Hampir 10 tahun saya tidak menginjakkan kaki di Pulau Nias, tempat kelahiran saya. Dalam benak saya selama ini, Nias sudah sangat sangat maju. Mengapa? Bukankah kepala daerah yang memimpin Nias selama ini adalah orang-orang hebat dalam memimpin? Seyogianya, Pulau Nias pasti sudah sangat maju. Ini hanya sekadar uneg-uneg untuk daerah tercinta saja.
Akan tetapi, apa yang saya bayangkan, kala berkesempatan datang ke Nias, tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak kemajuan, tetapi untuk diri sendiri bukan untuk rakyat.
Pada Oktober lalu, kebetulan anak saya diundang bernyanyi untuk acara Yubilium. Yang saya lihat, kondisi Pulau Nias-ku sangat memilukan dan memprihatinkan. Dimulai dari bandara yang masih terkesan amburadul. Pelayanan yang kurang prima.
Sepanjang jalan menuju Kota Gunungsitoli saya melihat lingkungan tidak bersih dan semrawut. Pot bunga yang terbuat dari semen di kanan-kiri jalan di sepanjang jalan dari Pelud Binaka menuju Simpang Miga terlihat tidak terawat. Bunga pucuk merah tertutup rumput-rumput liar. Sama sekali tidak dirawat. Memasuki Kota Gunungsitoli. Sama saja kondisinya. Tata kota sangat amburadul.
Kondisi ini seperti kota yang tidak memiliki kepala daerah. Padahal, di Kota Gunungsitoli berdiam dua pemimpin, yakni Bupati Nias dan Wali Kota Gunungsitoli.
Saya bandingkan dengan Ambon, yang pada bulan yang sama juga saya kunjungi, sangat jauh berbeda. Ambon sangat nyaman, bersih, dan kotanya tertata rapi.
Jalannya terlihat bersih dan kanan kirinya asri serta tertata rapi. Orang yang saya temui juga ramah-ramah, termasuk dengan sesama orang daerah mereka sendiri. Pemimpinnya pun ramah, low profile.
Di Nias, saya bertemu dengan beberapa kepala daerah. Waduh, arogannya minta ampun. Mereka bertemu dengan masyarakat saja jangankan menyapa, melirik pun tidak. Mereka hanya ramah dengan sesama pejabat. Ramah dengan orang-orang yang bisa menguntungkan buat mereka.
Satu hal lagi, kepala daerah yang sempat bertemu yang pada saat itu, jauh dari kepedulian kepada generasi penerus yang berprestasi. Pantesan anak-anak Nias yang berhasil dan berprestasi di luar Nias tidak dijangkau Nias karena pemimpinnya sama sekali tidak peduli.
Jika tidak menghasilkan keuntungan bagi pribadi mereka, sudah pasti tidak dipedulikan. Namun, orang-orang yang dianggap bisa menghasilkan untuk pribadinya mereka akan service habis-habisan.
Semua yang dilakukan selalu berbau unsur politik. Budaya sanjung-menyanjung itu masih ada. Kita masyarakat Nias jika sudah disanjung, disambut, dihormati dibuai-buai dengan kata-kata manis pasti terlena dan menganggap orang yang menyanjung, menyambut, dan menghormati kita itu adalah orang baik dan sudah seharusnya kita pilih. Memilih dengan tidak rasional.
Ada satu peristiwa yang sangat menggelikan pada saat saya ke Nias. Tiba-tiba ada seseorang yang memperkenalkan anak saya kepada salah satu pemimpin daerah yang kebetulan memimpin di daerah di mana suami saya berasal.
“Pak, anak kita ini aset daerah Bapak, kecil-kecil sudah berprestasi di ajang Nasional.” Sungguh di luar dugaan jawaban kepala daerah tersebut, “Tapi dia kan bukan utusan Nias, bukan utusan Sumut.” Hello…..
Hmm… walaupun anak saya bukan utusan Nias, tetapi tetap saja anak saya adalah putra Nias menyandang marga Nias dan di mana pun sebagai utusan siapa pun dia, yang pertama sekali ditanyakan pasti dia berasal dari mana? Ya, pastilah dari Nias. Niasnya di mana? Ya, pastilah daerah di tempat bapak memimpin. :p
Berkaitan dengan pilkada saat ini, hati saya pun teriris sedih. Melihat profil para calon, menurut saya, tidak ada yang berkualitas. Semuanya bercuap-cuap, sesuai dengan tulisan yang sudah disusun rapi jauh-jauh hari. Mereka menarik hati masyarakat hanya dengan kata-kata manis.
Sangat disayangkan, mereka tidak mempergunakan waktu kampanye yang ada dengan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Walau waktu singkat, tetapi hasilnya dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam waktu yang lama.
Saya sama sekali tidak melihat calon yang low profile. Kebanyakan arogansi yang ditonjolkan. Begitu juga kebanyakan masyarakat pemilih. Mereka memilih dengan menonjolkan arogansinya. Di benak para tim sukses tersebtu tak lebih: “Ini saudara saya, yang saya pilih lulusan ini, dia kata-katanya bagus, calonnya itu adalah teman dekat saya dan terutama saya pilih dia karena saya adalah tim suksesnya dan jika nanti dia terpilih kesempatan saya untuk meraup keuntungan di Nias semakin besar”. (Ade Ribkah Zagötö, Ibu Rumah Tangga, Wiraswasta, Tinggal di Kompleks Aralia Blok HY 30-31 Harapan Indah Bekasi, Jawa Barat)