Oleh Pastor Postinus Gulö, OSC
Tahun ini merupakan kali ketiga saya merayakan Natal di Roma, Italia. Dalam suasana yang jauh berbeda, saya tetap merindukan perayaan Natal pada masa kecil saya di kampung Dangagari, Nias Barat.
Saya alami suasana Natal pada masa kecil cukup membentuk dan menanamkan nilai-nilai iman Kristiani dalam hidup kami. Menjelang Natal, kami sekeluarga saling mengaku dosa. Biasanya Ibu yang memimpin doa bersama. Ayah-ibu menyampaikan harapan-harapannya kepada kami anak-anaknya. Tidak lupa, mereka juga meminta maaf dan memaafkan kami. Begitu pula kami anak-anak, meminta maaf dan memaafkan orangtua serta membuat komitmen untuk menjadi anak-anak yang membangun relasi baik dan benar dengan keluarga, sesama, dan Allah.
Apa Makna Natal Kini?
Kini, setiap kali Natal tiba, sangat kuat nuansa selebrasi. Hiasan dan ornamen mewah terlihat memikat di sejumlah kota. Gemerlap! Bahkan, politisasi dan bisnis Natal pun dipertontonkan. Apakah seperti itu cara memaknai Natal? Tidak! Natal adalah peristiwa kelahiran Yesus di kandang. Di tempat yang sangat sederhana. Apa arti sederhana? Sederhana lebih pada makna ketulusan, hati yang bersih, mau rendah hati, tidak disibukkan oleh kemewahan duniawi. Melalui Natal kita merenungkan Allah bersama manusia. Ia yang adalah Tuhan merendahkan Diri, mengambil rupa manusia. Dalam Injil Yohanes, kita mengetahui bahwa Yesus memberi kesaksian atas diri-Nya sendiri: “Aku adalah Terang Dunia” atau dalam bahasa Latin: “Ego sum lux mundi” (Yohanes 8:12).
Maka, Natal bisa lebih bermakna dalam hidup kita, jika kita sungguh-sungguh mempersiapkan diri “menerima dan menyambut” kelahiran Yesus dengan hati dan pikiran yang bersih. Jiwa raga kita telah dan sungguh-sungguh sadar untuk bertobat agar Dia layak lahir dalam palungan hati kita. Merayakan Natal berarti kita menyambut sang Terang. Lalu kita juga berjuang menjadi “terang” bagi diri sendiri dan sesama kita. Kita tidak membiarkan kuasa gelap menguasai hidup kita.
Paus Benediktus XVI menjelaskan, terang sangat terkait dengan kebenaran dan kasih. Ia menyatakan dalam Ensiklik Caritas in Veritate no.3: “Truth is the light that gives meaning and value to charity. That light is both the light of reason and the light of faith, through which the intellect attains to the natural and supernatural truth of charity: it grasps its meaning as gift, acceptance, and communion” (Kebenaran adalah terang yang memberikan arti dan nilai kepada kasih. Terang itu adalah terang akal dan terang iman, yang melaluinya akal budi mencapai kebenaran kodrat dan kebenaran supernatural dari kasih: yang mencakup karunia pemberian, penerimaan, dan persekutuan). Kita akan menjadi “terang” bagi siapa pun jika kita setia melaksanakan kebenaran dan menghidupi kasih yang tak berkesudahan. Kebenaran itu adalah Kasih (Efesus 4:15). Hanya orang yang berjalan dalam kebenaran yang memiliki kasih.
Di perikop lain dalam Injil Yohanes, semakin lengkap pemahaman kita tentang Yesus: “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yohanes 14:6). Kita sudah mengimani Yesus jika kita berjuang seperti Dia. Memaafkan siapa pun menjadi jalan bagi kita memelihara “hidup” yang mewujudkan persaudaraan dan kerukunan. Itu sebabnya, kini saya sangat bersyukur bahwa orangtua kami menanamkan dalam diri kami kesetiaan memaafkan itu.
