Thursday, April 25, 2024
BerandaKanalBukuSaya Bukanlah Seorang Penulis, Hanya Ingin Berbagi...

Saya Bukanlah Seorang Penulis, Hanya Ingin Berbagi…

NIASPIRASI

Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö

Kalimat dalam judul di atas saya ucapkan saat saya menyampaikan kata sambutan pada peluncuran kedua buku dan ketiga saya yang berjudul: Kenangan Indah Selama Menjadi Bupati dan Berjuang Dalam Pilkada. Kalimat selengkapnya sebagai berikut: ”Sebenarnya saya bukanlah seorang penulis. Awalnya saya hanya ingin menulis pengalaman saya selama menjadi bupati dan berjuang dalam Pilkada 9 Desember 2015, sebagai tulisan terbatas untuk kalangan keluarga, seperti istri, anak dan cucu, agar kelak terutama cucu memahami secara mendalam kepribadian, sikap dan prinsip hidup kakeknya. Namun  beberapa teman, sahabat, mantan staf, menyarankan agar pengalaman saya tersebut dibuat dalam bentuk buku. Kata mereka mudah mudahan buku itu nanti dapat menjadi bahan banding dan motivasi bagi orang lain yang ingin menuliskan pengalamannya.”

Fotarisman Zaluchu, Ph.D sedang membahas buku saya. —Foto: Apolonius Lase

Saran teman-teman tersebut saya respons positif dengan mengaitkan janji saya pada acara peluncuran buku saya yang  berjudul Lima Tahun Yang Menantang yang dilaksanakan pada bulan November 2015 dan salah seorang pembahasnya bapak Apolonius Lase dari Jakarta. Pada saat itu, saya menjanjikan bahwa  akan menulis buku lagi, mohon didoakan. Dalam buku itu nanti, saya akan gambarkan secara umum lima permasalahan yang harus dan perlu dicari solusi, agar kita keluar dari minus infrastruktur dan sumber daya manusia, serta Nias Barat mengatasi ketertinggalannya.”

Teringat pada Janji

Entah kenapa, janji saya itu selalu muncul dalam pikiran saya. Karena itu, setelah saya serah terima jabatan bupati Nias Barat kepada Pelaksana Harian (Plh) Bupati Nias Barat Zemi Gulö, SH tanggal 13 April 2016, saya mulai mengumpulkan tambahan data dan bahan tulisan. Saya berpendapat bahwa janji harus ditepati, janji layaknya seperti utang  harus dibayar. Tidak hanya itu, janji yang dilupakan dan tidak ditepati merupakan bukti seseorang tidak bertanggung jawab atau dalam bahasa kasarnya pembohong/penipu. Adapun orang yang menepati janji adalah orang yang punya integritas.

Seorang peserta yang mendapatkan buku saya meminta tanda tangan. —Foto: Apolonius Lase

Bagi saya, janji beda beda tipis dengan sumpah. Ketika saya dilantik menjadi Perwira TNI Angkatan Darat, Kepala Kantor Sospol Kabupaten Nias, Kaban Kesbangpol, dan Linmas Kabupaten Nias dan terakhir Bupati Nias Barat saya berjanji/bersumpah dengan memegang Kitab Suci dan disaksikan Pastor.

Mari membandingkan pengertian janji dan sumpah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi keempat tahun 2008. Janji yaitu ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Jika janji dijadikan kata kerja menjadi berjanji (v) artinya: Pertama, mengucapkan janji, menyatakan bersedia dan sanggup untuk berbuat sesuatu. Kedua, menyanggupi dan menepati apa yang telah dikatakan atau yang telah disetujui.

Sementara sumpah berarti: Pertama, pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci. Kedua, pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataannya tidak benar. Ketiga ”janji’ atau ikrar yang teguh.

