 miliar, yang berarti lebih sepertiga dari 7 miliar penduduk bumi saat ini). Hmmm…

Leicester Square

Leicester Square, London, England, UK --- Photo oleh © Mike Kemp/In Pictures/Corbis
Leicester Square, London, England, UK — Photo oleh © Mike Kemp/In Pictures/Corbis

Kami pun meneruskan perjalanan ke Leicester Square. Di seputar ini ada China Town. Berarti di sini turis bisa mengecap rasa seolah berada di China dengan produk-produknya yang murah (dan juga murahan) dan restorannya yang menyajikan daging bebek dan daging merah yang bergantungan di etalase restoran.

Tapi Leicester Square lebih terkenal karena banyaknya gedung bioskop dan teater. Pertunjukan perdana film-film Hollywood berlangsung di sini. Berbagai musikal kelas dunia dan paling sukses dipertunjukkan di sini.

Pikir lakon panggung sudah ketinggalan zaman? Salah! Lakon karangan Agatha Christie berjudul The Mousetrap, misalnya, telah manggung di sini selama 63 tahun(!) dan masih terus dipertunjukkan sampai hari ini. Tentu saja karena masih ada pengunjung, bukan? Nah, ini benar unik dan hanya ada di London! Dan tentu saja keunikan semacam ini menjadi daya magnet buat turis.

Akhirnya, kami pun sampai ke tujuan semula program hari ini: British Museum. Mungkin Anda berpikir, ke museum? Pergi ke London dan menghabiskan waktu hanya untuk pergi ke museum?

Namun, sekali lagi justru inilah yang membuat London unik dan tak henti dibanjiri turis mancanegara. British Museum menyimpan berbagai obyek bersejarah yang digali oleh para arkeolog selama beberapa abad terakhir, termasuk obyek-obyek dari berbagai daerah, di mana kisah dan kejadian yang diceritakan dalam Perjanjian Lama berlangsung.

British Museum

Kami pun mulai peziarahan dari ruangan yang memaparkan wilayah yang dulu disebut Levant. Nama itu menjadi mencuat lagi dalam tahun-tahun terakhir, setelah sebuah kelompok berhaluan terror berambisi mendirikan negara Islam di daerah yang di zaman Kitab Suci disebut Levant tsb. Mereka dikenal dengan nama ISIL (Islamic State of Iraq and the Levant) atau ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

Baca juga:  Ipni, Kabar Baik untuk Perempuan Nias

dion-pius-british-museum

Ya, dari daerah itulah muncul budaya tulisan yang pertama dalam sejarah umat manusia. Berbagai fragmen batu bertuliskan cuneiform dipajang di situ. Dan melihat umurnya, lokasi di mana fragmen-fragmen tsb. ditemukan dan isi fragmen-fragmen tsb, kita bisa membayangkan bahwa Abraham dulu telah mengenal tulisan-tulisan semacam itu.

Tapi yang paling menggugah adalah berjalan lewat di bawah papan dekorasi, yang kemungkinan besar dipasang di atas pintu masuk ke Kuil Ninhursag, satu kuil besar di Ur, kampung halaman di mana Abraham dibesarkan. Bisa kita bayangkan Abraham pernah lewat di bawah papan dekorasi tsb. berkali-kali sebelum dia mendengar panggilan Allah untuk migrasi ke Kanaan dan mengabdikan diri kepada Allah, yang kelak menjadi Allahnya orang Yahudi, Kristen dan Islam.

Seandainya Abraham masih hidup mungkin dia berkata dengan penuh nostalgia, “Itu benda-benda dari kampung halaman saya”, sebagaimana layaknya kita sering referensi ke hal-hal yang berhubungan dengan kampung halaman dengan rasa bangga. Dia bisa menunjuk ke tulisan cuneiform itu seraya berkata, “Begini cara menulis kata Yaahowu dalam bahasa ibu saya”, “Begini menulis kalimat Tuhan beserta Anda.”

Tetapi Abraham telah meninggal ribuan tahun yang lalu. Kini papan dekorasi dari kuil Ninhursag itulah yang dengan bangga bisa berkata, “Abraham dulu pernah lalu lalang di sini” atau fragmen-fragmen tulisan yang dipajang di situ yang dengan terharu bisa berujar, “Abraham telah belajar membaca apa yang tertulis di sini.”

