Oleh Postinus Gulö
Tidak sampai dua tahun menjabat (setingkat) bupati sudah mampu membangun rumah megah dan punya harta melimpah lainnya. Kekayaan yang mencolok ini pantas dipertanyakan asal-muasalnya karena tak masuk akal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2000 dan Keppres Nomor 68 Tahun 2001, gaji bupati/wali kota setiap bulan adalah Rp 5.880.000 (lima juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah). Sementara gaji wakil bupati/wakil wali kota sebesar Rp 5.040.000 setiap bulan (Tempo.co, 18/12/2012). Tambahan lain, yakni insentif berdasarkan PP No.69 Tahun 2010.
Pemasukan lain kepala dan wakil kepala daerah adalah tunjangan operasional berdasarkan PP No. 109 tahun 2000. Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa besarnya biaya penunjang operasional Kepala Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Akan tetapi, untuk daerah terpencil, seperti di Pulau Nias yang masih kecil PAD-nya, mustahil bahwa kepala/wakil kepala daerah menerima penghasilan halal ratusan juta per bulan.
Dengan demikian, jika hanya mengandalkan penghasilan dari gaji murni tak mungkin punya harta “gendut” dalam satu tahun. Tak masuk akal pula mampu membangun rumah berbiaya miliaran rupiah hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun.
Bongkar Permainan Korupsi
Akan tetapi, bagi mereka yang bermental koruptif, mendapatkan uang miliaran rupiah bukanlah perkara sulit. Mereka punya banyak akal untuk melakukan korupsi. Salah satunya, permainan klasik dalam perekrutan pejabat struktural dan fungsional. Bisa jadi siapa yang bayar besar, ia akan menjadi sekretaris daerah (sekda). Bisa saja oknum (setara) bupati korup mendapat Rp 500 juta dari seseorang yang pingin jabatan sekda itu. Jabatan sekda itu begitu strategis. Berdasarkan PP No. 69 2010, sekretaris daerah adalah koordinator pengelolaan keuangan daerah (Pasal 3, Ayat 2 Huruf c).
Jika ada 30 pejabat eselon II, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau kepala dinas (kadis) lalu dipasang mahar Rp 200 juta per orang, oknum (setara) bupati itu mendapatkan pundi-pundi Rp 6 miliar. Anda bayangkan jika kadis diganti setiap tahun dengan mahar yang sama, isi kantong mencapai Rp 30 miliar.
Kalau mahar untuk pejabat setingkat sekretaris dinas (sekdis) Rp 100 juta, terkumpullah pundi-pundi minimal Rp 3 miliar. Belum lagi mahar untuk kepala sub-bagian dinas, kepala bidang (kabid), kepala kantor, camat, dan kepala sekolah.
Kalau begini, yang terjadi adalah jual-beli jabatan. Tidak lagi berdasarkan prinsip “orang yang tepat di tempat yang tepat” (the right man in the right place). Sering terjadi pula, perekrutan pejabat struktural tak jarang berdasarkan hubungan kekeluargaan dan relasi pertemanan dalam politik. Inilah nepotisme dan kolusi!
Anda bayangkan jika dalam pengurusan kenaikan pangkat/golongan PNS terjadi pungutan liar (pungli). Ingat setiap kabupaten/kota memiliki ribuan PNS. Misalnya saja, jika ada 1.000 PNS yang mengurus kenaikan golongan dengan “membayar”, katakanlah hanya Rp 200.000 setiap orang, berarti terkumpul Rp 200 juta. Bayangkanlah berapa uang terkumpul jika hal itu dilakukan berkali-kali dalam masa jabatannya. Begitu pula jika ada permainan dalam proses penerimaan dan pra-jabatan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan pegawai tidak tetap (PTT).
Permainan kotor semacam ini memperkuat indikasi bahwa tak sulit bagi koruptor mengumpulkan uang puluhan miliar rupiah, walaupun tinggal di daerah terpencil. Apalagi, tak sulit membangun rumah berbiaya miliaran rupiah seperti yang saya tulis di awal catatan ini.
Pepatah klasik memberi kita inspirasi: “Tak mungkin sapu kotor membersihkan lantai kotor.” Begitu pula mereka yang bermental koruptif tak mungkin membangun daerah otonomi menjadi bersih dari korupsi. Mereka yang korup tak mungkin menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance). Bahkan, suatu kemustahilan untuk bisa melakukan perubahan. Apalagi membuat terobosan kreatif-inovatif dalam pembangunan daerah berdasarkan semangat transparansi dan akuntabilitas terhadap penggunaan anggaran. Mereka lebih sibuk memikirkan keuntungan diri dan kelompoknya. Kita bisa nilai sendiri sejauh mana kini perubahan yang terjadi di Pulau Nias sejak dijadikan DOB.