Jika sumpah dijadikan kata kerja menjadi bersumpah (v) yang berarti: Pertama, menyatakan kebenaran sesuatu hal atau kesetiaan dengan sumpah. Kedua, “berjanji” dengan sungguh-sungguh, berikrar. Untuk itu, jika kita merenungkan secara mendalam dan sungguh-sunguh, janji dan sumpah mengandung makana yang hampir sama. Maaf hal ini saya tidak bahas secara moral ataupun teologi.

Janji: Komitmen untuk Ditepati

Sebab itu, selama ini saya selalu hati-hati berjanji. Saya begitu takut dan khawatir tidak bisa menepatinya. Ketika saya kampanye pada pilkada tahun 2011 dan 2015, saya tidak banyak berjanji kepada masyarakat, malah saya berjanji pada diri saya. Ada tiga hal penting janji saya pada diri sendiri saat kampanye, jika saya terpilih, yaitu:

Pertama, tidak meminta dan menerima uang kepada siapa pun yang masuk CPNS, baik penerimaan umum maupun kategori dua (K-2). Kedua, tidak meminta uang kepada orang yang saya lantik pada jabatan struktural maupun fungsional, tidak mengomersialkan jabatan apa pun. Ketiga, tidak meminta uang kepada rekanan atau sering disebut dana taktis (DT). Ini sudah saya tulis dalam buku saya.

Sebagian peserta yang datang saat bedah buku berfoto bersama usai acara, Jumat (20/10/2017). —Foto: Trisman Efori Harefa.

Adapun pada bidang pembangunan fisik saya berjanji: “Kita akan membangun Nias Barat secara merata, asas prioritas, mendesak, dan sesuai kemampuan keuangan daerah kita kedepankan. Jika kita  punya ‘fahasara dödö” saya yakin ”pelan tapi pasti “kita akan bisa mengatasi ketertinggalan.”

Akhirnya saya sadar bahwa “janji saya kurang menarik karena tidak ada kata “gratis ini gratis itu, bangun ini bangun ini.” Apalagi, saat kampanye saya tidak sanggup meneteskan air mata, berpura-pura sedih melihat kondisi Nias Barat. Saya meyakini sabda Allah: ”Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendalah kamu katakan: tidak. Apa yang  lebih daripada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5:37). Saya juga termasuk tipe yang percaya atas pemeo yang berkembang di masyarakat, bahwa orang yang banyak janjinya banyak juga tipunya/bohongnya. Bagaimana dengan Anda.

Baca juga:  Bupati Nias Selatan Hilarius Duha Buka Bebyar PAUD 2024

Puji Tuhan atas dorongan Pastor Postinus Gulö yang sedang kuliah di Roma; Bapak Apolonius Lase di Jakarta, istri saya, Seditan Nehe; dan anak kami, Agnes Gulö; dan beberapa teman yang tidak mau disebut namanya, kedua buku saya selesai dicetak di Bina Media Perintis Medan.

Tepati Janji

Artinya, janji yang pernah saya ucapkan merupakan komitmen saya untuk menepatinya. Menepati janji berarti butuh konsistensi dan kesetiaan melaksanakannya walaupun banyak tantangan. Lagi-lagi  teman dan sahabat menyarankan bahwa dalam memperkenalkan buku saya kepada publik perlu ada acara peluncuran buku, dengan mengundang tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh budaya, tokoh pemuda, mahasiswa dan rektor perguruan tinggi yang ada di Gunungsitoli dan pemerintah.

Kata teman-teman sambil ketawa tidak ada salahnya kalau sekali-sekali kita tiru model orang Jakarta dalam memperkenalkan buku mereka. Walaupun dalam hati, saran dari teman tesebut sedikit berat karena tentu saya kepikiran akan masalah biaya, apalagi saya sudah pensiun. Namun, setelah saya pikir-pikir ada gunanya juga untuk ketemu dengan teman teman yang sudah lama tidak bertemu. Masalah biaya, pasti ada rezeki dari Dia yang mahakaya.

