Home Sudut Pandang Opini Kini Pemilih Sudah Cerdas Gunakan Hak Politik

Kini Pemilih Sudah Cerdas Gunakan Hak Politik

0
Kini Pemilih Sudah Cerdas Gunakan Hak Politik
Memilih adalah hak demokrasi seorang warga negara. —Foto: Getty Images

Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö

Pada pilkada serentak tahun 2018 yang dilaksanakan pada 171 daerah di Indonesia, ada beberapa daerah yang hanya diikuti satu pasangan calon. Apabila hanya satu pasangan calon, apakah pilkada di daerah tersebut bisa diteruskan? Bisa. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, Pasal 54c Ayat (1)a,b,c, d,e dan Ayat (2).

Saya mengutip cuplikan ayat tersebut. Pertama, Pasal 54c Ayat (1) e menyatakan: ”Terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat satu pasangan calon. Kedua, Pasal 54 c Ayat (2) menyatakan Pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom  yang memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong yang tidak bergambar.

Daerah yang paling banyak mendapat perhatian publik yang hanya memiliki satu pasangan calon, yaitu Kota Makassar, Sulawesi Selatan—saat Orde Baru dulu kota ini dinamai Ujungpandang. Pada awalnya di Kota Makassar ada dua pasangan calon yang mendaftar di kantor KPUD Makassar, yaitu Mohamad Ramdhan Pomonto atau Denny Pomonto (petahana)–India Mulia Sari dari jalur independen. Pasangan ini disingkat menjadi “DIAmi”. Kedua, Munafri Arifudin alias APPI–Andi Rahmatika Dewi alias CICU, yang didukung 10 partai politik terdiri dari: Nasdem,Golkar,PDIP,Gerindra,Hanura,PKB, PPP,PBB,PKS, dan PKPI dengan total 43 kursi dari 50 kursi DPRD Kota Makasar. Pasangan ini disingkat menjadi APPI-CICU.

Dalam proses seleksi di KPUD Kota Makassar, pasangan DIAmi dinyatakan tidak memenuhi syarat. Karena itu, pasangan DIAmi menempuh jalur hukum, bahkan sampai ke Mahkamah Agung, tetapi pasangan tersebut tetap dinyatakan tidak memenuhi syarat. (Penulis tidak membahas proses hukum yang ditempuh DIAmi, karena fokus penulis adalah kemenangan Kolom Kosong). Akibat dari pasangan DIAmi tidak memenuhi syarat, calon wali kota dan wakil wali kota Makassar hanya satu pasangan calon, yaitu APPI-CICU.

Di Atas Angin

Masyarakat yang mendengar kemenangan  “kolom kosong” pada pilkada kota Makasar terheran-heran dan penuh tanda tanya. Mengapa bisa kalah, bukankan pasangan APPI-CICU didukung 10 partai politik? Apakah mesin partai politik tidak jalan? Kalau demikian, apa fungsi dukungaan partai politik yang sepuluh itu? Apakah kurang besar dana operasional, hingga mesin politik tidak jalan?

Kekalahan dari kotak kosong lebih menyakitkan dan memalukan dibandingkan dengan kalah dengan kolom berisi (orang). Karena kolom kosong tidak memiliki: sistem, tim sukses, pos pemenangan, saksi, dan tidak melakukan serangan fajar.

Sebenarnya hitungan politik calon tunggal APPI-CICU di atas angin. Selain didukung 10 partai politik, juga didukung elite politik tingkat provinsi dan pusat, Jakarta. Lalu, apa yang kurang? Logistik? Sponsor? Tidak. Semua itu lebih dari cukup. Namun, kenyataannya mereka tetap kalah dari kolom kosong. Mengapa? Jawabannya, karena masyarakat sudah mulai cerdas dalam memilih pimpinannya. Perbedaan suara pun sangat signifikan.

Berdasarkan rapat pleno hasil penghitungan suara pemilihan wali kota dan wakil wali kota Kota Makassar yang digelar di Hotel Max, Jumat, 6 Juli 2018, KPUD Kota Makassar menetapkan kolom kosong sebagai pemenang dalam Pilkada Kota Makassar 2018. Adapun kolom kosong memperoleh suara 300.975 (53,23%), sedangkan APPI-CICU memperoleh suara 264.245 (46,73%). Dengan demikian, selisih suara antara kolom kosong dengan calon tunggal APPI-CICU sebanyak 36.898 (Kompas.com, 7 Juli 2018).

Apabila penetapan hasil penghitungan suara di atas pihak calon tunggal APPI-CICU keberatan dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi adalah sah-sah saja dan itu merupakan hak mereka  serta dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi, menurut penulis, ada beberapa hal yang “aneh” apabila calon tunggal menggugat ke MK, yaitu Pertama, tidak sesuai dengan Pasal 158 ayat(2)c Udang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, menyatakan: ”Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan suara dilakukan jika ada perbedaan paling banyak sebesar 1% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU kabupaten/kota. Sementara perbedaan suara kolom kosong dengan APPI-CICU sebanyak 6,5%.

Kedua, kendatipun yang digugat ke MK adalah Keputusan KPUD kota Makassar tentang Penetapan Hasil Perolehan Suara Pilkada Kota Makassar 2018, tetapi pada hakikatnya yang digugat adalah masyarakat yang tidak memilih kolom kosong.  Apakah etis dan tidak malu menggugat masyarakat yang tidak memilih calon tunggal saat pilkada kota Makassar? Bukankah masyarakat bebas menentukan pilihannya?

Baca juga:  Meluruskan Makna Beasiswa

Ketiga, tidak intropeksi diri dan belum sadar serta tidak menerima kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat Kota Makassar  tidak menyenangi calon tunggal. Hal ini semakin jelas, selain kalah dari kolom kosong, juga banyak masyarakat tidak hadir di TPS untuk menggunakan hak pilihnya. Ketidakhadiran pemilih di TPS, mengandung arti  bahwa mereka tidak suka pada calon tunggal. Mereka merasa tidak punya pilihan arternatif. Lalu, kenapa dipaksakan? Apakah tidak menghargai keputusan masyarakat? Lucu.. ya!

Keempat, kurang menyadari bahwa pilkada merupakan sarana dan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pimpinan daerahnya yang peduli kepada rakyat,pelayan dan punya integritas. Mereka hanya menganggap pilkada sebagai peluang untuk mencari kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dengan mengesampingkan akal sehat.

Kemenangan Rakyat

Penulis sangat setuju dan mendukung pendapat beberapa orang yang mengatakan bahwa kemenangan kolom kosong di suatu daerah saat pilkada adalah “kemenangan rakyat” setempat secara khusus dan kemenangan rakyat indonesia secara umumnya. Hal ini merupakan fenomena baru dan pembelajaran dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia yang selama ini dianggap tabu.

Adapun alasan penulis setuju bahwa kemenangan kolom kosong adalah kemenangan rakyat sebagai berikut.

Pertama, memilih dan menentukan pilihan pada pilkada merupakan hak asasi seseorang yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, termasuk penguasa.

Kedua, pemilih sudah mulai jujur, berani dan cerdas dalam menentukan pilihannya dengan tidak takut akan tekanan maupun rayuan gombal dari calon tunggal. Pemilih telah menemukan dirinya dan punya harga diri.

Ketiga, masyarakat  pemilih tahu dan sadar bahwa calon tunggal diduga merupakan rekayasa politik dari oknum-oknum tertentu, termasuk di dalamnya oknum pimpinan parpol lokal maupun pusat.

Keempat, masyarakat dalam menentukan pilihannya tidak berdasarkan janji-janji kampanye, mereka sudah bisa membedakan mana janji yang bisa ditepati dan mana yang tidak dapat ditepati (palsu). Masyarakat  sadar bahwa orang yang banyak janjinya, itulah orang yang banyak tipunya. Masyarakat tidak mau ditipu lagi. Ketokohan, popularitas, kekayaan, pencitraan, dan lain-lain adalah hal yang bisa dicari dan bisa dibentuk malah bisa direkayasa, sedangkan orang yang memiliki integritas sangat langka pada zaman sekarang.

Kelima, masyarakat semakin sadar akan hakikat demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ketiga hakikat demokrasi tersebut bagi seorang pemimpin harus dijiwai dalam menjalankan pemerintahnya, sebagai berikut pemerintahan dari rakyat mengandung arti bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui pemilihan umum. Bagaimana APPI-CICU? Pemerintahan oleh rakyat mengandung arti bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan menjadikan rakyat sebagai obyek dan birokratisme.

Pemerintahan untuk rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan demi kepentingan rakyat. (Bandingkan dengan kata sambutan Pdt. Dr. Tuhoni Telaumbanua,S.Th,M.Si  pada buku Kenangan Indah Selama Menjadi Bupati tahun 2017 yang ditulis oleh AAG).

Fenomena kemenangan kolom kosong di Kota Makassar hendaknya menjadi awal kesadaran masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Bagi orang yang mendambakan bangsa Indonesia maju, mandiri, dan berdaulat sangat setuju kesadaran ini menjadi “kesadaran kolektif dan membumi, serta dilanjutkan pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden, pemilu legislatif, pada semua tingkatan pada tahun 2019. Dengan demikian, presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dipilih berdasarkan hati nurani dengan keyakinan bahwa mereka yang dipilih akan membawa perubahan pada kehidupan masyarakat dan bernegara.

Salah satu perubahan yang diharapkan masyarakat Indonesia pasca-Pemilu 2019, yaitu tidak ada lagi kepala daerah/pejabat negara, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, ASN, yang bermasalah dengan hukum, apalagi kena OTT (operasi tangkap tangan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perubahan ini bisa terwujud, apabila partai politik mengusulkan kadernya menjadi caleg yakni orang yang tidak pernah tersandung masalah korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak.

Kita semua berharap pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2019 ada beberapa pasangan calon, tidak calon tunggal, agar ada pilihan alternatif.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.