Oleh Idam Putriyani Waruwu
Jika kita lihat dari jendela mata kita saat ini, kesempatan yang diperoleh oleh perempuan Indonesia untuk meraih mimpinya sudah hampir tidak kalah dengan laki-laki. Ini tidak lepas dari pemahaman bahwa kesetaraan gender adalah hal mutlak yang harus dikedepankan sehingga kedudukan perempuan dan laki-laki dianggap sama.
Hasilnya, banyak kemajuan dan keberhasilan yang telah diraih oleh perempuan-perempuan di Indonesia. Kemajuan dan keberhasilan itu misalnya, dalam bidang pendidikan, politik dan prestasi dunia. Banyak perempuan yang sudah menamatkan pendidikan di tingkat tinggi. Beberapa dari mereka ada yang sudah sarjana, master, doktor dan bahkan profesor. Mereka mengemban profesi sebagai dosen, guru, dokter, dan lain sebagainya. Bahkan, kebanyakan anak perempuan sekarang sudah menamatkan pendidikan minimal di tingkat SMA.
Dilihat dalam bidang politik, dapat kita temukan bahwa beberapa perempuan Indonesia telah terlibat di dalamnya. Banyak jabatan strategis dalam pemerintahan diduduki oleh perempuan. Menurut data yang diterbitkan Kompas, ada 97 perempuan atau setara dengan 17, 32 persen telah menjadi anggota DPR Periode 2014-2019. Selain itu, ada 9 orang perempuan menjabat sebagai menteri. Dengan fakta tersebut, dikatakan bahwa Indonesia memiliki jumlah menteri perempuan terbanyak di dunia setelah Uni Emirat Arab. Di bidang lain, perempuan Indonesia juga telah mencatat sejarah prestasi yang pernah diraih.
Berbagai prestasi juga telah pernah diraih oleh perempuan Indonesia di tingkat dunia. Misalnya, Susi Susanti adalah peraih medali emas pertama untuk Indonesia dalam bidang bulu tangkis. Tidak hanya itu, Ariska Putri Pertiwi juga memenangkan konteks kecerdasan dan kecantikan perempuan dunia sebagai Miss Grand International 2016. Dan di tahun 2018, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani menerima award sebagai Menteri Terbaik Dunia.
Sepintas Kehidupan Perempuan Nias
Dengan berbagai keberhasilan tersebut, timbul pertanyaan, apakah kesempatan yang sama juga didapatkan perempuan di Nias sampai sekarang? Apakah perempuan Nias, khususnya di pedesaan, telah menikmati berkah kesetaraan gender yang telah memberikan peluang pada perempuan Indonesia untuk bisa maju?
Mari membandingkan kondisi perempuan Nias dulu dan sekarang. Dulu, bagi anak perempuan Nias, bersekolah bagaikan mimpi pada malam hari yang mustahil akan menjadi kenyataan. Saya sendiri menyaksikannya di keluarga saya. Ina lawe (tante) saudara perempuan ayah, tidak ada yang menamatkan pendidikan bahkan di tingkat SD sekalipun. Alhasil, mereka pun tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf) dan tidak mampu berbahasa Indonesia. Kalaupun sekarang ada sebagian dari mereka yang sedikit mampu berbahasa Indonesia itu bukanlah didapatkan dari bangku sekolah melainkan dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut penelitian UNICEF pada tahun 2002, jumlah anak perempuan putus sekolah pada tingkat SD dan SLTP jauh lebih besar dari pada jumlah anak laki-laki.
Ada berbagai alasan mengapa hal itu bisa terjadi. Kata tante saya, perempuan tidak boleh bersekolah karena nanti setelah menikah akan menjadi milik orang lain. Jadi buat apa susah-susah menyekolahkan mereka? Begitu tanggapan kebanyakan orangtua di zaman dulu. Selain itu, ada juga yang beranggapan bahwa kodrat perempuan hanya untuk bekerja di dapur dan melayani suami saja nantinya sehingga tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Alasan lainnya juga disebabkan oleh keadaan ekonomi yang tergolong lemah
Bagaimana dengan sekarang? Memang terdapat perubahan. Anak perempuan Nias sudah mulai menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi misalnya sekolah menengah pertama,sekolah menengah atas, bahkan sampai perguruan tinggi.
Sayangnya, meski sudah mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan, jangan harap mereka bisa fokus untuk belajar. Sepulang sekolah mereka harus bekerja lagi membantu orangtua dengan berbagai macam pekerjaan seperti manaba gitö (menderes karet), mangai bulu gowi (memetik daun ubi), memberi makan babi, memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan lain sebagainya. Bahkan di pagi hari mereka tetap tidak punya waktu untuk belajar. Mereka harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan beberapa pekerjaan lainnya, bukanlahbelajar. Begitulah rutinitas setiap harinya.
Namun di sisi lain, perempuan dianggap masih tidak terlalu pantas dalam memperoleh pendidikan yang tinggi. Anak perempuan dianggap cukup saja tamat SMA. Itu sudah terlalu tinggi untuk anak perempuan. Paling sebagian kecil keluarga saja yang memiliki pola pikir yang luas dan mau melanjutkan pendidikan anak perempuannya di perguruan tinggi. Itupun berdasarkan beberapa pertimbangan yang komplit.