Dengan bantuan teman-teman jugalah, peluncuran kedua buku saya dilaksankan pada 20 Oktober 2017 di ruang serbaguna kantor Wali Kota Gunungsitoli. Saya sangat senang orang yang hadir 81 orang dari undangan 125 orang. Hadir pada saat itu Sekda Kota Gunungsitoli Agustinus Zega mewakili Wali Kota yang berhalangan hadir karena ada tugas ke luar daerah. Para tokoh agama, tokoh budaya, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, beberapa PNS juga hadir, hanya saya tidak menyebut nama mereka satu per satu di sini, saya takut  nama sesorang terlupakan.

Para peserta bedah buku, 20 November 2017. —Foto: Apolonius Lase

Rektor IKIP Gunungsitli Drs Desman Telaumbanua, MPd hadir di tengah-tengah peserta serta memberi tanggapan dan saran untuk perbaikan pada buku saya. Dan yang  tidak kalah penting adalah dua orang pembahas, yaitu bapak Fotarisman Zalukhu dari Medan dan bapak Apolonius Lase dari Jakarta, dengan gaya mereka yang sangat komunikatip peserta tidak merasa bosan, sedangkan moderator bapak Deri Dohude dari Gunungsitoli.

Menulis, Berani Berkata Benar

Setelah kedua pembahas secara bergantian memaparkan pokok pokok pikiran saya pada buku saya tersebut, mereka mengembalikan kendali kepada moderator untuk meneruskan acara. Kemudian moderator memberi kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan pertanyaan/tanggapan/saran. Saat itu ada delapan orang  yang menyampaikan tanggapan. Sesi pertama 5 orang dan sesi kedua 3 orang.

Beberapa tanggapan/pertanyaan/saran peserta yang masih saya ingat yaitu: (1).Kenapa dalam buku AAG tidak membahas Wakil Bupati? (2) Apa motif paling dalam menulis buku ini dan apakah tidak takut kalau ada yang keberatan karena namanya disebut? (3) Apakah rasa gembira karena telah membangun semua kantor SKPD  dan rasa sedih karena dikhianati masih tersimpan dalam hati? (4) Mengapa bapak AAG tidak menggugat ke MK?

Ketika moderator memberi waktu, saya mencoba menjawab setiap pertanyaan yang disampaikan peserta.

Pada kesempatan itu saya akhiri dengan kalimat seperti ini: “Buku ini tidak dimaksudkan memamerkan keberhasilan dan menutupi kekurangan. Juga buku ini, bukan untuk mengawetkan perasaan sedih, kecewa, malu, dihina, difitnah, ditinggal, dan dikhianati, apalagi mengungkit-ungkit masa lalu.

Masa lalu tidak akan kembali lagi. Biarlah itu semua menjadi pemelajaran dalam hidup saya dan dalam hidup para pembaca jika sudah membaca buku ini. Orang akan mencari kita jika ada jabatan dan mereka secara pelan-pelan, tetapi pasti meninggakan kita kalau tidak ada jabatan lagi.

Buku ini saya tulis, selain untuk kenangan kalangan keluarga, juga saya mencoba menggugah agar budaya menulis di kalangan PNS, dosen, generasi muda, mahasiswa/i, dan berani memulai serta berkata benar. Kalau mereka bisa kita pun bisa. Kalau bukan sekarang kapan lagi.”

(Jika ingin memiliki buku Pak Adrianus Aroziduhu Gulö, bisa dipesan melalui ruang komentar di artikel ini, pengganti ongkos cetak Rp 50.000 di luar ongkos kirim. Harap disebutkan alamatnya)

RELATED ARTICLES

4 KOMENTAR

  1. Kendati buku itu hanya dimaksudkan untuk keluarga, tetapi dengan gambaran umum isinya yang telah dikemuakakan di atas, saya kira buku itu perlu bagi umum. Paling sedikit dapat menjadi motivasi bagi para pejabat, terlebih-lebih dosen untuk menulis. Saya pesan 1 eks, mohon informasi rekening dan biaya pengiriman.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments