Oleh Esther GN Telaumbanua
Seminggu lalu, poster promosi Pesta Ya’ahowu Kepulauan Nias 2017 terlihat di laman akun Facebook milik seorang teman. Postingan ini menarik perhatian saya. Ada clipart magiao atau burung beo nias diplot menjadi maskotnya. Poster itu memuat kalimat ”Ya’ahowu Tanö Niha”, dan juga ”Nias Pulau Sejuta Budaya”. Apakah ini tagline atau branding dari kegiatan Pesta Ya’ahowu 2017? Saya belum jelas betul. Seperti biasa, poster kepariwisatasan yang dilansir di media sosial minim penjelasan resmi. Ironinya, beberapa waktu kemudian, dalam postingan di akun Facebook berbeda, poster itu ditampilkan dengan tagline berbeda, yakni “Nias Pulau Impian” menggantikan “Nias Pulau Sejuta Budaya”.
Beberapa tahun belakangan ini gerak kepariwisataan nasional bernuansa destination branding meningkat. Giat ini selaras dengan upaya pemerintah pusat mencapai target 20 juta kunjungan wisata ke Indonesia. Destination branding ditujukan untuk promosi dan strategi menarik minat. Gerak yang sama juga terjadi di Nias.
Pada Juni 2016, kelima pemerintah daerah se-Pulau Nias meluncurkan Pesta Ya’ahowu 2016. Kesemarakan dan kebersamaan kelima pemda pada acara itu menaruh harapan di hati masyarakat terutama terkait peningkatan kepariwisataan Nias dan angka kunjungan wisata terdongkrak. Kurang diketahui proses perumusannya dan posisinya terhadap kepariwisataan Nias, yang pasti ”Nias Pulau Impian” diluncurkan sebagai tagline (slogan).
Namun, sejalan waktu, tagline ”Nias Pulau Impian” setelah Pesta Ya’ahowu 2016 kian berkurang kesemarakannya dan hampir tidak jelas posisinya. Seakan ada keengganan untuk menyandangnya. Bahkan, sejumlah kalangan mempertanyakan penggunaan tagline tersebut yang dianggap kurang menjual serta dianggap sumir. Faktanya, dalam kegiatan kepariwisataan daerah-daerah malah menggunakan tagline berbeda. Nias Barat, misalnya, memperkenalkan tagline ”Pesona Tanö Aekhula”. Nias Selatan, lebih banyak menggunakan ”Pesona Nias Selatan”. Ada juga kabupaten yang tidak menggunakan tagline apa pun.
“Destination Branding”
Dalam konsep pemasaran, baik untuk barang maupun jasa, branding adalah bagian penting yang ditujukan untuk menarik minat calon pembeli. Dalam perdagangan umum, brand dimaknai sebagai merek sebuah produk. Namun, terkait destinasi kepariwisataan, brand lebih dimaksudkan sebagai citra dari destinasi (Echtner and Ritchie, 1991). Tagline (slogan), moto, atau jargon merupakan brand yang menggambarkan tentang produk dan memuat pesan pembeda dari produk lain. Semua merupakan bahasa iklan untuk positioning produk dan jasa yang dipasarkan.
Branding dirumuskan dalam satu kalimat ringkas, tetapi mampu mencitrakan apa yang akan dijual dan digunakan secara konsisten. Dengan kata lain, branding adalah identitas produk itu. Contohnya, perusahaan Apple menggunakan branding ”Think different” atau Nokia dengan ”Connecting People”. Jika kita mendengar slogan connecting people, di benak kita secara otomatis akan muncul Nokia.
Branding ini menjadi gambaran citra, reputasi, manfaat dan keunggulan kompetitif produk tersebut. Konsistensi perusahaan dalam penggunaan branding atau tagline dalam promosi di media apa pun ini akan menciptakan pencitraan terhadap produk, tersimpan dalam ingatan dan menggugah respons terhadap tawaran produk yang dipasarkan.
Di tengah persaingan yang ketat, destination branding sebagai alat atau strategi. Pemerintah pusat menetapkan ”Wonderful Indonesia” atau dalam bahasa Indonesia “Pesona Indonesia” sebagai brand untuk mencitrakan Indonesia dengan segala keragaman dan difrensiasi produk wisatanya (Porter, Competitive Strategy, 1979) serta alasan mengapa wajib dikunjungi dibandingkan dengan tempat tujuan wisata lainnya. Kita bisa menduga, Kabupaten Nias Selatan mem-branding pariwisatanya dengan berpedoman pada tagline nasional ini.
Happy 72nd Independence Day Indonesia! Let’s celebrate the beauty of Unity in Diversity in #WonderfulIndonesia
Video by @barrykusuma pic.twitter.com/e5gRQfXh0T— Indonesia.Travel (@indtravel) August 17, 2017
Tagline ”Wonderful Indonesia” secara nasional dinilai mampu mencitrakan secara positif: karakter, keunikan serta keuntungan kompetitif jika mengunjungi Indonesia. ”Wonderful Indonesia/Pesona Indonesia” menjanjikan pengalaman yang unik yang berbeda dengan destinasi lainnya di dunia. Branding ini mengandung pesan banyaknya
dan beragamnya kepariwisataan Indonesia (meliputi antara lain keindahan alam, budaya, kuliner, tradisi masyarakat), dengan kualitas yang mendecakkan kekaguman, wonderful.
Walaupun harus bersaing ketat dengan slogan ”Malaysia Truly Asia”, ”Your Singapore”, ”Thailand Always Amazes You”, dengan ”Wonderful Indonesia” destinasi Indonesia menjadi lebih atraktif di mata wisatawan dunia. Angka kunjungan wisata ke Indonesia meningkat.
Untuk mendukung kesuksesan branding dalam mencapai target, pemerintah mengadakan kegiatan kepariwisataan yang menarik dan penataan kualitas destinasi. Dikenal beberapa brand kepariwisataan, seperti ”Ambon Kota Musik”, ”Jember Kota Karnaval”, ”Sawahlunto Kota Wisata Tambang”.
Ada destinasi wisata di Indonesia memiliki brand dan logo baru seperti ”Enjoy Jakarta”, ”Colorful Medan”, ”Stunning Bandung”, ”Majestic Banyuwangi”, ”Bali The Island Of Gods”, ”Friendly Lombok”, ”Explore Makassar”, ”Wonderful Riau Islands”. Ada beberapa kabupaten/kota memiliki satu slogan kepariwisataan, seperti Jogyayakarta, Solo, dan Semarang mengusung ”Java Cultural Wonders”, sementara Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat mengusung ”Coral Wonders”. Kabupaten/kota ini mendesain logo yang senada dengan slogan.
Penetapan logo dan slogan kepariwisataan ini dalam rangka target kepariwisataan yang digali dari potensi dan keunggulan destinasi tersebut. Keunggulan itulah yang dicitrakan dan dipasarkan, dan di mana kegiatan kepariwisataannya berbasis.
Lalu Apa “Brand” Pariwisata Nias?
Di samping adanya ”Nias Pulau Impian”, mengapa daerah-daerah punya brand/tagline sendiri? Pesta Ya’ahowu Kepulauan Nias 2017 juga kini punya slogan baru ”Nias Pulau Sejuta Budaya”. Sebenarnya, yang mana saja boleh, tetapi sebaiknya melalui proses perumusan saksama dan disepakati bersama. Apakah yang akan dicitrakan Nias sebagai Pulau Impian? Ataukah Nias ingin diidentifikasi sebagai pulau sejuta budaya? Budaya di Nias berjuta (jumlahnya)? Ada yang menyentil bahwa penggunakan kata “sejuta” itu berlebihan.
Beragam dan ketidakjelasan posisi slogan-slogan ini menunjukkan bahwa kepariwisataan Nias tampaknya belum diurus dengan serius. Slogan kepariwisataan dan logo semestinya menjadi produk resmi sebuah pemerintah daerah, digunakan konsisten dan diwujudkan dalam kegiatan kepariwisataan daerah. Ia harus menjadi simbol dan arah pembangunan kepariwisataannya. Ketidakpastian, ketidakkonsistenan, dan ketidakselarasan antara yang dicitrakan dan dijanjikan; antara brand dan realitas; akan berdampak pada capaian.
Kepariwisataan itu bersifat fragile (rapuh) jadi perlu ditangani dengan tepat. Kepuasan pengunjung akan berbuah retensi, sebaliknya ketidakpuasan penggunjung akan menjadi cerita negatif berantai.
lompat batu di bawömataluo, #niasselatan #pesonaniasselatan @pesonanisel || @ibupenyu @iwashere_id pic.twitter.com/KBadHgcnx3
— windy ariestanty (@windyariestanty) July 26, 2017
Selain itu, dalam kepariwisataan sebenarnya tidak ada obyek yang tidak bisa dijual, yang perlu kreativitas mengemasnya. Langkah dimulai dengan mengenali dan rumuskan bersama keunggulan kepariwisataan Nias.
Brand kepariwisataan harus mencitrakan keunggulan itu, menggambarkan karakteristik yang berbeda, dan kepuasan yang akan diterima oleh wisatawan yang berkunjung. Dalam perencanaan pemasaran, kegiatan disusun dengan target terukur dan pasar sasaran yang jelas agar efektif dan efisien.
Kesuksesan sebuah branding sesungguhnya tidak hanya diukur dengan jumlah wisatawan yang berkunjung, tetapi bagaimana branding ini memasuki dimensi performa, menjadi citra sosial dan nilai-nilai yang terwujud dalam kehidupan masyarakatnya agar keberlanjutannya dipertahankan.
Branding ”Nias Pulau Impian” harus juga menjadi impian masyarakat Nias yang diyakini mendatangkan kesejahteraan lahir dan batin. Pertumbuhan ekonomi mungkin saja terjadi tetapi janganlah mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat lokal sebagaimana disebut sebagai immiserating growth oleh Mariama Williams (Tourism Liberalization, 2002).
Mengangkat budaya Nias dalam branding harus terlihat dalam karakter atau budaya
masyarakat yang memelihara warisan budaya, mencintai budayanya dan hidup harmonis. Ia harus terkesan dalam kehidupan budayawan dan seniman, serta sentra-sentra kebudayaan yang tumbuh subur di Kepulauan Nias.
Perlu diperhatikan, selain tren selera wisatawan juga unsur keberlanjutan (sustainability). Kesadaran yang rendah terhadap masalah lingkungan, dan tidak terpeliharan peninggalan budaya di kawasan destinasi akan berdampak negatif.
Mengangkat ‘magiao’ (beo Nias), sebagai maskot memang menarik. Namun, maskot ini hanya menjadi slogan kosong, jika tidak diikuti dengan komitmen dan langkah-langkah nyata penyelamatan dari kepunahan. Wisatawan akan kecewa jika hanya menikmati kisah pilu magiao, si burung endemik Nias itu. Tidak sesuai dengan branding-nya.
Ini harus menjadi kerja bersama, bukan concern satu kedinasan saja. Perlu partisipasi dan dukungan semua pemangku kepentingan kepariwisataan. Pemda melakukan sosialisasi, mengedukasi, dan memfasilitasi terciptanya sinergi dari masyarakat, swasta, pelaku industri, media, investor, dan pihak terkait lainnya. Sekadar logo dan slogan saja, belum dapat disebut Nias branding jika tidak mencitrakan Nias. Sesungguhnya, destinasi yang terurus baik merupakan brand yang paling efektif. Ada pepatah begini, actions talks louder than words. [Esther GN Telaumbanua, Seorang Perempuan Nias; Tinggal di Jakarta.]