Oleh Fotarisman Zaluchu
Pemberian beasiswa oleh Pemerintah Kabupaten Nias Selatan kepada sejumlah mahasiswa untuk belajar di luar daerah dipermasalahkan. DPRD Nias Selatan memutuskan membentuk panitia khurus (pansus). Hal ini dipicu karena terdapat tunggakan yang mencapai Rp 23 miliar lebih di sebuah kampus di Medan sehingga para mahasiswa sempat tidak diizinkan menempuh perkuliahan. Para mahasiswa di kampus swasta itu sedang menempuh pendidikan kesehatan, yaitu dokter, bidan, dan perawat.
Peristiwa ini segera saja menjadi konsumsi media sosial dan mengungkit lagi persoalan lama mengenai program Bupati Nias Selatan periode sebelumnya, yaitu Idealisman Dachi. Idealisman memang sempat membuat Nias Selatan “heboh” karena ia berani memberikan pendidikan gratis kepada mereka yang ingin meneruskan pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi.
Bagaimana tidak heboh karena di Kepulauan Nias barulah ia bupati yang berani melakukan tindakan demikian. Setahu saya, kabupaten lain di Kepulauan Nias tidak ada yang mencanangkan program semasif demikian. Yang ada, hanya merupakan beasiswa sebagai “tugas belajar”, itu pun diberikan kepada pegawai yang merupakan PNS di setiap kabupaten.
Bagaimana kita mencermati hal ini? Inilah maksud tulisan ini. Saya akan meramunya berdasarkan pengalaman saya dan dari apa yang saya ketahui. Catatan ini juga berguna bagi Pansus tersebut, supaya bisa bekerja dalam koridornya. Di akhir tulisan ini, saya minta kesediaan pembaca Kabar Nias untuk meluangkan waktu mengisi kuisioner sebagai sumbangsih dan bahan masukan pemikiran kepada tim Pansus Beasiswa DPRD Nias Selatan.
Makna Beasiswa
Pertama, beasiswa adalah semacam crash-programme untuk tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Beasiswa diberikan karena sebuah wilayah sangat membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang strategis. Strategis artinya yang bernilai ungkit tinggi dan sangat berpengaruh untuk daerah tersebut pada masa mendatang.
Jangan alergi pada beasiswa. Sejak Indonesia merdeka, beasiswa telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintah. Pada masa Orde Lama, ratusan mahasiswa Indonesia dikirimkan ke sejumlah negara Eropa untuk belajar banyak hal. Orientasi pemerintah saat itu adalah untuk memperdalam ilmu strategis, di antaranya pertanian dan ekonomi. Kebijakan itu kemudian diteruskan oleh Orde Baru, terutama karena adanya kebijakan penyaluran bantuan beasiswa dari Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan, sampai sekarang pemerintah menyediakan beasiswa kepada ribuan masyarakat Indonesia untuk bersekolah ke luar negeri.
Kembali pada kebijakan strategis tersebut. Harus ada yang menjadi panduan pelaksanaan beasiswa. Sekarang ini ratusan mahasiswa Indonesia dalam bidang teknik sedang menempuh pendidikan master dan doktor di sejumlah negara. Mereka kelak akan pulang dan menjadi SDM siap pakai karena target Indonesia adalah menyiapkan SDM bidang teknik yang kelak bermanfaat di periode 2020-2030.
Program regular, yaitu mereka yang mengikuti seleksi biasa, lalu kemudian menjalani perkuliahan dengan seleksi normal, akan sangat lamban. Diharapkan dengan adanya beasiswa, kendala uang dan prosedur birokrasi bisa diputus.
Satu lagi poin penting dalam pemberian beasiswa adalah kita akan mendapatkan pooling SDM yang cukup banyak dalam sebuah periode tertentu. Inilah esensi daya ungkit tadi. Bayangkan, saya jika di sebuah wilayah, sejumlah 100 dokter kembali dan memberikan pengabdiannya. Akan luar biasa dampaknya kepada masyarakat di sana. Dampak itu adalah dampak seketika karena dengan pengeluaran yang cukup banyak sekaligus hasilnya akan jauh lebih maksimal.