Itu sebabnya saya sangat heran membaca komentar oknum masyarakat Nias yang notabene berpendidikan yang mengatakan: “tugas seorang kepala daerah bukan memberantas korupsi. Sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk itu”. Bagi saya, pernyataan itu sangat tidak bijak. Ia melontarkan kata-kata ini dalam rangka membela pasangan calon bupati/wakil bupati pada Pilkada 9 Desember 2015 yang selama ini dikait-kaitkan dengan kasus korupsi dan kasus penerimaan CPNS.
Gubernur Ahok di DKI Jakarta sudah membuktikan bahwa dirinya mesti turut andil memberantas korupsi. Dia pun berhasil menyelamatkan Rp 12,1 triliun anggaran siluman yang dilakukan oknum DPRD DKI. Anda bayangkan, di Jakarta saja terjadi permainan korupsi APBD. Padahal, di Jakarta banyak aktivis penggiat antikorupsi, jurnalis andal, dan penegak hukum yang punya integritas. Di DKI, kontrol publik begitu kuat. Sementara di Pulau Nias sangat minim kontrol publik. Tentu sangat nyaman bagi mereka yang bermental koruptif.
Sebagai masyarakat Nias, kita perlu lebih pro-aktif mengontrol pejabat daerah yang seolah-olah berpihak kepada rakyat. Tanpa kontrol dari kita, mereka leluasa melakukan korupsi dengan berbagai cara. Anda bayangkan jika, misalnya, di suatu kabupaten/kota ada sekitar Rp 100 miliar APBD yang dialokasikan untuk berbagai proyek setiap tahun. Lalu terjadilah korupsi dalam pengelolaannya. Katakanlah sekitar 10 persen untuk panitia lelang proyek atau yang mengatasnamakan panitia, 10 persen untuk oknum dewan, 10 persen untuk pemenang tender proyek, dan 10 persen untuk pimpinan daerah (atau pihak yang mencatut namanya).
Bisa jadi ada juga oknum kadis yang pingin 10 persen. Belum lagi jika ada fee lain, yang jumlahnya sekitar 10 persen dari anggaran. Di beberapa daerah, permainan korupsi seperti ini sebenarnya sudah lazim terjadi. Bahkan, anggota DPD, AM Fatwa, berani menyatakan bahwa permainan anggaran sudah lazim dilakukan di semua daerah. Hanya baru Gubernur Ahok yang berani mengungkapkan praktik ini (bdk.www.detik.com, 21/3/2016). Cara mereka memuluskan aksi mengorupsi uang proyek ini, salah satunya, dengan melakukan penggelembungan (mark-up) barang dan jasa dalam pengerjaan proyek.
Dengan demikian, sudah 60 persen, yang setara Rp 60 miliar habis dikorupsi. Belum lagi jika ada “dana taktis” lainnya. Atas permainan korupsi semacam ini, tidak mengherankan jika banyak proyek asal jadi, pelaporan fiktif, kualitas sangat rendah, dan tidak sesuai lagi dengan bestek paket proyek. Tidak hanya itu, pelaksanaan proyek pembangunan hanya pada kisaran 30–40 persen dari anggaran sebenarnya.
Kita belum lupa kasus korupsi Pengadaan Lahan Balai Benih Induk (BBI) Kabupaten Nias Selatan tahun anggaran 2012. Begitu juga kasus korupsi pembangunan kantor Bappeda Nias Barat tahun anggaran 2010. Kedua kasus ini hanyalah gunung es permainan korupsi di Kepulauan Nias. Ada banyak permainan korupsi lainnya yang perlu dibongkar.
Barangkali Anda tahu bahwa ada sosok Ono Niha yang anti-permainan korupsi semacam ini. Dia tak “merampok” APBD. Dia tak ambil “mahar” saat mengangkat pejabat struktural dan fungsional. Dia berani melawan oknum dewan yang main intrik politik busuk. Dia tidak mau ada pelaporan proyek yang fiktif. Anak buah malas dia tegur tegas. Akan tetapi, dia banyak musuh. Dia difitnah. Dia “dikeroyok” ramai-ramai yang akhirnya dia kalah di arena politik. Apakah Anda membiarkan terus terjadi hal ini?
Sebenarnya, penegak hukum sudah diberi amunisi menjerat koruptor—salah satunya—yakni pembuktian terbalik berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pembuktian terbalik, terdakwa korupsi wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan (UU No. 20 tahun 2001 pasal 37 A). Jika tidak mampu menunjukkan keseimbangan atas penghasilannya, maka hal itu memperkuat alat bukti tindak pidana korupsi.
Mari Tumpas Koruptor
Salah satu pertimbangan diundangkannya UU No. 20 Tahun 2001, adalah karena tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Itu sebabnya, tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Kita ketuk hati aparat penegak hukum: polisi (Polres Nias dan Nias Selatan), jaksa dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah dan membasmi korupsi di Kepulauan Nias dengan tindakan yang luar biasa. Koruptor harus dijerat dengan undang-undang pembuktian terbalik ini. Kita juga mendukung penegak hukum untuk menelusuri asal muasal harta gendut oknum pejabat di Kepulauan Nias.
Dalam konteks Nias, pihak yang paling dirugikan dalam permainan korupsi di Kepulauan Nias adalah masyarakat Nias itu sendiri. Itu sebabnya permainan korupsi ini harus segera diakhiri. Rakyat tak boleh diam. Koruptor penjajah rakyat Kepulauan Nias harus kita tumpas bersama. Beberapa hal yang mesti segera kita lakukan untuk mempersempit ruang gerak koruptor itu.
Pertama, masyarakat berani melaporkan kejahatan korupsi. Begitu juga mereka yang menjadi korban pemerasan koruptor mesti buka suara. Korban korupsi dan masyarakat harus sadar bahwa permainan kotor koruptor sangat sulit dibuktikan jika tak ada pihak yang melaporkannya. Kalau kita ikuti pemberitaan di media massa, KPK mampu mengungkap banyak kasus korupsi karena ada laporan akurat dari masyarakat. Itu pun sering dilakukan dengan cara menyadap dan menangkap tangan pihak-pihak yang korup itu. Oleh karena itu, kerja sama masyarakat sangat dibutuhkan untuk membuka cara kerja (modus operandi) mereka yang melakukan korupsi ini.
Kedua, memperkuat kontrol publik. Saya tantang kita untuk mengontrol bersama-sama Kepala/Wakil Kepala Daerah terpilih di Kepulauan Nias untuk periode 2016–2021. Di Kabupaten Nias terpilih untuk kedua kalinya Sökhi’atulö Laoli-Arosökhi Waruwu. Sementara empat kepala/wakil kepala daerah lainnya adalah sosok baru. Di Nias Selatan terpilih Hilarius Duha-Sozanolo Ndruru. Di Nias Barat terpilih Faduhusi Daeli-Khenoki Waruwu. Di Nias Utara terpilih Ingati Nazara-Haogösökhi Hulu dan di Kota Gunungsitoli terpilih Lakhömizaro Zebua-Sowa’a Laoli.
Cara kita mengontrol mereka bukan dengan memuji mereka setinggi langit: “Inilah pempimpin pembawa perubahan, dekat dengan rakyat, dia menghadiri pesta perkawinan…” Kita kontrol kinerja mereka. Kita minta agar mereka tidak melakukan permainan korupsi dalam perekrutan pejabat struktural.
Jika mereka berkinerja baik dan benar serta bijak, kita wajib dukung. Akan tetapi, jika mereka tidak benar membangun Nias dan memperjualbelikan jabatan eselon, kita perlu melancarkan kritik keras-konstruktif. Kita laporkan kepada pihak penegak hukum. Pendeknya, kita perlu menggalang kekuatan agar mereka konsisten melaksanakan janji politik dan visi-misi mereka.
Kita ingin mereka melakukan perubahan dan memberdayakan masyarakat Nias. Kita menunggu bukti bahwa mereka punya integritas, tak korupsi. Kita tunggu gebrakan mereka untuk transparansi anggaran.
Ingatlah, semakin kita abai mengontrol pimpinan pemerintahan akan semakin merajalela permainan korupsi di Nias. Permainan korupsi itu begitu masif dengan berbagai cara yang hampir tak terendus. Kita harus merdeka dari korupsi. Jangan membiarkan koruptor menjajah kita. Mari bersatu menumpas mereka.
luar biasa. ayo kita bareng beranntes korupsi di Nias.