Perempuan Nias juga masih kebanyakan merasakan kekerasan dari orang tua, saudara laki-laki, suami dan bahkan mertua. Anak gadis pada umumnya harus menuruti semua perintah dari orang tuanya dan saudara laki-lakinya. Misalnya ketika disuruh mengambil air minum sekali pun tidak boleh terlambat. Kalau terlambat sedikit saja pasti akan dibentak atau bahkan dimaki. Suami juga sering sekali memukul istrinya. Bahkan ketika sedang bekerja pun, suami tak segan-segan memukul dan membentak. Saya sendiri menyaksikannya. Suami hanya membantu menderes karet saja, setelah itu si suami pulang ke rumah dan istri melanjutkan pekerjaan yang lain sendiri.
Perempuan-perempuan Nias di pedesaan pada umumnya masih hidup seperti di zaman Siti Nurbaya. Kebanyakan dari mereka menikah karena dijodohkan oleh orangtua. Latehe niha atau mereka menerima lamaran tanpa sepengetahuan anak gadisnya. Anak gadisnya hanya mengikuti acaranya saja nanti. Mereka juga masih percaya dengan orang pintar yang mengatakan rejeki dan kesuksesan dalam berumah tangga ditentukan oleh kecocokan nama, bulan lahir, dan tahun lahir kedua mempelai. Dan menurut mereka, berpacaran sebelum menikah itu tidak akan bahagia setelah menikah. Katanya jodoh yang ditentukan dan dipilih orangtua akan menjamin keberhasilan setelah berumah tangga. Atas alasan-alasan itulah mereka selalu memilih menjodohkan anak gadisnya.
Warisan juga merupakan salah satu hal yang tidak akan diperoleh kaum perempuan Nias. Perempuan bahkan tidak berhak mendapatkan sebidang tanah warisan pun dari orangtuanya. Pernah di kampung tempat lahir saya, ada satu keluarga yang memiliki anak perempuan satu-satunya. Kemudian setelah menikah, orangtuanya mewariskan sebidang tanah kepada anak perempuan tersebut. Namun, setelah orangtuanya meninggal, saudara-saudaranya mengambil kembali tanah tersebut dengan paksa. Ketika saya menanyakan perihal kenapa beliau tidak menuntut, beliau malah mengatakan bahwa itu sudah sewajarnya mereka lakukan.
Ironisnya, perempuan sendiri malah menganggap bahwa perlakuan-perlakuan tersebut pantas dan wajar mereka jalani. Mungkin karena perlakuan-perlakuan tersebut sudah berlangsung sejak lama dan turun-temurun. Mereka bahkan menganggap bahwa semua itu termasuk dalam golongan paham patrilineal (mengikuti garis keturunan laki-laki).
Dalam hal ini, saya ingin mencoba membuat suatu perbandingan kecil dengan perempuan di suku lain. Dengan perempuan-perempuan Batak misalnya. Masyarakat Batak sangat menghormati dan menghargai kaum perempuan. Mereka bahkan menyadari betul bahwa kaum perempuan berperan penting untuk kehidupan manusia dan untuk masa depan keluarga. Meskipun mereka juga sama mengandung paham patrilineal namun tidak sedikit juga dari mereka yang mendapat hadiah berupa tanah dan sawah ketika sudah menikah. Namun, dalam bahasanya tidak dikatakan sebagi warisan melainkan hadiah yang merupakan tanda kasih sayang kepada anak perempuan mereka. Mereka juga tidak menghalang-halangi anak perempuan mereka untuk bersekolah tinggi. Bahkan mereka senantiasa berusaha supaya anak perempuan merekajuga bisa menempuh pendidikan yang sama sebagaimana anak laki-lakinya.
Tugas
Perempuan Nias yang dalam hal ini saya fokuskan di pedesaan, masih belum menikmati berkah kesetaraan gender. Perempuan masih berada di wilayah yang saya sebut abu-abu: telah bergerak dari yang lama, tetapi belum sepenuhnya menuju yang baru. Perempuan Nias masih berada dalam kungkungan pandangan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan.
Padahal, sebagaimana perempuan dimanapun, perempuan Nias bukanlah benda mati. Mereka juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara dan sebagai ciptaan mulia. Selain mampu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumit, mereka juga memiliki tingkat intelektual yang tinggi, sebagaimana terbukti dari prestasi-prestasi mereka. Mereka berhak memiliki pendidikan tinggi. Mereka juga memiliki hak dalam menentukan kehidupan mereka sendiri. Mereka ingin berpendapat. Bahkan terkadang pendapat-pendapat mereka juga merupakan ide-ide yang cerdas dan bermanfaat. Perlu memang pemberdayaan yang lebih fokus lagi pada perempuan Nias melalui elemen strategis yang menyentuh perempuan Nias sampai ke pelosok. Lembaga gereja harus terlibat memberikan edukasi kesetaraan gender. Lembaga adat harus berperan dan menjadikan perempuan sebagai “aktor”, bukan hanya penonton. Lembaga pemerintah harus menjadi pemegang kunci pemberdayaan perempuan Nias (Penulis adalah aktivis di HIMNI-Sumut).