Dengan demikian, pemberian beasiswa harus punya rencana strategis yang ingin dicapai kelak. Itulah payung utama yang biasanya ada pada setiap program beasiswa. Saat saya memperoleh beasiswa dari Ford Foundation ke UK pada 1998-1999, program utamanya adalah ilmu sosial. Diasumsikan bahwa mereka yang akan kembali ke Indonesia akan menjadi pendorong perubahan sosial di Indonesia sehingga Indonesia akan menjadi negara yang lebih demokratis dan egaliter. Tidak mengherankan jika saat itu, para penerima beasiswa jurusan teknik amat sedikit. Berbeda dengan beasiswa sekarang dari LPDP, asumsi pemberian beasiswa adalah persiapan Indonesia menuju negara industri dengan ekonomi tinggi. Maka wajar jika jurusan teknik dan teknologi menjadi primadonanya.
Bagaimana dengan Nias Selatan? Setahu saya tenaga kesehatan memang masih sangat diperlukan bukan hanya di Nias Selatan, tetapi di seantero Nias. Bersama dengan guru, pemberian beasiswa kepada mereka yang ingin mendalami bidang ini adalah kebijakan yang sangat strategis. Satu lagi adalah bidang pertanian. Bersama-sama dengan Dr. Saharman Gea, beberapa tahun yang lalu kami pernah membantu Pemerintah Kabupaten Nias Utara untuk mendorong pengiriman mahasiswa dari Nias Utara untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Ini sesuai dengan rencana strategis menjadikan Nias Utara sebagai lumbung pertanian di Nias Utara.
Kedua, beasiswa amat berhubungan dengan seleksi. Mengingat bahwa dana yang digunakan biasanya bersumber dari APBN atau APBD, maka harus ada program seleksi yang terbuka dan berjalan secara fair.
Saya juga pernah menerima beasiswa lain dari Pemerintah Indonesia, yaitu beasiswa URGE pada tahun 1999-2000. Pengumuman penerimaan beasiswa diberikan secara terbuka, demikian juga seleksinya. Sampai dengan kemudian tes yang diberikan juga mencantumkan nilai dan kemampuan kita. Demikian juga ketika seleksi LPDP untuk studi doktor ini, semuanya berjalan secara terbuka dan transparan.
Menguji kemampuan penerima beasiswa jelas syarat penting karena dana yang ada sangat terbatas dan karena kita menginginkan bahwa SDM pada masa depan memiliki potensi besar yang kualitasnya berbeda dengan lulusan biasa. Seleksi beasiswa bervariasi, mulai dari kecakapan dan potensi akademik, bahkan sampai partisipasi sosial. Setahu saya, tidak ada peserta yang menang seleksi karena orangtuanya adalah pejabat. Semua diseleksi secara terbuka oleh kelompok independen yang sama sekali tidak berhubungan dengan struktur pemerintah. Ini akan mendorong supaya pemberian seleksi ini berlangsung secara fair-play mengingat semakin lama animo masyarakat akan semakin tinggi.
Di zamannya, lebih dari 1.000 orang mengajukan lamaran pada beasiswa Ford Foundation, sementara yang diterima kurang dari 40 orang. Setiap tahun demikian. Saat ini, pelamar beasiswa LPDP setahunnya mencapai 50.000 orang, sementara yang diterima hanya kurang dari 5.000 orang. Sistem seleksi bekerja untuk mendapatkan SDM terbaik yang potensial pada masa mendatang.
Sebaliknya, tanpa seleksi, rencana strategis mendatang akan kehilangan momentumnya, kecuali hanya mendapatkan lulusan bergelar saja. Meski tidak juga menjamin bahwa lulusannya akan memberikan dampak baik, sistem seleksi jauh lebih baik daripada menerima semua pelamar lalu mengirimkannya ke lembaga pendidikan yang ada.
Saya tidak tahu bagaimana sistem seleksi ini diberlakukan kepada para calon penerima beasiswa yang melanjutkan pendidikan tinggi di Nias Selatan. Kita tahu bahwa pada level lokal, intervensi kepada pemerintah biasanya lumayan tinggi. Apalagi jika pemerintah daerah Nias Selatan tadinya tidak menghunjuk pihak lain untuk melakukan seleksi. Semakin kurang kualitas seleksinya, semakin meragukan kualitas mereka yang dikirimkan.