Itu sebabnya, kini saya sangat bersyukur bahwa orangtua kami menanamkan dalam diri kami kesetiaan memaafkan itu.
Peristiwa Natal sesungguhnya tradisi iman gereja. Maka, sangat aneh jika kita merayakan Natal dengan memutus kontinuitas tradisi iman itu. Masa Adven (4 minggu) sebelum Natal tiba merupakan landasan kontinuitas tradisi iman itu. Hanya, ternyata, banyak denominasi pengikut Kristus yang telah merayakan Natal pada masa Adven, pada masa penantian dan persiapan. Mengamati fenomena semacam ini saya ingat konsep beriman dalam bahasa Latin.
Pertama, fides qua creditur: tampilan beragama. Menurut konsep ini, yang penting hal-hal yang terlihat dan khotbah yang berapi-api. Padahal, ini bisa menjadi “topeng” yang mengelabui mata. Bahkan, khotbah bisa menjadi alat provokasi menyebar kebencian. Konsep ini lebih cenderung pada iman yang subyektif, tanpa memahami isi apa yang diimani. Konsep inilah secara sadar atau tak sadar dianut oleh mereka yang selalu meributkan dan memolitisasi Natal. Hal itu tampak dalam perayaan “Natal Monas”. Dalam konteks Natal, barangkali merayakan Natal tanpa memahami isi dan pesan Natal itu sendiri. Akibatnya, Natal dirayakan menurut tafsiran bebas yang subyektif. Ini kurang tepat! Maka masuk akal jika ada keterputusan kontinuitas tradisi iman gereja.
Kedua, fides quae creditur: isi iman yang obyektif. Beriman tidak hanya menekankan perayaan, tetapi juga pembersihan hati, pertobatan, dan kesediaan merendahkan diri untuk memaafkan serta meminta maaf: jika engkau menyampaikan persembahanmu, tetapi engkau ingat sesamamu yang berkonflik dengamu; tinggalkan persembahannmu itu dan pergi berdamai dahulu dengan dia, lalu persembahkan persembahanmu di depan mezbah (bdk. Matius 5: 24). Lihat, hati yang bersih lebih penting daripada persembahan! Natal menjadi berarti jika kita mempersiapkan diri menyambut-Nya dengan hati yang bersih, sederhana, rendah hati, dan penuh pertobatan.
Kita Belajar dari Orang Majus
Ada hal yang menarik dari kisah orang Majus dari Timur dalam bacaan Injil Matius 2. Sebelum orang-orang Majus berangkat melihat bayi Yesus, Raja Herodes telah berpesan agar segera setelah mereka melihat bayi Yesus, mereka mesti memberi tahu dia tempat Yesus dilahirkan. Karena Herodes berkata: aku pun mau menyembah-Nya (akan tetapi sebenarnya Herodes mau mencelakakan bayi Yesus itu). Apa yang terjadi? Orang Majus tidak kembali ke Herodes, mereka pulang dengan “jalan lain” (Matius 2). Orang Majus pun tidak hanya sekadar memberi persembahan, tetapi ikut menjaga bayi Yesus.
Sangatlah menarik makna 3 persembahan orang Majus ini menurut Santo Ireneus: Pertama, emas merupakan simbol keutamaan; Kedua, kemenyan sebagai simbol doa; dan ketiga, mur sebagai simbol penderitaan. Yesus sebagai Raja, hidup dalam keutamaan, Dia sebagai imam selalu setia berdoa, dan dalam penderitaan Yesus tak pernah meninggalkan Bapa-Nya. Merayakan Natal berarti kita kembali pada jati diri kita: setia hidup dalam keutamaan Kristiani, hidup doa dan tetap setia beriman walau dalam penderitaan.
Selamat Natal.
Ya’ahowu Wanunu Fandru.
Roma, 23 Desember 2017