Home Kabar dari Nias Nias Selatan Mengurai “Benang Kusut” Beasiswa Mahasiswa Nias Selatan (Bagian II)

Mengurai “Benang Kusut” Beasiswa Mahasiswa Nias Selatan (Bagian II)

0
Mengurai “Benang Kusut” Beasiswa Mahasiswa Nias Selatan (Bagian II)
Ilustrasi. Sumber: unik-mahasiswa.blogspot.com

Oleh Yosafati Gulö

Pada tulisan sebelumnya (Kabar Nias.com, 5/11/2015) sudah dijelaskan ketiadaan alasan hukum pemerintah daerah Nias Selatan (seterusnya ditulis pemda) untuk memaksakan addendum kontrak dengan mengurangi biaya pendidikan para mahasiswa di STKIP/STIE Nias Selatan.

Alasan sosial? Juga tidak. Buktinya ditolak oleh Yayasan STKIP/STIE sebagai pihak kedua dalam kontrak dan ditolak oleh mahasiswa sebagai penerima manfaat. Alasan politis? Jelas bertentangan dengan politik pemda Nias Selatan yang dimanifestasikan dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011. Alasan filosofi? Wah, makin jauh. Pasalnya, nilai-nilai yang terkandung dalam tindakan itu tidak menggambarkan upaya peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyatnya.

Secara historis, pembebasan biaya pendidikan itu sendiri merupakan program unggulan Nias Selatan, yang digaungkan Idealisman Dachi, selama kampanye Pikada pada periode lalu. Lantas, setelah terpilih menjadi Bupati Nias Selatan periode 2011-2016, gagasan itu dinaikkan posisinya menjadi keputusan politik pemda yang pelaksanaannya diatur dalam perda. Posisi Yayasan STKIP/STIE (seterusnya ditulis yayasan) dalam hal ini merupakan pendukung sekaligus pelaksana program pemda.

Dari situ tampak bahwa perjanjian kerja sama (baca: kotrak kerja) para pihak muncul dari pemda sebagai pihak pertama. Sudah tentu yayasan tidak sembrono. Sebelum penandatanganan kontrak, bisa dipastikan bahwa yayasan mengemukakan komponen biaya yang 13 item itu untuk dibahas bersama secara detail, lalu para pihak setuju, dan kotrak pun ditandatangani.

Penjelasan historis inilah yang menjadi pembenar penolakan yayasan terhadap addendum. Bahwa hal itu telah ditandatangani oleh para pihak, tidak berarti sah bila ada pihak yang keberatan. Terlebih kalau persetujuan diberikan secara terpaksa atau dipaksa oleh dan atas situasi tertentu. Mungkin saja terkait dengan pencairan biaya yang, konon, sempat tertunda lama dari jadwal. Atau mungkin sekedar mencegah pembicaraan tak berujung dengan Dinas Pendidikan yang terus berkeras mengurangi biaya.

Tidak sah

Pertanyaannya, seberapa kuat addendum itu sehingga diposisikan sebagai dasar hukum pembayaran biaya? Apabila addendum dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak berdasarkan asas-asas kontrak yang benar, misalnya asas kebebasan, asas konsensualisme (penyesuaian kehendak), asas kepercayaan dan iktikad baik para pihak, asas kepatutan, dan asas lainnya, addendum kuat. Ia memiliki kekuatan hukum sebagai hukum yang mengikat para pihak (lihat Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUH Perdata).

Namun, jika ketentuan di dua pasal itu tidak terpenuhi, misalnya ada unsur keterpaksaan atau dilakukan tanpa kebebasan berkehendak dari satu pihak, addendum tidak sah. Pasal 1321 KUH Perdata menegaskan, “Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Lebih parah lagi karena isi addendum merupakan pembatalan atau penarikan sebagian isi perjanjian kontrak dari 13 item menjadi 5 atau 6 item biaya. Perintah Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan, “… suatu perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali (dalam hal ini isi perjanjian awal) selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh UU dinyatakan cukup untuk itu. Sebab, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”

Baca juga:  Pleton Dalmas Polres Nias Selatan Laksanakan Latihan Fisik

Kejanggalan Kontrak

Akan tetapi, ada hal lain yang merumitkan addendum setelah mengalihkan penerima dana biaya pendidikan dari yayasan ke mahasiswa. Pengalihan penerima memang tepat karena yang dibiayai adalah mahasiswa. Cuma, pengalihan itu tidak disertai peraturan yang mengikat antara Pemda dan mahasiswa. Perikatan yang ada hanya antara Pemda dan yayasan.

Kerumitan terletak pada obyek perikatan antara pemda dan yayasan. Obyek itu ialah pelaksanaan pendidikan bagi para mahasiswa yang telah ditetapkan oleh pemda. Obyek ini melahirkan hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antara pemda dan yayasan. Bagi yayasan, obyek tersebut merupakan kewajiban, dan merupakan hak bagi pemda. Hak yayasan atas obyek tersebut ialah bayaran yang merupakan kewajiban pemda. Apabila pemda memenuhi kewajibannya, ia juga berhak mendapatkan hasil pekerjaan yayasan berupa lulusan.

Rincian hak dan kewajiban tersebut pasti sudah diatur dalam kontrak. Namun, dengan adanya addendum hubungan hak dan kewajiban itu menjadi kacau. Yayasan dinyatakan tidak berhak menerima pembayaran secara langsung dari pemda. Ia hanya menerima biaya dari mahasiswa.

Persoalannya, bagaimana hal itu direalisasi? Pasalnya, di antara yayasan dan mahasiswa tidak ada perjanjian kontrak. Andaikata mahasiswa tidak membayar, yayasan tidak memiliki dasar hukum untuk menagih atau menghentikan pelaksanaan pendidikan para mahasiswa. Jika hal itu dilakukan, ia melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) kepada pemda.

Di sisi lain, pemda tidak memiliki kewajiban membayar biaya kepada yayasan. Penerima kewajiban pemda itu telah dialihkan kepada mahasiswa sebagaimana diatur dalam addendum. Anehnya, pengalihan biaya tersebut kepada mahasiswa tidak disertai perjanjian antara pemda dan mahasiswa. Andaikata mahasiswa tetap kuliah dan tidak membayar, pemda tidak punya dasar hukum untuk menghentikan atau menarik kembali kewajibannya tersebut (lihat Pasal 1354 KUH Perdata).

Pertanyaannya, apakah pemda dapat memaksa mahasiswa membayar biaya berdasarkan item biaya yang disepakatinya dengan yayasan. Jelas tidak! Ia tak punya dasar hukum untuk itu. Pasalnya, item-item biaya yang disepakati pemda dan yayasan belum menjadi obyek perikatan antara mahasiswa dan Pemda.

Lagi pula, para mahasiswa bisa berdalih bahwa biaya yang diberikan oleh Pemda memang mereka pakai untuk keperluan kuliah seperti biaya buku, diskusi, pembuatan dan copy makalah, biaya pelajaran tambahan, dan sebagainya. Jika hal ini terjadi, bisa dipastikan bahwa niat baik program pendidikan gratis, malahan terus menciptakan dan memerbesar masalah, yang pada gilirannya dapat memakan biaya yang banyak, baik material maupun immaterial.

Untuk mencegah hal itu, solusi terbaik menurut saya adalah pemda, yayasan, dan para mahasiswa perlu kembali duduk bersama dan menata ulang perjanjian kerjasa ma, kontrak, atau perikatan yang melibatkan semua pihak berdasarkan asas-asas hukum perikatan yang benar. Mau?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.