Perayaan Imlek di Pulau Nias, khususnya di Kota Gunungsitoli, memang tidak seramai kota besar lain di Indonesia. Meskipun begitu, biasanya masyarakat Tionghoa dari agama apa pun selalu merayakan Imlek. Sebab, merayakan Imlek tidak berhubungan dengan agama tertentu tetapi sudah menjadi tradisi atau budaya.
Tak dimungkiri, banyak orang mengira bahwa perayaan tahun baru Tiongkok, Imlek, adalah salah satu perayaan keagamaan. Ternyata perayaan ini merupakan salah satu tradisi masyarakat Tionghoa.
Persis pada tanggal 1 bulan 1, menurut kalender Lunar, masyarakat Tionghoa merayakan tahun baru Imlek atau yang juga dikenal dengan istilah Sin Cia. Pada tanggal itu juga, sebuah hari baru dimulai. Musim semi dijadikan tanda ucapan syukur bagi sebuah awal atau permulaan baru.
Untuk diketahui, Kalender Lunar menghitung jumlah bulan berdasarkan revolusi Bulan terhadap Bumi. Sehingga menurut kalender ini, satu tahun ada 12 bulan dan dalam 1 bulan ada 29 atau 30 hari. Setiap tahun ditandai dengan 12 shio yang dilambangkan oleh 12 binatang. Tahun 2016 ditandai sebagai tahun Monyet Api.
Ester Cia, warga Kota Gunungsitoli yang sekarang tinggal di Bumi Serpong Damai, Banten, mengaku perayaan Imlek sama sekali tidak merujuk pada agama tertentu. Menurut Ester, Imlek adalah saatnya berkumpul dan bersilaturahim dengan keluarga.
“Ini budaya, tradisi, yang sudah turun-temurun. Sejak kecil saya sudah merayakan Imlek dan yang paling menyenangkan adalah tradisi bagi-bagi angpao serta saat ada pertunjukkan barongsai dan liong. Saya sangat senang dengan atraksi itu,” ujarnya.
Sekarang Ester, karena sudah berkeluarga, tidak lagi menerima angpao. Ia justru sekarang wajib memberikan angpao kepada ponakan dan anak-anaknya. Tahun ini, Ester juga tidak bisa pulang kampung berkumpul di rumah mereka di Jalan Gomo, Kota Gunungsitoli. Ia hanya berharap, tahun yang baru ini bisa membawa kesuksesan.
“Saya berharap Imlek bisa memberi kesuksesan kepada semua orang, termasuk kepada masyarakat di Kota Gunungsitoli, dan seluruh Pulau Nias tempat, saya dilahirkan. Pemerintah daerahnya yang baru terpilih bisa memperhatikan dan memanfaatkan perayaan Imlek dan Cap Go Meh ini menjadi obyek wisata di Kota Gunungsitoli,” ujarnya.
Menjaga Hubungan
Bicara budaya Imlek, Tapak Wong, salah seorang Tokoh masyarakat Tionghoa di Kota Gunungsitoli yang juga Ketua Majelis Budhayana Indonesia cabang Nias, di kediamannya, menjelaskan, Imlek merupakan simbol bagaimana manusia menjaga hubungan dengan Tuhan dan sesama, yang dilakukan secara turun-temurun, serta menjadi momentum bagi umat manusia untuk membersihkan diri.
Sama seperti tradisi perayaan tahun baru menurut kalender Masehi atau kalender Hijriyah, merayakan tahun baru Imlek, masyarakat Tionghoa juga melakukan aneka persiapan. Persiapannya perayaan Imlek lebih ditujukan untuk menjaga hubungan dengan Tuhan dan keluarga.
“Persiapan perayaan Imlek ditandai dengan membersihkan rumah. Dengan membersihkan rumah, pikiran akan menjadi lebih jernih. Menumbuhkan semangat baru untuk menjalani tahun yang baru,” ujar Tapak Wong.
Setiap rumah memasang hiasan ikan, lampion, pohon yang berbunga mekar dan ucapan selamat berwarna merah. Warna merah sebagai tanda kebahagiaan dan semangat hidup. Warna merah juga diyakini dapat menghindarkan diri dari malapetaka yang mungkin menimpa. Selain itu hiasan berupa gambar shio yang menjadi simbol tahun baru juga biasanya dijadikan hiasan.
Selain pernak-pernik perayaan Imlek yang harus ada di setiap rumah, simbol-simbol Imlek pun terlihat dari makanan yang disajikan pada saat perayaan Imlek. Makanan yang disajikan saat Imlek haruslah lebih manis dari biasanya. Makanan yang manis diyakini sebagai harapan menjalani kehidupan yang manis selama setahun.
Menyediakan makanan yang lebih manis setiap Imlek diamini oleh Erni Gho (65) atau biasa dipanggil Jo’e (65). Saat ditemui di kediamannya di Jalan Kelapa, Jo’e sedang membuat kue bakul. Ia mengaku sudah membuat kue sejak masih kanak-kanak. Keahliannya diwarisi dari sang ibu. Bukan hanya Jo’e yang pandai membuat kue. Kelima saudari perempuannya yang lain hingga kini semua hidup dari membuat kue.