Lebih dari itu di ruangan ini dipajang potongan-potongan tablet Enuma Elish dari perpustakaan Ashurbanipal, yang memuat legenda kisah penciptaan yang telah menjadi inspirasi dasar bagi penulis Kitab Kejadian ketika menulis Kisah Penciptaan, yang kita kenal (Kej 1,1-31).

“Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta, bumi belum berbentuk, dan masih kacau-balau…” bunyi Kitab Suci ini menggaung dalam hati sementara mengamati tablet Enuma Elish. Bahwa penulis Kitab Suci mengambil inspirasi dari tulisan yang telah ada sebelumnya, bagi saya itu merupakan peneguhan bahwa Kitab Suci memang merupakan sejarah manusia dan karena itu sejarah penyelamatan. Ia ditulis dalam satu konteks dan memberi makna dalam konteks itu.

Untuk menghemat waktu kami pun melanjutkan ke ruangan berikutnya di mana dipajang lebih banyak lagi tablet dan fragmen dari perpustakaan raksasa yang dibangun oleh Ashurbanipal di Nineveh. Para arkeolog dari British Museum menemukan lebih dari 30.000 tablet dan fragmen, yang dulu menjadi milik perpustakaan tsb. Bayangkan majunya kebudayaan waktu itu!

Ya, kala itu kota Nineveh dengan bangunan-bangunan megahnya penuh dengan orang-orang terpelajar. Barangkali bisa dibandingkan dengan kota Jakarta? Wah, kalau Anda bisa menunjukkan kepada saya sebuah bangunan di Jakarta yang mempunyai pintu gerbang seberat 30 ton (!) seperti yang ada di Nineveh, maka saya percaya Anda. Uh…

Tapi rupanya Allah sendiri pun terpesona dengan kemajuan kota ini, sehingga Ia berusaha menyelamatkan mereka. Maka dia mengutus Nabi Yona (atau Yunus) ke sana untuk mewartakan pertobatan.

dion-pius-abraham

Tapi nampaknya Yona tak mampu menguasai rasa sentimen dalam hatinya dan malah menginginkan kehancuran kota itu, seperti yang saat ini dilakukan oleh ISIS di daerah yang sama. Syukurlah waktu itu Allah menang dan Yona kalah, Nineveh selamat. Dewasa ini nampaknya ISIS dengan kampanye penghancurannya menang dan Allah kalah?!

Karena waktu tersisa tinggal sedikit kami pun melompat ke ruangan lain di mana dipajang berbagai obyek arkeologis dari daerah Persia. Di sini terdapat Cyrus Cylinder, yang diklaim sebagai Piagam Hak Asasi Manusia yang pertama.

Disebut silinder Cyrus, karena piagam tsb. dikeluarkan oleh Raja Cyrus (559-530 Sebelum Masehi), yang menguasai Persia saat itu dan merupakan nenek moyangnya orang Iran saat ini.

Dari pada menghancurkan daerah yang dia taklukan dan menjadikan penduduknya sebagai budak, Raja Cyrus malah merestorasi semua kuil-kuil dan membantu penduduk untuk kembali ke tanah airnya. Hal inilah yang dia tuangkan dalam Piagam Cyrus tsb.

Sebagai bagian dari kebijakan ini orang Israel yang waktu itu telah dideportasi oleh Nebukadnezzar ke Babilonia bisa pulang ke tanah air mereka, daerah Palestina yang sekarang. Berkat Cyrus pembuangan orang Israel di Babilon berakhir. Tak heran Perjanjian Lama menyinggung hal ini.

Melihat piagam berbentuk silinder tsb. mau tidak mau kita teringat pada hubungan Iran-Israel dewasa ini. Untunglah presiden Iran saat ini tidak seperti presiden sebelumnya Amanidejad, yang secara terang-terangan ingin menghancurkan Israel.

Sekaligus itu juga merupakan bukti, kendati ada tradisi panjang hidup dalam toleransi dan menghargai satu sama lain, selalu saja ada orang yang dalam hatinya lebih menginginkan budaya penghancuran (seperti Yona atau ISIS yang disebut di atas) dan bukan budaya kehidupan (Allah menang di Nineveh).

Ini peringatan bagi kita di Tanah Air yang bangga dengan tradisi panjang toleransi umat beragama. Tradisi tsb. bisa hancur sekejap bila mereka, yang hatinya dikuasai sentimen, mendapat kesempatan menjadi kekuatan dalam masyarakat. Hayo, jangan sampai Allah kalah dalam belaskasihannya di Tanah Air. Merdeka!

Ya’ahowu dari London, 18 Augustus 2015

Beberapa tautan informasi:

RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments