Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö,
Pemerhati Sosial; Bupati Nias Barat Periode 2011-2016
Gempa bumi magnitudo (M) 8,7 yang terjadi di Nias pada 28 Maret 2005 sekitar pukul 23,15, banyak menimbulkan kerusakan, baik fisik maupun struktur kehidupan masyarakat. Ribuan rumah penduduk, bangunan pemerintah, gedung lembaga keagamaan, serta sarana dan prasarana publik mengalami destruksi yang luar biasa sehingga perlu penanganan khusus, cepat, tepat, dan profesional agar dampak ikutan dapat diminimalisasi. Tulisan ini kami maksudkan untuk memberi sedikit gambaran cikal bakal terbentuknya daratan yang kini menjadi ikon Kota Gunungsitoli, Taman Ya’ahowu.
Jika dirunut ke belakang antara gempa skala M 8,2 dan tsunami yang melanda Aceh-Nias yang terjadi pada 26 Desember 2004 dengan gempa tektonik yang menimpa Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005, rentang waktunya 92 hari. Rasa sedih, takut, trauma karena ditinggal sanak saudara, orangtua, dan famili serta sahabat belum terlupakan, terutama masyarakat Nias Barat di Kecamatan Mandrehe Barat (Desa Sisarahili, Lasarabagawu, dan Lasarafaga) yang menelan korban jiwa 112 orang dan Kecamatan Sirombu (Desa Sirombu) 8 orang. Ketika bencana besar itu terjadi, Pasar Sirombu yang bertahun-tahun menjadi pusat perdagangan di Nias wilayah bagian Barat rata dengan tanah bersama rumah penduduk.
Gempa dahsyat datang lagi dengan meluluhlantakkan seluruh wilayah Kepulauan Nias, yang membuat warga menjerit, menangis, dan sembari terus memohon pertolongan kepada Tuhan Allah pencipta alam semesta. Tuhan Yang Maha Baik mendengar dan mulai menjawab rintihan dan doa umat-Nya dengan kedatangan para relawan, non-government organization (NGO), dari berbagai belahan dunia. Juga pemerintah pusat dan provinsi ambil bagian dalam proses evakuasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi dari dampak gempa.
Langkah Awal
Saya ingin cerita sedikit kondisi-kondisi awal saat bencana gempa itu terjadi. Gerakan cepat para relawan dan NGO yang dikoordinasi langsung oleh Gubernur Sumatera Utara (alm) Tengku Rizal Nurdin ketika itu untuk mencari, mengevakuasi, dan menyelamatkan korban yang masih tertimbun reruntuhan bangunan mulai menampakkan hasil yang menggembirakan dengan semakin banyaknya korban yang terjebak dalam reruntuhan bangunan diselamatkan nyawanya. Kendatipun demikian, ada beberapa kendala yang dialami petugas lapangan.
Pertama, banyak anggota keluarga korban meminta supaya di rumah atau rukonya diduluankan pembongkaran karena masih terdengar suara dari dalam reruntuhan meminta pertolongan. Petugas begitu dilema memberikan prioritas kepada korban siapa dan di mana karena alasan keterbatasan tenaga dan alat.
Kedua, masyarakat yang datang ke lokasi melihat pembongkaran tidak semuannya jujur, malahan ada yang mencari kesempatan dalam kesempitan untuk mencuri barang orang lain dengan perasaan tidak bersalah. Ada yang melakukannya sendiri-sendiri dan ada juga dengan kelompok terorganisasi. Tenaga aparat untuk mengawasi sangat terbatas kala itu.
Ketiga, alat berat dan truk yang ada sangat terbatas, baik jumlah maupun kualitas.
Keempat, tempat pembuangan bongkaran reruntuhan bangunan belum tersedia. Petugas koordinator lapangan meminta supaya tempat pembuangan dekat dengan kota Gunungsitoli karena di wilayah itulah yang terbanyak bangunan yang roboh.
Buang di Pantai
Pada hari pertama setelah gempa, yakni 29 Maret 2005 siang, gubernur Tengku Rizal Nurdin tiba di Gunungsitoli dengan naik helikopter, bersama beberapa anggota staf. Salah satu di antaranya Silvister Lase. Saat itu Silvister menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial Provinsi Sumut. Sementara Bupati Nias Binahati B Baeha dan Sekda Faigizisökhi Zebua masih berada di Medan. Saat itu, yang menjemput gubernur adalah saya selaku Sekretaris Satlak BPP Kabupaten Nias; Samson Laoli (alm), Wakil Ketua Satlak BPP Kabupaten Nias; Hermit Hia selaku Wakil Sekretaris Satlak BPP Kabupaten Nias; Samson P. Zai, Camat Gidö; dan B. Ziliwu, Kabag Umum Setda Kabupaten Nias; serta beberapa anggota staf Kesbangpol dan staf bagian umum Setda Kabupaten Nias waktu itu.