Akan tetapi harus pula dimengerti bahwa kualitas SDM kita memang amat jauh dari memadai. Dalam seleksi yang dilakukan oleh IPB kepada para pelamarnya, Bupati Nias Utara periode sebelumnya pernah mengeluh. Ternyata hampir-hampir tidak ada yang melewati ambang batas seleksi dari IPB. Ini memperlihatkan bahwa sistem seleksi juga bisa gagal diterapkan bahkan bukan tidak mungkin tidak ada lolos.
Dengar-dengar hasil studi para penerima beasiswa dari Nias Selatan ini tidak semuanya menunjukkan hasil yang baik. Ada yang memiliki IP kurang dari 2. Bayangkan bagaimana mungkin lulusan seperti ini kelak bisa meningkatkan daya ungkit Kabupaten Nias Selatan?
Kembali saya membagikan pengalaman saya. Tiga kali menerima beasiswa dari pemerintah, saya paham bahwa menjadi penerima beasiswa berarti juga harus sungguh-sungguh belajar. Setiap semester, kami diberikan perintah untuk menyetorkan nilai kepada pengirim kami dalam hal ini Pemerintah Indonesia. Pengiriman nilai tersebut menjadi basis bagi kelanjutan beasiswa dan berbagai fasilitas lain yang kami terima.
Alangkah disayangkan jika benar bahwa para penerima beasiswa Nias Selatan ini hanya diberikan dana tanpa tanggung jawab. Ini hanya akan membuat mereka bahwa mereka bersekolah gratis, lalu sesudah itu melupakan beban besar di pundak mereka sebagai bentuk tanggung jawab moral. Mekanisme beasiswa harus benar-benar dirancang perencanannya, pendanaannya, sampai dengan mekanisme evaluasi.
Ketiga, beasiswa umumnya digunakan untuk pendidikan di kampus terbaik. Sejak dari zaman dulu pemberian beasiswa sampai dengan sekarang, pemberi dana beasiswa selalu mencari kampus terbaik. Alasannya sederhana, yaitu seperti yang saya uraikan sebelunya. Bahwa lulusannya dari kampus tersebut akan menghasilkan performance yang berbeda dari lulusan biasa dan akan memberikan daya ungkit yang dibutuhkan oleh sebuah wilayah.
Beasiswa LPDP adalah beasiswa yang mensyaratkan penerimanya harus diterima di sebuah kampus 100 terbaik dunia di luar negeri dan beberapa kampus negeri saja di dalam negeri. Hal ini berhubungan dengan poin pertama saya sebelumnya. Kampus adalah ukuran bagi kualitas SDM yang hendak disekolahkan.
Mengirimkan mahasiswa penerima beasiswa ke kampus swasta bukan tidak mungkin. Tetap saja bisa. Namun, ke PTN jauh lebih bermanfaat. Alasannya sederhana. Tidak ada kampus swasta yang tidak ingin mendapatkan profit. Profit ini akan semakin kecil atau bahkan tidak ada jika itu di PTN. Maka dengan mengirimkan ke PTN, dana beasiswa bisa dialokasikan untuk meningkatkan jumlah penerima beasiswa.
Akan tetapi, lagi-lagi harus mempertimbangkan aspek kemampuan peserta seleksi. Bagaimana mungkin bisa mengirimkan mereka ke PTN jika seleksi saja mereka tidak lolos? Mendapatkan lulusan dari PTN membutuhkan kerja sama yang sangat permisif dari kampus yang dituju karena PTN juga tidak ingin mengurangi kualitasnya. Kecuali pada masa tanggap darurat bencana di Nias di masa lalu, sekarang ini, hampir mustahil ada PTN bisa diajak bekerja sama menerima calon mahasiswa dengan kemampuan pas-pasan.
Jadi, ini sifatnya memang benar-benar teknis. Bahkan, akan sampai menyentuh alasan-alasan praktis yang tidak bisa dijawab dengan idealisme saja. Katakanlah bahwa pemerintah Nias Selatan ingin mendapatkan dokter dengan jumlah cukup banyak. Namun, SDM yang ada tidak kompeten. Maka barangkali itulah alasannya hanya beberapa kampus swasta saja yang mau menerima calon mahasiswa demikian.
