Oleh Memoriang Zebua, M.Div
Tulisan ini timbul dari sebuah kegelisahan melihat kondisi anak-anak muda sekarang ini. Mereka, yang seharusnya mempersiapkan diri dengan baik untuk menyambut estafet kepemimpinan yang tidak lama lagi akan ditinggalkan para pendahulunya, justru sibuk melakukan hal-hal yang destruktif dan seakan berlomba mencari cara yang “paling hebat” untuk menghancurkan diri sendiri. Terjebak dalam narkoba, kecanduan pornografi dan minuman keras, sepertinya telah menjadi sesuatu yang umum dilakoni bahkan oleh anak remaja yang masih belum masuk kategori dewasa. Tentu, akibat dan dampak yang ditimbulkan luar biasa dan dahsyat. Parade kekerasan, baik yang disertai dengan perampokan maupun kekerasan seksual semakin sering menghiasi pemberitaan media massa akhir-akhir ini. Jelas, ini sebuah keprihatinan yang besar.
Melihat para pelaku dan korban kejahatan didominasi para remaja dan pemuda tanggung yang rata-rata baru akil balik, menimbulkan pertanyaan, lingkungan seperti apakah yang membesarkan mereka sehingga dengan mudah dapat melakukan perbuatan dengan efek merusak sedemikian besar.
Kita tentunya tahu bahwa tumbuh kembang seorang anak sangatlah ditentukan oleh pola pengasuhan yang diterima, lingkungan tempat ia dibesarkan dan komunitas di mana ia bergaul dan berinteraksi. Keluarga dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena keluarga merupakan tempat pertama seseorang belajar dan mengenal nilai, baik itu moral, etika, kedisplinan, maupun berbagai macam nilai lainnya. Seseorang juga dipengaruhi oleh teladan dan tindak tanduk dari orang-orang yang memiliki pengaruh besar pada dirinya sejak usia kanak-kanak. Oleh sebab itu, fakta bahwa keluarga merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas perilaku dan kepribadian seseorang merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan.
Kemudian timbul pertanyaan, sedemikian sulitkah mendidik dan membesarkan seorang anak sehingga banyak keluarga yang akhirnya merasa gagal ketika anak-anak mereka menjadi kriminal dan menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat? Apa yang seharusnya didapatkan oleh seorang anak ketika ia berada di tengah-tengah keluarga yang akan menjadi dasar berpijak dan patokan nilai bagi dirinya untuk mengambil keputusan-keputusan penting dalam kehidupannya kelak pada masa yang akan datang? Apakah yang seharusnya dipelajari seorang kanak-kanak yang sedang dan akan terus bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa dalam sebuah keluarga?
Pada era yang sangat modern dan serba digital sekarang ini manusia “dipaksa” menyaksikan dan mengalami banyak perubahan yang berlangsung begitu cepat dan sistematis. Demikian cepatnya sehingga manusia hampir tidak lagi memiliki ruang bahkan untuk dirinya sendiri. Semua orang berlomba untuk mencapai sesuatu sehingga pelan-pelan tetapi pasti mulai mengikis nilai-nilai kemanusiaan yang dimulai dari hilangnya rasa empati bahkan simpati kepada orang lain selain diri sendiri.
Tak terkecuali dalam keluarga. Anak-anak tumbuh menyaksikan orangtua yang penuh ambisi mengejar karier serta melihat bagaimana teknologi menggantikan peran orangtua dalam mendidk dan membesarkan anak. Tidak ada kehangatan dan tegur sapa yang memberi siraman yang menyejukkan untuk memulai sebuah hari.
Sudah tak ada pembiasaan lagi memberi kecupan dan ucapan “selamat malam” yang menjadi pengantar tidur untuk si buah hati. Jiwa kanak-kanak menjadi sedemikian kosong dan penuh kehausan sehingga ia mulai belajar mencari dan mendapatkannya di tempat yang lain. Tentu saja awalnya dimulai secara sembunyi-sembunyi. Saat ketahuan dan orangtua akhirnya sadar, semua sudah terlambat.
Banyak kemudian dalih yang diberikan untuk melepaskan tanggung jawab dari situasi yang mulai tak terkendali. Seorang ibu akan menuntut suaminya yang terlalu sibuk bekerja. Suami pun tidak mau kalah melempar kesalahan kepada sang istri yang dinilai tidak becus mengurus anak-anak dan rumah tangga. Masing-masing saling melempar tanggung jawab sehingga tanpa sadar kekacauan dan kerusakan yang timbul malah semakin parah.
Dalam situasi seperti ini, saya ingat seorang tokoh dalam Alkitab bernama Paulus pernah memberikan sebuah pengakuan, bagaimana pengaruh didikan dari keluarga membawa manfaat besar bagi pribadi seseorang. Adalah Timotius, anak muda yang sedang belajar menjadi pemimpin sebuah jemaat, telah mendapatkan warisan iman yang luar biasa dari neneknya yang bernama Lois dan ibunya yang bernama Eunike. Kedua perempuan ini menjadi kunci mengapa Timotius tidak tumbuh menjadi anak muda dengan keresahan akan identitas diri yang kemudian berusaha mencarinya di tempat yang salah. Sekalipun dikelilingi oleh budaya yang bisa membawa pengaruh negatif bagi dirinya, Timotius tidak terpengaruh. Ia tumbuh menjadi anak muda yang mengerti panggilan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Hal ini tentu saja tidak secara instan diwariskan oleh Lois dan Eunike. Mereka harus konsisten dan tekun mengajarkan Timotius akan kekayaan rohani melalui pembacaan kitab suci dan teladan hidup yang baik hari demi hari.
Ketiadaan figur seorang ayah pada Timotius seolah tertutupi dengan tampilnya dua perempuan yang hebat ini. Sesuatu yang semakin jarang terlihat sekarang ini, di mana ibu-ibu yang kehilangan suami (bahkan yang masih bersuami sekalipun) lebih sering curhat di media sosial, kemudian mencari hiburan untuk dirinya sendiri dengan alasan menghilangkan stres dan perasaan tertekan.
Lois dan Eunike sadar bahwa mereka harus melindungi Timotius dari banyak hal negatif yang bisa merusak. Ketiadaan figur seorang ayah dan keberadaan mereka di tengah-tengah kebudayaan kafir adalah ancaman yang nyata. Untuk itulah mereka mempersiapkan warisan terbaik untuk Timotius, yaitu iman yang tulus dan ikhlas. Hasilnya sungguh tidak mengecewakan. Timotius menjadi seorang anak muda yang bersedia menerima tanggung jawab besar sebagai seorang pemimpin jemaat.
Zaman di mana kita hidup sekarang ini adalah sebuah zaman yang penuh dengan ironi. Di satu sisi memberikan kenyamanan hidup karena kita dimanjakan oleh teknologi yang memudahkan banyak urusan, seperti informasi, komunikasi, dan transportasi. Namun, di sisi yang lain, teknologi juga membawa dampak kehancuran yang tidak sedikit. Alat komunikasi yang seharusnya lebih mendekatkan satu anggota keluarga dengan anggota keluarga yang lain, justru telah menjadi alat untuk saling menjauhkan.
Aneka gawai (gadget) telah menjadi penyumbang terbesar bagi kehancuran mental anak-anak dan remaja. Kemudahan mendapatkan informasi telah menjadi penyebab nomor satu anak-anak belajar kekerasan dan pornografi. Hal ini diperparah oleh absennya peran orangtua dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya karena mereka memilih memanjakan buah hati dengan gawai daripada dengan mulut dan tangannya sendiri. Sangat ironis bukan?
Jika demikian, apakah sudah terlambat untuk melakukan sesuatu bagi generasi muda sekarang ini? Jawabannya belum. Kita masih bisa berjuang menyelamatkan generasi masa depan ini dengan mengingat keteladanan nenek Lois dan ibu Eunike. Kita jangan menyerah pada keadaan, sebaliknya keadaan harus kita ciptakan. Dengan ketekunan seperti yang telah ditunjukkan oleh nenek Lois dan Ibu Eunike dalam membesarkan Timotius, kita bisa menyelamatkan generasi masa depan kita mulai dari sekarang sehingga pada masa yang akan datang akan muncul “Timotius-Timotius” lainnya sebagai pemimpin-pemimpin yang luar biasa dan dapat diandalkan untuk membawa kebaikan bagi masyarakat, bangsa, dan negara bahkan dunia.