Home Featured Sejumput Asa untuk Pilkada di Pulau Nias

Sejumput Asa untuk Pilkada di Pulau Nias

0
Sejumput Asa untuk Pilkada di Pulau Nias

Oleh dr Ria Novida Telaumbanua

Sejujurnya saya masih yakin rakyat pada umumnya memilih calon kepala daerah yang memberi uang, bukan memilih calon yang mempunyai visi-misi yang jelas, membawa perubahan dan kebaikan. Visi-misi hanya dianggap formalitas dan tidak penting.

Bukan rahasia umum kalau masa pilkada kebodohan rakyat dan kemiskinan dimanfaatkan oleh para calon kepala daerah untuk merebut suara, bahkan para petahana (kepala daerah yang ikut mencalonkan diri kembali) pun tidak segan tanpa rasa bersalah, apalagi tanpa rasa malu, memakai anggaran dan fasilitas pemerintah, termasuk SDM-nya yang bekerja di pemerintahan untuk pencitraan pribadinya.

Semua itu terjadi karena rakyat masih jauh dari cerdas dan kalaupun cerdas tidak berdaya melakukan protes apa pun, hanya bisa jadi penonton yang pasif. Tidak jarang kebodohan itu tetap dikondisikan dengan sengaja agar semua tujuan individual dan golongan tercapai.

Rakyat kita yang rata-rata hanya tamat SD dan SMP dan tidak tamat SMA,  tidak akan menyadari  bahwa uang yang dipakai untuk beberapa kegiatan/program di akhir masa kepemerintahan sebelum masuk masa pilkada, baik itu pembangunan jalan, pembangunan desa,  bantuan sosial, bantuan beasiswa, pendidikan, dan pengobatan gratis dan lainnya itu adalah uang rakyat itu sendiri dan bukan uang si calon.

Posisi petahana diuntungkan oleh keadaan ini, sementara para calon kepala daerah lainnya berjuang keras merebut simpati rakyat dan biasanya jarang berhasil meyakinkan rakyat, sehebat apa pun itu visi-misi dan program yang disusun dan dijual kepada masyarakat.

Integritas Rakyat Dijual

Pola pikir masyarakat sudah terkunci pada kondisi klasik masa-masa pilkada, yang dikerjakan adalah menghitung-hitung berapa kepala dalam satu rumah dikalikan rupiah. Pada saat pilkada inilah integritas rakyat banyak dijual, bahkan para rohaniwan pun (mohon maaf)  malah ikut “berdagang” mengatasnamakan jemaatnya, ada yang terang-terangan dan ada yang malu-malu dan sembunyi-sembunyi.

Ini pengalaman saya pribadi pada saat mengikuti pilkada periode lalu yang saya ikuti di suatu daerah. Tentu miris menyaksikannya. Siapa lagi yang bisa kita percaya di saat kita berjuang mati-matian dan habis-habisan jika para hamba Tuhan punikut menghitung rupiah dan selalu bergerak ke posisi yang menguntungkan? Ya, semoga hal semacam  ini tidak terjadi di kepulauan Nias.

Untuk saat ini, calon kepala daerah wajah-wajah baru yang memang punya hati dan jiwa pengabdian  “seakan” terpuruk kalau dia juga tidak menjanjikan “siraman” kepada rakyat, bahkan dalam setiap pertemuan sosialisasi saya bisa pastikan yang dipikirkan calon pemilih adalah berapa uang makan dan transportasi yang bakal mereka terima, bukan  menyimak apa inti visi dan misi sang calon kepala daerah ke depan apalagi  memberikan konstribusi pemikiran.

Baca juga:  Kata Baru, Kamus, dan Media Massa

Akhirnya bisa ditebak apa yang akan terjadi, seorang kepala daerah terpilih sering tidak memahami visi yang dibuatnya, bahkan tidak mempunyai parameter dan indikator yang jelas, tetapi yang anehnya sanggup dengan lantang mengklaim dirinya adalah pemimpin yang  berhasil di zamannya.

Apa ukuran keberhasilan, kita tidak tahu? Jelas-jelas visi- misi untuk saat ini  hanyalah formalitas belaka karena seberapa pentingkah “visi-misi” bagi proses pemenangan? Sayangnya jarang berbanding lurus.

Jika keadaan ini terjadi, siapakah yang disalahkan? Rakyat pemilih atau calon pemimpinnya? Sulit mengatakannya. Oleh karena itu, kita tidak berharap banyak akan adanya perubahan-perubahan dalam proses pesta demokrasi yang akan kita jelang kelak akibat pola seperti ini. Sekarang pun kita sudah memprediksi siapa pemenangnya. Bahkan, ada yang sudah mengklaim menang, mendahului kehendak Tuhan.

Harapan kita satu-satunya hanya kepada orang orang yang kita anggap cerdas, yakni para kepala daerah yang kelak akan memenangi pertarungan ini. Jika pemenangnya adalah wajah baru, kita harap mereka tidak melupakan janjinya karena tidak jarang setelah menempati posisi empuk dan memegang kekuasaan justru pemenang baru lebih serakah  dari orang-orang terdahulu yang diteriakinya.

Introspeksi Diri

Ongkos pilkada itu sudah pasti mahal, tetapi bukan tanggung jawab rakyat untuk mengembalikannya sehingga kita harus merampas uang rakyat membabi buta untuk membayar utang pilkada kita karena bukankah dengan sadar kita masuk dalam pertarungan yang tidak murah itu?

Jika pemenang pilkada adalah dari petahana, mari mengintropeksi dengan jujur apa yang telah dilakukan selama 5 tahun ini, teroponglah diri dengan teropong hati nurani dan penuhi janji iman sebagai umat beragama. Jangan lagi membohongi diri sendiri apalagi membohongi rakyat untuk memperkaya diri sendiri. Karena Tuhan masih memberi kesempatan terakhir untuk menyelesaikan janji-janji selama ini yang belum terealisasi.

Saatnya Tuhan akan menilai kinerja  kita tentu dengan cara-Nya sendiri jika rakyat bisa dibodohi dan dibohongi, Tuhan yang Maha Kuasa tidak akan pernah bisa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.