“Ada kue lapis. Harapannya rezeki akan selalu ada. Berlapis-lapis seperti kue lapis yang manis. Lalu kue mangkuk yang mekar seperti bunga. Biasanya berwarna merah, itu juga wajib ada. Nanas dan tebu adalah simbol pengikat kekerabatan. Diharapkan hubungan kekerabatan semakin erat pada tahun mendatang,” ujarnya.
Tapak Wong menjelaskan, “Pada malam terakhir bulan 12 tanggal 30 seluruh keluarga berkumpul dan makan malam bersama. Pada saat itulah semua saling memaafkan satu sama lain. Yang muda menghormati yang tua dan yang tua memberi nasihat kepada yang muda. Sehingga besok pagi saat perayaan Imlek dimulai, hati sudah bersih dan putih lagi, sehingga semua bisa bersukacita. Inilah yang biasa disebut dengan silaturahmi”.
Pada hari perayaan Imlek biasanya yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa pertama kali adalah berdoa ke tempat ibadah sesuai dengan agama masing-masing. “Menjaga hubungan antara kita sebagai umat manusia dan Tuhan adalah hal terpenting yang dilakukan pada saat perayaan Imlek. Jadi yang Kristen beribadah di gereja, yang Muslim beribadah di masjid dan yang Buddha beribadah ke vihara,” kata Tapak Wong.
Soal Angpao
Angpao adalah amplop merah berisi uang yang merupakan simbol ungkapan kebahagiaan. Angpao tidak dilihat dari dari besar nilai uang dalam angpao tersebut, tetapi dari ketulusan dari yang memberi angpao.
Menurut Tapak Wong, dalam filosofi masyarakat Tionghoa, semakin banyak memberi akan semakin banyak menerima. Dengan keyakinan ini, niscaya rezeki akan melimpah selama satu tahun ke depan.
Menerima angpao dianggap sebagai rezeki pertama yang didapat pada hari pertama pada tahun baru. Sehingga besar atau kecilnya nominal uang yang didapat, tidak akan menjadi masalah. Selain itu, mereka yang menerima angpao mendoakan yang lebih tua agar murah rezeki dan panjang umur.
“Siapa pun yang menerima angpao meskipun hanya satu rupiah, tetap dianggap sebagai rezeki dan patut disyukuri. Karena dari yang satu rupiah, di kemudian hari akan didapat rezeki yang lebih banyak lagi. Tidak mungkin mendapatkan satu juta rupiah jika menolak rezeki satu rupiah,“ ujarnya.
Tahun Monyet Api
Tahun 2016 ditandai dengan shio Monyet Api. Monyet dikenal seagai binatang yang agresif, lincah dan sangat percaya diri. Jadi bisa di katakan tahun 2016 saatnya bagi kita untuk berprestasi dan bermanfaat bagi orang lain.
Salah satu filosofi masyarakat Tionghoa kuno yang masih dipegang teguh hingga kini adalah Selagi hidup kita belum bermanfaat bagi orang lain, hidup kita akan sia-sia. Tapak Wong mengatakan, “Apa pun ajaran agamanya, jika kita sebagai umat beragama tidak pernah membantu orang lain, hidup kita ini tidak ada artinya.”
Bermanfaat bagi orang lain tidak harus semata-mata dengan memberikan bantuan berupa materi. Jika tidak punya materi kita bisa memberi bantuan dalam bentuk tenaga. Apabila tidak punya tenaga bisa memberikan bantuan dalam bentuk nasihat. Jika nasihat pun tak ada, kita bisa memberi senyuman. “Dengan satu senyuman dapat mengatasi segala kecurigaan. Dua kali senyum, terjalinlah komunikasi. Tiga kali senyum maka pintu rezeki pun akan dibukakan,” ujar Tapak Wong.
“Oleh karena itu, memberi harus dengan ketulusan, tanpa pamrih. Tidak mencari popularitas atau ingin dipuji. Jika sebelum memberikan itu dilandasi oleh ketulusan, setelah memberi hati akan gembira. Akan tetapi, jika tidak tulus memberi pasti akhirnya bakal mengalami kekecewaan. Ini yang banyak terjadi saat ini. Harus direnungkan bersama, agar ke depan kita bisa menjadi manusia yang lebih baik,” ujarnya.
Menjaga tradisi dan budaya leluhur ternyata masih jadi pekerjaan rumah kita bersama. Bukan tidak mungkin ternyata sebuah tradisi mengajarkan nilai-nilai positif yang sangat berguna bagi kehidupan kita.
Gong Xi Fa Cai (semoga sejahtera atau selamat kaya raya) untuk Pulau Nias. Xin Nian Kuai Le (selamat tahun baru). [Ketjel Zagötö/knc01r]
Selamat imlek buat semua