Keempat, pernah menjadi polemik di media massa bahwa penerima beasiswa pemerintah di luar negeri sering sekali menerima pembayaran yang telat. Bahkan, seorang Dirjen pernah marah karena kasus ini dilaporkan langsung kepada Menteri Pendidikan saat itu, Mohammad Nuh.
Keterlambatan pendanaan beasiswa bersumber APBN dan APBD sangat wajar. Hal ini dikarenakan dana tersebut harus telah pula disetujui oleh legislatif, lalu menempuh proses pencairan di eksekutif. Jadi, ada semacam penundaan pembayaran yang berisiko kepada tertundanya kewajiban penyaluran beasiswa.
Ada risiko atas proses seperti ini. Mengingat bahwa setiap tahun anggaran harus disetujui oleh pihak legislatif, proses ini bisa menjadi permainan politik. Yang rugi adalah para mahasiswa yang terlebih dahulu harus membayar di muka sejumlah tagihan yang nantinya akan dibayarkan oleh pemerintah daerahnya.
Menurut saya, inilah salah satu poin krusial dari kasus belum dibayarkannya tagihan sebesar Rp 23 miliar lebih tersebut. DPRD kelihatannya mulai menunjukkan kekuatan politiknya, dengan menunda pengesahan APBD, menunggu sampai kemudian bom waktu penundaan ini berujung pada “pengusiran” mahasiswa dari kampusnya sendiri.
Kinerja Pansus
Empat poin di atas adalah pengertian penting untuk mengawali kinerja Pansus. Pansus, sebenarnya adalah alat politik, sebagaimana lembaga DPRD adalah lembaga politik. Evaluasi terhadap pelaksanaan beasiswa ini seharusnya dikerjakan oleh legislatif bersama dengan eksekutif. Setelah evaluasi dilaksanakan, temuan lapangan seharusnya digunakan untuk menyusun sebuah panduan pengembangan SDM di Nias Selatan termasuk di antaranya pemberian beasiswa. Masih ada urusan lain pendidikan di Nias Selatan yang seharusnya juga di “pansus”-kan sejak lama, di antaranya kekurangan guru, fasilitas pendidikan dan lain sebagainya.
Pembentukan Pansus beasiswa ini jangan menjadi arena baru politik gagah-gagahan supaya DPRD menunjukkan diri sebagai lembaga yang “bukan lagi (barisan) Idealisman”. Amat mahal biaya masa depan Nias Selatan jika pembentukan Pansus hanya untuk itu. Mereka yang telah menikmati pendidikan tinggi dengan dana beasiswa itu adalah padi yang sekarang sedang ditanam dan kelak akan dituai. Rekonstruksi ulang beasiswa ini akan bermanfaat jika dilakukan dengan hati yang lurus.
Saya bukan orang yang alergi terhadap beasiswa, bahkan mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari beasiswa yang telah saya terima selama ini. Kita tahu bahwa Kepulauan Nias selama ini jauh tertinggal dalam setidaknya dua bidang strategis yaitu kesehatan dan pendidikan. Beasiswa adalah solusi jika dikelola dengan baik. Oleh karena itu, saya ingin mendorong seluruh daerah di kepulauan Nias, jika ingin mendesain program beasiswa, sebaiknya melakukan empat hal penting.
Pertama, susunlah rencana pengadaan SDM apa yang dibutuhkan. Pastikan itu masuk kendala Renstra Jangka Panjang dan Menengah. Pastikan itu juga menjadi perda sehingga ada kekuatan yang mengikatnya.
Kedua, susunlah mekanisme beasiswa dengan baik. Mulai dari kualifikasi calon pelamar, penyeleksi, sampai dengan evaluasi keberhasilan. Ini penting menjadi acuan sehingga proses penyaluran beasiswa ini tidak neko-neko.
Ketiga, bentuklah tim yang bisa berkomunikasi dengan PTS dan PTN. Tim ini harus bisa menjadi alat untuk menerobos dikirimkannya SDM dari Kepulauan Nias ke kampus berkualitas.
Keempat, jika memungkinkan, buatlah anggaran sebagai dana abadi pengiriman SDM Kepulauan Nias kalau bisa sampai ke luar negeri.
Mohon sejenak luangkan waktu untuk mengisi kuisioner sederhana berikut ini: