Oleh Ordeli Yamotuho Zalukhu
Peristiwa gempa yang melanda Nias pada 28 Maret 2005 merupakan peristiwa yang tidak pernah dilupakan oleh masyarakat, termasuk peneliti perkembangan kondisi tektonik di Indonesia. Gempa Nias 2005 merupakan gempa besar yang memiliki magnitudo lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya. Hal ini menjadikan gempa Nias 2005 salah satu bahan pertimbangan bagi peneliti dalam melakukan perubahan peta hazard gempa di Indonesia.
Sebelum tahun 2005, Indonesia telah memiliki dua peta hazard gempa yang telah digunakan secara nasional untuk perencanaan gedung dan infrastruktur tahan gempa, yaitu Peta Percepatan Gempa Maksimum Indonesia yang terdapat dalam Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung (PPTI-UG-1983), dan Peta Percepatan Puncak di Batuan Dasar Indonesia dengan Periode Ulang 500 tahun yang terdapat dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1726-2002. Namun, peristiwa gempa Nias 2005 yang memiliki magnitudo 8,7 dan beberapa gempa besar lainnya seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004 (M 9,2), Pangandaran tahun 2006 (M 7,8), Yogyakarta tahun 2006 (M 6,3), Bengkulu tahun 2007 (M 8,5), Padang 2009 (M 7,6) dan di Mentawai tahun 2010 (M 7,8), memunculkan pertanyaan bagi peneliti, apakah Peta Percepatan Puncak di Batuan Dasar Indonesia dengan Periode Ulang 500 tahun yang terdapat dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1726-2002 masih valid atau segera direvisi? Selain itu juga, beberapa tahun terakhir telah dikembangkan metode analisis baru yang bisa mengakomodasi model atenuasi (intensitas) sumber gempa tiga dimensi (3D). Hal tersebut bisa menggambarkan atenuasi penjalaran gelombang secara lebih baik dibandingkan dengan model 2D yang digunakan untuk penyusunan peta gempa SNI 03-1726-2002. Selanjutnya, penelitian-penelitian intensif mengenai sesar aktif di Indonesia semakin menguatkan kebutuhan untuk memperbaiki peta hazard gempa Indonesia.
Memasuki tahun 2006, usaha formal untuk penyempurnaan peta gempa Indonesia telah dimulai. Kemudian, pada 2010 Departemen Pekerjaan Umum dengan dukungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), serta asosiasi profesi yang berhubungan dengan industri konstruksi seperti Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI) dan Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) menginisiasi usaha pemutakhiran Peta Gempa Nasional 2010. Usaha ini juga mendapat dukungan melalui kerja sama dengan United States Geological Survey (USGS).
Khusus studi bahaya gempa untuk Pulau Sumatera secara terintegrasi telah dilakukan melalui dukungan penelitian Riset Unggulan Terpadu. Berbagai studi bahaya kegempaan lanjutan juga telah dilakukan oleh para anggota tim seperti Irsyam dkk. (2009), Sengara dkk. (2009), Irsyam dkk. (2010a dan 2010b), Sengara dkk. (2010), dan Asrurifak dkk. (2010). Kompilasi studi yang dilanjutkan dengan kerja sama beberapa tim ini kemudian menghasilkan Peta Hazard Gempa Nasional 2010. Kemudian peta ini dimuat dalam SNI 1726:2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non-Gedung.
Setelah tahun 2010, terdapat beberapa hasil penelitian, publikasi, dan disertasi terkait dengan parameter sumber gempa di Indonesia terkini, di antaranya mengenai sliprates geodetik di Sumatra dan Jawa (Ito dkk., 2012; Koulali dkk., 2016; Meilano dkk., in prep), geologi di Jawa (Marliyani, 2016), Sesar Lembang (Meilano, 2012; Daryono, 2016), geologi Sulawesi (Daryono, 2016), Papua (Pamumpuni, 2016), data relokasi gempa (Sidiqqi, 2015), data GPS Kontinu terkini (Susilo, 2016), pemahaman kondisi coupling di subduksi Jawa (Hanifa, 2014), pemahaman siklus gempa dari data geodetik (Gunawan, 2014, Gunawan, 2016), pemahaman gempa swarm dari data geodetik (Gunawan dkk., 2017) dan yang lainnya, yang banyak memberikan kontribusi pada pemutakhiran peta sumber dan bahaya gempa nasional 2017. Hal-hal tersebut mendorong perlu dilakukannya pemutakhiran Peta Gempa Nasional tahun 2017.
Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017 merupakan peta gempa paling terbaru di Indonesia saat ini, yang baru diluncurkan pada 27 September 2017. Peta gempa ini disusun oleh Pusat Studi Gempa Nasional, Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, juga bekerja sama dengan dengan beberapa kementerian, lembaga dan universitas terkait. Selain munculnya kajian-kajian terbaru mengenai kegempaan, pemutakhiran peta gempa ini akan sangat bermanfaat bagi pengurangan risiko bencana di Indonesia. Usaha pembaruan peta gempa tahun 2017 didasarkan pada kaidah ilmiah dan metodologi yang ketat serta mengunakan data terkini dari bidang geologi, seismologi, geodesi, dan seismic hazard analysis.
Upaya pemutakhiran dan penyempurnaan peta zonasi gempa Indonesia maka dibentuklah tim Pemutakhiran Peta Gempa Indonesia 2017 untuk menghitung bahaya gempa probabilistik dan deterministik yang terintegrasi berdasarkan berbagai bidang keahlian. Kelompok kerja yang terintegrasi dalam pembuatan peta gempa nasional ini melibatkan berbagai keahlian diantaranya geologi, geodesi, seismologi, ground motion prediction equation (GMPE), dan seismic hazard analysis (SHA).
Kajian dan pengembangan peta mencakup seluruh wilayah Indonesia meliputi Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali-Nusa Tenggara-Laut Banda, dan Kalimantan. Kegiatan yang didukung oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) ini menghasilkan peta parameter sumber gempa untuk Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali-Nusa Tenggara-Laut Banda, dan Kalimantan. Tim Pemutakhiran Peta Gempa Nasional juga didukung dan bekerja sama dengan berbagai kementerian, lembaga, universitas, asosiasi profesi dan lembaga penelitian luar negeri seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Diponegoro (UNDIP), Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI), DMInnovation, dan Australian National University (ANU).
Beberapa hasil yang diperoleh dari pemutakhiran peta gempa 2017 ini adalah khusus daerah Sumatra, pada peta tahun 2010 terdiri atas 19 sumber, sekarang menjadi 55 sumber. Di lokasi Jawa yang sebelumnya diketahui 10 sumber, sekarang telah diketahui 37 sumber sesar aktif. Di lokasi Sulawesi yang sebelumnya memiliki 12 sumber gempa, sekarang telah diketahui 48 sumber. Lokasi Maluku dan Papua yang pada awalnya memiliki 12 sumber gempa, saat ini telah diketahui 79 sumber gempa. Adapun kelompok wilayah tambahan yang sebelumnya tidak muncul adalah wilayah Nusa Tenggara–Laut Banda yang diketahui memiliki 49 sumber gempa.
Saat ini total keseluruhan sumber gempa di Indonesia terdiri 295 sumber gempa. Sumber ini terdiri atas 242 sumber gempa tambahan terhadap 53 sumber gempa dalam peta 2010. Jika dibandingkan dengan data sumber gempa nasional tahun 2010 terdapat penambahan ~450 persen posisi sumber gempa nasional. Peta yang dihasilkan juga bervariasi menurut probabilitasnya, yaitu peta untuk probabilitas terlampaui 20% dalam 10 tahun, 10% dalam 10 tahun, 5% dalam 10 tahun, 10 % dalam 50 tahun, 2% dalam 50 tahun, 7% dalam 75 tahun, 2% dalam 100 tahun, 1% dalam 100 tahun.
Berikut salah satu contoh Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017, probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun. Sumber: http://puskim.pu.go.id.
(Ordeli Yamotuho Zalukhu; Asisten Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Teknologi Yogyakarta; Penulis di Beberapa Media Online Nasional; Owner Mamawa yang bergerak di bidang Konsultan Konstruksi, Desain Grafis dan Website; Email: ordelizalukhu@gmail.com)
Referensi Penulis: Buku Pusat Studi Gempa Nasional 2017