Home Sudut Pandang Opini Memimpikan Nias Pulau Impian

Memimpikan Nias Pulau Impian

1
Memimpikan Nias Pulau Impian
Salah satu tempat wisata di Pulau Tello, Nias Selatan. —Foto: http://nias-sibaranun-bali.blogspot.co.id/

Oleh Fotarisman Zaluchu

Peluncuran Nias Pulau Impian menjadi berita menarik pekan ini. Adalah Himni, bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata RI, menggelar acara yang baru pertama sekali dilakukan untuk mendorong Kepulauan Nias menjadi daerah tujuan wisata pada tahun 2017. Tak tanggung-tanggung, “proyek” besar ini juga didukung oleh empat kabupaten dan satu kota di Kepulauan Nias.

Kita menyambut gembira kegiatan tersebut. Menggaungkan Nias ke pentas nasional memang sudah saatnya dilakukan mengingat begitu banyaknya organisasi bernuansa Nias di berbagai arena telah terbentuk. Mengandalkan pemerintah daerah, seperti selama ini, bisa dikatakan kurang maksimal. Perlu ada terobosan-terobosan kreatif.

Namun, mempromosikan Kepulauan Nias tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita bicara soal banyak hal yang lebih dari sekadar peluncuran jargon “Nias Pulau Impian”.

Ikon

Pertama, kita bicara soal ikon. Dari pengalaman saya, daya tarik sebuah lokasi wisata banyak ditentukan oleh ikon daerah itu. Ke Jakarta, Anda tentu ingin melihat Monumen Nasional (Monas). Ke Bali, Anda harus tidak boleh melupakan ikon Tanah Lot. Setiap daerah telah punya ikon, sebagai pembeda dari daerah lain. Jika sama, kebanyakan orang akan memilih ke daerah yang sudah terlebih dahulu populer. Itu adalah metode promosi paling konvensional, tetapi sangat mumpuni.

Kondisi di luar negeri juga demikian. Jika ingin ke Belanda, Anda pasti ingin melihat kebun tulipnya, dibandingkan ke Turki, di mana konon asalnya tulip. Ke Paris, pastilah ingin melihat rangka-rangka baja menara Eiffel. Ke Skotlandia, Anda pasti tertarik ke Loch Nes, danau penuh cerita mitos. Atau ke Belgia, Anda pasti sangat ingin mencari tahu di manakah Manneken Peace, patung anak kecil yang sedang pipis. Padahal, semuanya itu “biasa” saja.

Tulip bisa tumbuh di mana saja, baja ada di mana-mana, danau kita juga punya banyak. Mitos apalagi. Namun, kemasannya memang luar biasa. Penanda-penanda kota (landmark) seperti inilah yang dicari para pengunjung.

Pada era media sosial ini, wisatawan sangat ingin memperlihatkan kepada komunitasnya mengenai pengalamannya mengunjungi ikon tersebut. Ini adalah konsep metode promosi konvensional itu, yang digabungkan dengan kemajuan zaman.

Jadi, Nias Pulau Impian bukan hanya soal seremoni. Kita mulai memikirkan ikon apa yang ingin kita letakkan sebagai batu penjuru penarik para wisatawan domestik dan mancanegara. Saya melihat bahwa ikon ini belum benar-benar dibentuk. Kita mentok pada menjual yang itu-itu saja, lalu melupakan satu ikon tunggal yang akan menjadi pemancing. Kita, maaf, baru sampai pada inventarisasi potensi wisata yang bisa dijual. Padahal, setelah bertahun-tahun, harusnya ini sudah dipikirkan dengan baik.

Ikon ini tidak usah yang sifatnya spektakuler. Seperti contoh di atas, bahkan kebun tulip yang hanya dibuka dalam tiga bulan saja di Belanda, dibanjiri jutaan turis. Lalu, masih di Belanda, perayaan hari ulang tahun raja saja dibanjiri oleh ribuan orang. Juga di Belanda, menggunakan kostum tradisional Belanda di Pantai Volendam, juga adalah ikon yang bukan bersifat fisik masif, tetapi tetap menjadi tujuan wisata yang sangat terkenal.

Contoh-contoh tersebut uniknya tidak memberikan tontonan. Kita sebagai pengunjunglah yang menjadi bagian dari tontonan itu. Luar biasa bukan? Jadi yang penting itu adalah ikonnya menjadi sebuah landmark di mana pengunjung bisa menjadi bagian di dalamnya, berfoto di dalamnya, lalu mengirimkannya ke media sosial.

Menurut saya, Pantai Sorake dan Pantai Lagundri akan kalah saing dengan wisata pantai lain di Bali. Masih ada tradisi lompat batu yang sangat khas Nias yang bisa di-explore. Itu adalah landmark yang sangat menunjukkan pembeda kita dengan yang lain. Tradisi itu bisa digabungkan dengan membangun lokasi foto wisata dengan pakaian tradisional Nias—tak usah dijual untuk dibeli—lalu kemudian wisata bangunan tradisional plus tradisi megalitik. Saya bukan pelaku wisata, tetapi saya bisa merasakan sensasinya ketika kita terlibat di dalam sebuah pengalaman, daripada hanya sekadar menyaksikan pertunjukan.

Baca juga:  "Falaga" di Nias Pro 2022

Ramah

Persoalan kedua adalah apakah ikon itu ramah? Itu adalah persoalan berikutnya yang juga sangat penting. Keramahan berhubungan dengan penyambutan kita terhadap tamu.

Banyak kisah tidak mengenakkan kita dengar tentang cara kita menyambut tamu. Ini perlu dibenahi. Sebuah desa terpencil di Jerman pernah saya kunjungi. Tidak ada tarian sambutan. Tidak ada pengalungan bunga. Tidak ada tetabuhan bunyi-bunyian. Yang ada adalah penduduk yang menyapa kita dengan ramah dan tidak mengganggu. Mereka hanya menyediakan rumahnya sebagai toko menjual suvenir. Mereka tidak menarik-narik tangan pengunjung dan tidak memaksa pengunjung membeli barang dagangannya. Bahkan, tidak marah jika dagangannya yang sudah dipegang-pegang kemudian dibalikkan lagi. Itulah yang disebut keramahan.

Di Amsterdam, di sepanjang jalan di Central Stasiun, kita mudah menemukan toko penjual suvenir. Semuanya tak ada yang marah ketika kita hanya cuci mata saja ke tokonya (window shopping). Penampilan keramahan seperti itu saja sudah menjadi jualan.

Inilah yang harus serius kita bangun dan ubah di Nias sana, pasca-peluncuran Nias Pulau Impian. Meluncurkan ikon Nias Pulau Impian penting dan menarik. Namun, inti dari Nias Pulau Impian itu basisnya ada pada setiap anak-anak muda di Nias yang tidak menunjukan sikap arogan, pada setiap rumah yang ramah menjual dagangannya kepada para wisatawan, kepada para setiap penyedia informasi di lokasi wisata, dan bahkan pada para penyedia jasa hotel.

Wisatawan yang merasa dirugikan dan “dikerjai” selama kunjungannya akan memberikan cap negatif pada Nias, yang hanya masalah waktu saja segera ditinggalkan sekali berita itu menyebar di media sosial.

Dengan demikian, jika wisata Nias ini hendak dibangun, jangan banyak jargon. Perubahan di lapangan jauh lebih penting daripada sekadar sebuah selebrasi. Para petinggi proyek ini harus mampu mengubah mental dan sikap orang-orang di lapangan sehingga menyambut tamu karena sambutan kepada tamu adalah potensi wisata itu sendiri.

Seyogianya, proyek Nias Pulau Impian ini haruslah melibatkan seluruh struktur sampai tingkat ke bawah. Himni bukan organisasi sampai sampai ke level itu. Biarkan Himni bermain di level “atas”, sementara daerah-daerah memainkan peranannya dengan melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholder) lokal, di level “bawah”. Jangan anggap sepele fungsi gereja, masjid, ataupun kegiatan-kegiatan organisasi lokal warga. Justru di sana ajakan kepada masyarakat untuk ramah, sangat penting dibangun.

Pusat Promosi

Promosi Nias Pulau Impian memerlukan langkah tindak lanjut di tingkat lokal. Dengar-dengar pernah ada rencana membentuk semacam Pusat Promosi Nias yang diorganisasi oleh kelima daerah. Sayangnya, ide itu menguap begitu saja. Mengapa ide hebat bisa menguap? Kalau pendekatan programnya mengikuti mekanisme birokrasi. Mari ambil contoh pagelaran pemilihan Duta Wisata yang makin sering diadakan di Kepulauan Nias. Metode penyelanggarannya masih berorientasi program sehingga tindak lanjutnya pun hanya begitu-begitu saja. Karena penyelenggaranya juga begitu-begitu saja, anak-anak Nias hasil seleksinya pun tak bisa melakukan apa-apa di luar dari apa yang dianggarkan oleh pemerintah daerah.

Kita butuh sebuah unit bersama yang harusnya mempromosikan Kepulauan Nias, yang programnya dianggarkan melalui dana non-APBD, seperti Badan Otoritas Pengelola Danau Toba. Hanya dengan cara itu, kegiatan promosi akan bisa lebih fleksibel dan meninggalkan cara-cara lama. Maka tugas kitalah, termasuk Himni, melobi Presiden Joko Widodo supaya Kepulauan Nias bisa menjadi ikon nasional. Ini jauh lebih bermanfaat daripada berjuang untuk meminta hak dijadikan provinsi baru.

Di dalam Pusat Promosi itulah seharusnya jangan main sikut-sikutan. Nias milik bersama, lakunya pun untuk kepentingan bersama. Mendesain promosinya adalah dengan menjual Nias sebagai paket wisata “Keliling Pulau Nias” daripada sibuk memperjuangkan daerah masing-masing. Rekrutlah mereka-mereka yang berpotensi menjadikan Nias mampu bersaing dan bertarung di wilayah nasional bahkan internasional.

Kita sambut Peluncuran Nias Pulau Impian dengan harapan supaya sesudahnya kita bekerja keras. Tanpa kerja keras, Nias Pulau Impian hanya mimpi.

1 COMMENT

  1. Penyusuna kata,ide,saran,kritikan sangat super sekali bang. Mudahan-mudah ini bukan mimpi menjadikan pariwisata di Kepulauan Nias menjadi pertimbangan di tingkat Nasional melainkan NYATA dan membawa pembaharuan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.