Pada hari kedua atau hari ketiga setelah gempa. Gubernur menanyakan kepada penulis di mana sebaiknya tempat pembuangan reruntuhan bangunan. Penulis kaget mendapat pertanyaan seperti itu karena belum ada konsep atau desain di mana reruntuhan bangunan akan dibuang. Akan tetapi, karena beliau adalah seorang gubernur, pertanyaan itu harus dijawab seketika.
Jawaban saya saat itu, yaitu “Siap Pak Gubernur, bagaimana kalau dibuang saja di pantai, semacam reklamasi.” Di mana pantainya pun, bagi saya, waktu itu belum jelas juga. Saya pun jadi kepikiran, di mana pantai yang cocok untuk pembuangan reruntuhan yang banyak itu. Jujur ketika itu saya jadi kebebanan pikiran.
Saat itu gubernur tidak memberikan komentar. Ia hanya memandang penulis sebentar. Kemungkinan beliau mengerti kondisi psikologis kami yang sedang panik, trauma, takut, gelisah, campur aduk. Memang saat itu warga masih tidur di tenda darurat karena hampir setiap jam muncul gempa susulan. Ada kemungkinan gubernur telah menanyakan kepada pihak lain atau melakukan observasi langsung di mana tempat pembuangan reruntuhan bangunan. Bagi beliau, hal seperti ini sebagai mantan Pangdam I/BB tidak terlalu sulit. Apalagi saat prajurit, ia telah dididik untuk hidup menyintas.
Besok hari, penulis pulang ke rumah lewat pelabuhan lama menyusuri pantai menuju ke pertokoan Lagundi, sekarang disebut Pasar Ya’ahowu untuk melihat tumpukan bongkaran yang dibuang. Saya melihat pantai tersebut sangat cocok sebagai tempat pembuangan reruntuhan bangunan. Selain luas, juga dekat dengan bangunan-bangunan yang runtuh di sekitar Gunungsitoli dan dipastikan tidak ada yang protes. Saat itu, saya langsung berencana menyampaikannya kepada gubernur.
Tak lama setelah itu, saat bertemu dengan gubernur, saya langsung usulkan soal lokasi di dekat pertokoan Lagundri untuk dijadikan tempat pembuangan. Saat itu, Gubernur Sumut itu langsung menyetujui.
Reruntuhan bangunan akhirnya dibuang di sepanjang pantai tersebut. Sehingga efektivitas dan efisiensi pembongkaran dan pembuangan reruntuhan bangunan hasilnya sangat maksimal, yang pada akhirnya dapat menyelamatkan jiwa manusia dan harta benda.
Siapa yang menyangka, timbunan reruntuhan itu kelak bisa bermanfaat. Kurang lebih tiga bulan sesudah gempa, Pemkab Nias bekerja sama dengan NGO meratakan serta membersihkan gundukan-gundukan tanah bekas bongkaran dan mendirikan puluhan bangunan darurat terbuat dari kayu di atas tempat reruntuhan bangunan di sepanjang pantai tersebut untuk penampungan sementara para pengungsi atau korban gempa yang belum dapat tempat. Bangunan tersebut, selain untuk tempat tinggal, juga dapat digunakan tempat berjualan. Akhirnya, tempat ini semakin ramai dan lama-lama menjadi kumuh, menjadi tempat remang-remang tempat yang mulai dimanfaatkan para preman mangkal serta ditengarai juga ada pekerja seks komersial.
BRR Datang
Lima bulan kemudian, pemerintah pusat membentuk Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias). Beberapa program BRR, yaitu membangun rumah-rumah penduduk dan pusat-pusat pasar di wilayah Nias. Dengan demikian, masyarakat yang ada di tempat penampungan sementara, terutama lokasi tempat pembuangan bongkaran di tepi pantai Gunungsitoli, pindah pelan-pelan menempati rumah dan tempat jualan yang baru dibangun. Sejak itu bangunan darurat dibongkar satu per satu oleh penghuni dan difasilitasi oleh Pemkab Nias.
Sekadar diketahui, selama lebih kurang empat tahun BRR berada di Nias, cukup banyak yang dilakukan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti memperbaiki jalan/jembatan nasional, jalan/jembatan provinsi, rumah penduduk. Hanya menata tempat pembuangan bongkaran bangunan di tepi pantai Gunungsitoli tidak sempat mereka lakukan sehingga yang menata menjadi tempat publik dan indah seperti sekarang ini adalah Pemerintah Kota Gunungsitoli.
Jadi Ikon Kota
Seingat saya, eks tempat pembuangan reruntuhan bangunan pascagempa tersebut mulai digunakan sebagai tempat publik oleh Pemkot Gunungsitoli adalah pada 2015, yaitu saat memperingati 10 tahun gempa, yang dihadiri oleh Plt. Gubernur Sumatera Utara Ir Tengku Erry Nuradi dan para kepala daerah se-Kepulauan Nias, tokoh masyarakat, tokoh agama. Hanya saat itu masih belum tertata dengan rapi seperti yang kita lihat sekarang ini.
Sejak dilantiknya Wali Kota Gunungsitoli Lakhömizaro Zebua pada Mei 2016, pembangunan tempat pembuangan reruntuhan bangungan di tepi pantai Kota Gunungsitoli mulai ditata secara terencana dan intensif sesuai dengan rencana induk (master plan) Kota Gunungsitoli sehingga sesuai, serasi, dan selaras dengan kondisi Kota Gunungsitli yang memunculkan suasana baru sehingga orang tertarik mengunjunginya.
Untuk memudahkan promosi, pantai ini diberi nama Taman Ya’ahowu dan dijadikan tempat Pemilihan Putra/Putri Pariwisata Kota Gunungsitoli, tempat pertunjukan seni budaya, tempat pesta serta kegiatan besar seperti Pesta Ya’ahowu (sekarang Fesitival Ya’ahowu Nias) yang dilaksanakan pada November 2017 dan dihadiri semua kepala daerah se-Kepulauan Nias, tokoh masyarakat, grup-grup yang menampilkan ciri khas budaya daerahnya masing-masing. Waktu itu, Nias Barat menampilakan Tari Maru Folaya Saembu yang menggambarkan batapa indahnya persatuan dan kesatuan antaranak bangsa yang membuat para penonton terpesona melihat gaya dan irama tarinya.
Menurut penulis, eks tempat pembuangan reruntuhan bangunan pascagempa, yang saat ini telah ditata menjadi Taman Ya’ahowu oleh Pemerintah Kota Gunungsitoli dengan sendirinya menjadi ikon Kota Gunungsitoli. Untuk memberhasilkan pembangunan termasuk di dalamnya pembangunan pariwisata. Kita bersyukur Wali Kota Gunungsitoli Lakhömizaro Zebua bersama Wakil Wali Kota Sowa’a Laoli dan jajarannya menata Taman Ya’ahowu menjadi ikon. Ke depan kita harapkan agar ditata dengan menambahkan berbagai foto rindang sehingga menjadi jalur hijau.
Taman Ya’ahowu tersebut tidak hanya menjadi kebanggan masyarakat Kota Gunungsitoli, melainkan menjadi kebanggaan masyarakat di Kepulauan Nias. Mengapa? Karena kita memang membutuhkan ikon untuk pembangunan pariwisata. Penulis tertarik melihat rumah-rumah penduduk yang dicat warna-warna ornamen Nias di sepanjang pantai dari Pelabuhan Lama menuju Taman Ya’ahowu. Semuanya itu menjadi pertanda dukungan masyarakat menjadikan Taman Ya’ahowu sebagai ikon tempat publik untuk berekreasi, bersantai, berolahraga, dan kegiatan positif lain.
Hemat saya, masyarakat perlu disiapkan tempat-tempat pertemuan seperti Taman Ya’ahowu guna bisa berinteraksi yang kita harapkan bisa menghasilkan kreativitas, terutama bagi kawula muda.
Taman Ya’ahowu memiliki keistimewaan untuk menjadi ikon Kota Gunungsitoli tidak hanya karena ditata menjadi Taman Ya’ahowu, tetapi ada aspek historis, Taman Yaahowu adalah eks tempat pembuangan reruntuhan bangunan pascagempa pada tahun 2005.
Dengan tertatanya Taman Ya’ahowu, masyarakat Kota Gunungsitoli dan sekitarnya bahkan dari kabupaten lain di Nias maupun di luar Nias datang menyaksikan pemandangan laut biru sepanjang mata memandang. Tidak hanya itu, jika cuaca cerah dapat melihat bayangan Pulau Sumatera dan menyaksikan terbitnya matahari di ufuk timur. Sungguh mengagumkan. Beda-beda tipis dengan Pantai Sanur-Bali. Selain itu, masyarakat sekitar terutama yang punya kafe, kantin, kedai kopi, toko suvenir, gerobak (air kelapa muda, bakso), juga ketiban untung, penghasilan mereka bartambah.
Untuk itu, diharapkan kepada setiap orang yang mengunjungi tempat ini marilah kita jaga kebersihan agar tempat publik ini tetap tepelihara kebersihannya sehingga menjadi andalan masyarakat Nias, khususnya Kota Gunungsitoli. Bagi warga Gunungsitoli kiranya tetap memberi rasa aman bagi setiap orang pengunjung.
Kita menunggu ikon-ikon pariwisata di tempat lain di seluruh Kepulauan Nias yang bisa dijadikan tempat wisata keluarga yang aman dan nyaman. Salah satu yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Kota Gunungsitoli ke depan adalah penataan trotoar. Trotoar perlu dipercantik, diperluas, serta ditanami pohon asri sehingga bisa nyaman bagi pejalan kaki. Pelebaran jalan juga tentu perlu dipikirkan apalagi jika kelak Kota Gunungsitoli beranjak statusnya menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Nias.