Oleh Apolonius Lase
Saya terus bertanya-tanya, terkadang geregetan sendiri, soal pembentukan Provinsi Kepulauan Nias. Masyarakat Nias itu serius enggak, ya, berjuang untuk daerahnya dijadikan provinsi oleh pemerintah pusat? Jika iya, serius, mengapa kok para kepala daerahnya diam-diam saja, anteng-anteng saja tuh? Tak pernah sekalipun memberikan pernyataan, baik itu kepada wartawan, maupun pada kesempatan-kesempatan berbicara di depan umum.
Ini kontra dengan sikap saudara-saudara kita di Papua yang terus getol berjuang untuk daerahnya. Para kepala daerah di Papua itu satu suara untuk berjuang mewujudkan sebuah cita-cita. Periksa saja berita-berita yang viral di medsos. Kalau di Kepulauan Nias, sebaliknya. Para kada malah diam-diam bae. Sama sekali tidak menampakkan antusiasme perjuangan atau bahkan mungkin mereka tidak punya sense of belonging atas tempat kelahirannya lagi, tempat mereka kini juga sedang mengabdikan diri. Ini ironi.
Di media sosial saya mendapatkan foto para kepala daerah menyatukan tangan menunjukkan kekompakan di depan kamera. Jika tidak salah, momen itu terjadi di Bandara Binaka saat Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berkunjung ke Nias. Saat melihat foto itu, tebersit sedikit harapan jika saja mereka mau, mereka bisa mewujudkan kesatuan hati itu dengan kompak dan gigih memperjuangkan Provinsi Kepulauan Nias. Namun, sepertinya harapan saya itu hanyalah semu.
Memang, pemerintah pusat masih belum mencabut moratorium pembentukan daerah otonomi baru, tetapi perjuangan seharusnya tidak boleh berhenti. Paling tidak pemerintahan Presiden Jokowi bisa “terusik” dengan kegigihan para kada–yang tentu akan diikuti seluruh masyarakat di Kepulauan Nias–agar keberadaan daerah yang masih berstatus 3T (tertinggal, terdepan, terluar) serta bisa memperhatikan dan memiliki alasan untuk membuka moratorium.
Saudara-saudara kita di Papua karena kompak, berjuang tanpa henti, tanpa kenal lelah, Presiden pun “terusik”. Lihat bagaimana perhatian serius diberikan di “Pulau Cenderawasih” itu. Lihat pembangunan di Papua. Bahkan, ada wacana untuk mengabulkan keinginan mereka membentuk DOB. Jika pun mereka tidak mendapatkan DOB, tetapi mereka mendapatkan pembangunan. Jalan-jalan mereka dibangun. Sarana-prasarana lain pun dilengkapi.
Saya harus akui dan mungkin juga Anda yang membaca tulisan ini setuju, bahwa Papua sangat lihai dalam memanfaatkan momen. Mengapa? Mereka kompak. Mereka bersatu. Kekompakkan mereka tidak kaleng-kaleng, tidak hanya kece-kece. Para kada di Papua, kalau perlu, turun dan ikut berdemonstrasi, berbaur dengan rakyatnya. Mereka merogoh koceknya untuk sekadar memberi dukungan demonstrasi itu. Mereka menyuarakan agar pemerintah memperhatikan mereka. Media sosial dan media arus utama memberitakan aksi mereka. Suara mereka pun akhirnya sampai di Istana Negara di Jakarta.
Strategi perjuangan ini tidak dimiliki oleh para kada di Kepulauan Nias. Ada kecenderungan para kada di Nias hanya sibuk mengurus daerah atau wilayah pemerintahannya sendiri. Sepatutnya, lewat Forum Pimpinan Kepala Daerah, para kada di Kepulauan Nias bersatu untuk membangun Nias secara holistik. Namun, kasat mata, ada kada malah ributkan aset yang tidak ada solusinya hingga 10 tahun.
Saudara-saudara kita di Papua karena kompak, berjuang tanpa henti, tanpa kenal lelah, Presiden pun “terusik”. Lihat bagaimana perhatian serius diberikan di “Pulau Cenderawasih” itu. Lihat pembangunan di Papua.
Sebagai bagian dari masyarakat, saya berharap para kada menjadi contoh bagi kami warga untuk berada di garda terdepan dalam memperjuangkan Provinsi Kepulauan Nias. Setiap pidato, setiap bicara kepada media, suarakanlah pembentukan Provinsi Kepulauan Nias. Tak perlu mikir, apakah Anda nanti menikmatinya atau dikabulkan semasa Anda jadi pemimpin daerah. Pola pikir itu tinggalkan. Sekarang tunjukkanlah bahwa setiap kada di Kepulauan Nias itu punya visi yang sama. Kita pengen lihat gebrakan Anda semua. (Apolonius Lase, Praktisi Media)