Oleh Fotarisman Zaluchu
Seorang teman yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara di salah satu instansi di Pulau Nias menceritakan keluhannya kepada saya. Hanya gara-gara orangtuanya semarga dengan kandidat yang menantang seorang petahana, ia dimutasikan ke wilayah yang, menurut dia, sangat jauh. Ia kecewa karena sesungguhnya ia tidak melakukan apa-apa bahkan tidak mau tahu persoalan pilkada. Sayangnya, nasibnya membawanya terlempar dari posisinya semula.
Teman lain bercerita hampir sama. Kekerabatan dengan salah seorang kandidat penantang petahana menyebabkan suaminya “turun pangkat”. Suaminya di-staf-kan tanpa sebab yang jelas oleh kepala daerah petahana. Yang lebih parah adalah seorang pejabat yang kini tanpa posisi apa-apa, hanya karena dianggap tidak memberikan dukungan kepada petahana.
Lima kepala daerah yang saat ini sedang menjabat di Pulau Nias memang akan kembali bertarung. Mereka kembali memperebutkan jabatan yang telah diembannya selama lima tahun terakhir. Mereka mencoba mengadu nasib di pilkada serentak ini untuk jabatan lima tahun mendatang. Akan tetapi, kehadiran ulang para petahana ini adalah fenomena yang menyebabkan banyak PNS menelan pil pahit. Banyak PNS yang galau dan berada dalam posisi yang serba salah.
Padahal, sebagai warga negara yang memiliki hak politik untuk memilih pasangan yang dikehendakinya, setiap PNS sesungguhnya berhak untuk menentukan sendiri pilihannya tersebut. Namun, sayangnya, sering sekali PNS diminta tunduk kepada kepentingan politik lokal, yang berbau intimidasi sebagaimana tiga contoh kasus di atas. Mudah ditebak bahwa perlakuan petahana kepada dua PNS di atas adalah perlakuan yang berbau perang psikologis dan berkeinginan untuk melemahkan moralitas lawan politik.
Tiap kali menjelang pilkada, PNS, terus terang, apalagi di Pulau Nias, mengalami tekanan psikologis, utamanya dari petahana. Mengapa? Karena bagi petahana, PNS sebenarnya telah dianggap sebagai bagian dari kekuatan elektoral pasti, yang diharapkan akan memberikan suara gratis bagi petahana. PNS daerah dijadikan sebagai lumbung suara yang loyal untuk “mendukung” kepemimpinan petahana selama ini dan untuk menyapu bersih perolehan suara.
Petahana umumnya menyeret PNS ke dalam kompetisi yang berlangsung, dengan berbagai cara. Pertama, ada yang dipaksa terlibat secara langsung mendukung kandidat tertentu. Mereka umumnya adalah para penentu kebijakan di level terdepan. Banyak kasus pilkada membuktikan bahwa para camat dan aparatur kecamatan sampai desa, dimanfaatkan untuk memberikan dukungan kepada petahana. Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang lalu menyisakan kisah-kisah ini. Ada camat yang mengumpulkan kepala desa, lalu kemudian menghadirkan tim sukses dari parpol tertentu yang identik dengan afiliasi kepala daerah yang sedang menjabat. Ancamannya amat sederhana: melaksanakan tugas tersebut, atau dicopot. Bahkan, para aparatur desa dan kecamatan justru diminta melaksanakan kampanye tertentu untuk mendukung petahana.
Dukungan langsung ini bisa juga bisa dilihat dari kehadiran PNS tertentu di dalam acara-acara politik, padahal sesungguhnya dilarang. Para PNS membawa atribut sebagai PNS entah itu pakaian atau kendaraan, karena demikianlah perintah yang mereka terima dari “atas”.
Kedua, ada yang diminta untuk mendukung petahana. Ini sifatnya tidak langsung. Posisi ini biasanya dimainkan melalui Kepala Dinas/ Instansi tertentu. Para SKPD ini diminta untuk menghasilkan kebijakan populis yang kemudian menciptakan kesan positif tentang figur petahana. Mereka diminta menelorkan program-program karikatif yang biasanya berisi program penuh pencitraan dari Kepala Daerah yang sedang menjabat. Dengan adanya program spektakuler, petahana akan diuntungkan sehingga bisa hadir lebih sering, lebih banyak dan lebih masif.
Ketiga, ada yang diminta untuk memberikan dukungan penuh dengan cara tidak mendukung kandidat lainnya. Hal ini biasanya tidak serta merta terlihat. Tetapi tim sukses petahana biasanya menyebar menjadi telik sandi, memberikan informasi kepada petahana. Setidaknya dengan cara tidak terlibat saja, informasi dari dalam tidak akan menyebarluas kepada para kandidat lawan petahana.
Keempat, yang juga sering tidak diketahui adalah dukungan “sembako” politik untuk petahana. Jabatan, posisi, bahkan jenjang karier sering sekali dijadikan alasan oleh petahana melakukan tekanan kepada mereka yang berada pada posisi tertentu. Maka tanpa sungkan, ada petahana yang meminta dukungan berupa uang atau materi kampanye dari bawahannya. Ini dilakukan dengan berbagai macam cara, baik itu secara langsung, atau dengan menggunakan dana taktis yang disedot dari kegiatan yang di setiap instansi.
Modus operandi di ataslah yang saya sebut tadi sebagai penyebab meningkatnya tekanan psikologis kepada PNS menjelang pilkada Desember nanti. Aroma tekanan ini sebenarnya dapat kita lihat dari curahan hati beberapa PNS di media sosial. Sayangnya, curahan hati ini tidak pernah bisa sampai ke pusat.
Memang, pemerintah telah melarang PNS terlibat di dalam kegiatan politik dengan cara apa pun. Tetapi apakah pemerintah pusat tahu dan dapat mengambil tindakan kepada PNS yang berada dalam tekanan psikologis seperti di atas? Sejatinya tidak mungkin. Konfigurasi politik nasional kita belum sampai pada pembelaan kasus-kasus PNS sebagaimana saya ceritakan di atas. Pemerintah pusat juga hanya menyebarkan ancaman psikologis, tetapi di level daerah, petahana menyebarkan teror dan berbagai ancaman kepada PNS yang ada di daerah yang bobot dan efeknya jauh lebih menggetarkan mental.
Petahana memang bisa menjadi momok ala Orde Baru. Selama 32 tahun, Orde Baru menjadikan mesin PNS sebagai alat untuk mendapatkan perolehan suara secara bersih. Sebanyak lima juta PNS setiap kali pemilu saat itu diarahkan untuk memberikan pilihan kepada penguasa, dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, di antaranya kesetiaan kepada penguasa, sebagai tanda berterima kasih kepada pemerintah, dan berbagai argumentasi lainnya. Untuk memantapkan dukungan itu, para PNS kemudian diorganisasikan melalui institusi Korpri yang ujung-ujungnya menjadi mesin politik Orde Baru selama tiga dekade.
Model loyalitas buta inilah yang kini ditiru oleh para petahana yang bersikap kurang bijaksana. Mereka masih merasa bahwa kompetisi ini adalah kompetisi yang harus mereka menangi dengan adanya dukungan dari PNS lokal yang kebetulan berada di bawah kendali mereka. Padahal, struktur birokrasi adalah mesin pemutar roda pemerintahan yang seharusnya bebas intervensi dan bebas tekanan psikologis.
Ini adalah fenomena yang kita pandang dengan penuh keprihatinan jika kejadian demikian masih terjadi secara masif. Model petahana yang menciptakan teror kepada para PNS adalah salah satu cara untuk menentukan pilihan pada Pilkada Desember nanti.