Home Featured Menerima Hasil Pilkada dengan Perspektif Yubilium

Menerima Hasil Pilkada dengan Perspektif Yubilium

0
Menerima Hasil Pilkada dengan Perspektif Yubilium
Logo perayaan Yubelium. --Foto: https://odigulo.files.wordpress.com

Oleh Abineri Gulö

Terprovokasi sebuah percakapan ringan saya dengan seorang teman, beberapa waktu lalu, dalam sebuah pertemuan yang membahas tentang persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015 di Medan. Namun, sempat-sempatnya sharing tentang perayaan Yubilium. Apa itu Yubilium dan apa kaitannya dengan Pilkada? Wah, menjawabnya rumit, complicated. Namun, tiba-tiba saja pertemuan singkat di dekat meja coffee break Hotel Novotel Soechi, Medan, tersebut larut membicarakan tentang perayaan Yubilium di Nias.

Dari percakapan 15 menit itu, penulis bertindak sebagai pendengar setia bahkan semula kurang menaruh minat, barangkali karena penulis sudah terseret dalam ‘dunianya’ sehingga butuh waktu yang lama untuk konek dengan urusan surgawi sebagaimana topik lawan bicara. Namun, aura antusiasmenya tentang hal ini perlahan menarik perhatian saya dan satu orang lagi rekan penyelenggara pemilu ikut nimbrung dalam diskusi out of box itu.

Dia bertanya “apa Yubilium yang dirayakan sudah benar”? Hal mana bahwa Yubilium sudah memberi pengaruh terhadap penyelesaian persoalan keumatan, sosial kemasyarakatan, bahkan urusan politik? Tidak bermaksud menggurui, Yubilium menurut kawan ini menjelaskan bahwa “peringatan masuknya kabar baik (injil) kabar keselamatan kepada orang-orang Nias”.

Lanjutnya, bahwa tak terbantahkan pula gereja sudah banyak menghasilkan buah pelayanan. Telah mengubah kegelapan Nias dari pemercaya roh nenek moyang (malaika zatua) kepada Tuhan yang Esa.

Namun, fakta yang ia sesali bahwa gereja mainstreaming di Nias belum berani melepaskan masa lalunya. Masih menikmati persengketaanya. Wah, saya kaget persengketaan apa pula tanyaku?

Dengan suara yang ngebas, sahabat saya ini berkata, Anda jangan pura-pura tidak melihat dan tidak tahu? Saya semakin kikuk dan tidak bisa memberi respons. Beliau katakan bahwa masih terdapat oknum imam-imam gereja kita gagal memaknai kebesaran kasih Allah yang mendamaikan kita dengan diri-Nya. Disertai permohonan maaf, sahabat saya ini katakan bahwa para pemimpin umat gagal menjalankan apa yang dikhotbahkan.

Kabar pengampunan yang disiarkan di mimbar gereja lebih banyak tidak mendarat dan tidak dihidupi sebagaimana yang dikhotbahkan. Dia menutup percakapan itu dengan sebuah kalimat, “Anda cari tahu sendiri bahwa dua lembaga gereja besar yang kita banggakan di Nias (sambil mengelus dadanya dan berkata: termasuk gereja di mana saya bernaung) hingga saat ini belum bersedia berdamai satu dengan yang lain karena alasan aset”.

Bagi penulis sendiri kurang merasa kompeten dan lagi jangankan membicarakan mendengar saja persengketaan wilayah ‘rohani’ setidaknya ada kekikukan yang amat besar. Karena demikian empiris masa kini penulis larut membicarakan, mengalami, dan menyelesaikan sengketa  secara ‘duniawi’ di lembaga KPU sebagai kelas pengabdian sementara.

Namun, empati penulis terhadap isu ini tidak bisa dimungkiri bahwa penulis memiliki derajat kerinduan yang tinggi bahkan berdoa secara  aktif jika suatu hari ‘sengketa jalur Ghaza di Nias’ seperti maksud rekan sepercakapan pada pengantar terdahulu bahwa sudah saatnya dan inilah waktunya sengketa itu diakhiri dan diselesaikan tanpa prasyarat-prasyarat. Sebagaimana semangat para misionaris dari benua Eropa live in, menaklukkan tantangan dan tidak hitung-hitungan materi, aset bahkan nyawa sekalipun demi membawa kabar baik di bumi Nias.

Tidak Ada Hubungan Pilkada dengan Yubilium

Penting untuk dikemukakan di sini bahwa kekhususan Yubilium sebagai perayaan rohani tidak dapat dikaitkan, dihubungkan, apalagi mau disetarakan dengan pesta pilkada. Sebagaimana diketahui bahwa pilkada berorientasi pada usaha dan perjuangan meraih kekuasaan politik pemerintahan.

Sementara Yubilium adalah arena rohani mengenang pengorbanan para pahlawan iman yang tanpa lelah berjuang melawan kuasa santet, bekhu (makhluk gaib), fakelemusa (sihir atau ilmu hitam), dan berbagai kepercayaan terhadap kuasa kegelapan orang Nias pada tahun sebelum 1865.

Tahun ini genap 150 tahun tuan Denninger datang ke Nias bersama keluarganya menawarkan sebuah kepercayaan baru, yakni Injil (kabar baik), sebuah paket tanpa syarat beroleh pengampunan dari Tuhan Yesus Kristus yang kepadanya telah diberikan kuasa di bumi dan di surga. Inilah yang menjadi alasan utama penulis tergerak beropini melihat perhelatan perayaan Yubilium 150 tahun ini yang puncaknya dirayakan pada 27 September setiap tahun hingga sepanjang minggu Oktober.

Kegenapan 150 Tahun Yubilium Tahun 2015 ini pula bertepatan dengan musim kampanye Pilkada yang mana para calon menawarkan ‘kabar baik’ kepada umat peraya Yubilium sekalian sebagai calon pemilih pada Pilkada 9 Desember 2015. Sampai disini pun secara epistemologi dan kekhususan makna Yubilium tetap tidak dapat beririsan langsung dengan pilkada.

Menjaga Kekhusukan Perayaan Yubilium dari ‘Ragi’ Pilkada

Terakhir ini perayaan peringatan 150 tahun injil di bumi Nias sangat semarak. Dari yang paling umum hingga yang cukup unik dilaksanakan sebagai ekspresi kegembiraan rohani. Sebagai contoh, misalnya, BNKP menggelar lomba maena (tari tradisional Nias) antarjemaat dan distrik, lomba koor, dan vocal group.

Selanjutnya GNKP-Indonesia, misalnya, menggelar sebuah acara yang tidak biasa dengan nama kegiatan Tapak Tilas Mengenang Perjalanan Ludwig Ernst Denninger dan misionaris lainnya, yang diutus oleh badan Misi RMG, Jerman, membawa berita Injil di Tanö Niha.

Pada kegiatan ini rombongan jemaat melaksanakan karnaval rohani dengan berjalan kaki dari Luaha Sungai Nou-Jalan Gomo-Jl RSUD hingga menuju rumah bersejarah, yakni Salawa Yawa Duha di Hilina’a.  Hal itu dimaksudkan sebagai refleksi dalam mendekatkan dan mengalami jejak-jejak Misionaris Deninger dalam safari perdana pelayananya di Tanö Niha.

Baca juga:  Pemkab Nias Barat Latih Aparat Desa Buat Peraturan Desa

Yang menarik, acara puncak kegiatan ini ditandai dengan peletakan batu pertama Pendirian Monumen Baptisan Pertama di Nias, di Desa Hilina’a. Sebanyak 25 orang pertama Nias menerima baptisan pada kebaktian Paskah, 5 April 1874 di Hilina’a Gunungsitoli. Pembaptisan ini dilaksanakan oleh Denninger terhadap 12 orang dan oleh Kramer 13 orang.

Selain itu, pada perayaan 150 Tahun Yubilium kali ini yang lebih menggembirakan dan patut diapresiasi dengan memberi pujian terhadap kegiatan peluncuran buku sejarah Salib dan Adu karya Tuhoni Telaumbanua dan Hummel. Kedua penulis adalah Pendeta mengenal Nias, mencintai budaya Nias, dan memiliki ketertarikan yang tinggi akan pemajuan peradaban Nias.  Belum sempat memiliki buku tersebut, tetapi sempat membaca resumenya pada status Facebook sang penulis, Dr. Tuhoni Telaumbanua.

Satu sub-pembabakan yang menarik perhatian saya tepatnya pada pokok pembahasan kelima, yakni “Perspektif Gereja Yang Hadir, Bergumul dalam Konteks dan Melakukan Transformasi”.

Tidak bermaksud sok tahu, setidaknya masih mungkin diberi koreksi oleh Tuhoni, jika penulis keliru memaknainya. Bahwa harapan dan cita-cita Tuhoni Telaumbanua sebagai anak Nias yang diberi kecakapan, karunia dan talenta menulis (teks) sejarah Nias, dipastikan bahwa salib menawarkan solusi yang berkuasa atas  berbagai lini (konteks) pergumulan multidimensi yang ada di Tanö Niha.

Gagasan Dr Tuhoni bahwa gereja yang berkarya dalam konteks menggarami dan memberi rasa terhadap berbagai kehidupan sosial keumatan, termasuk politik, sudah saatnya kualitas gagasan dan landasan moral etik dalam menghelat politik dan pemerintahan patut dipertimbangkan sebagai salah satu sumber hukum positif.  

Barangkali ini pula yang menjadi daya tarik para sebagian pasangan calon (Nias Barat dan Nias Utara), beberapa waktu lalu, beraudiens dengan Tuhoni selaku Pimpinan Tertinggi BNKP.  Berguru kepada para pendeta dan para pemuka agama dalam menggali pikiran-pikiran untuk di ejawantahkan merupakan sesuatu yang mulia.

Pertanyaannya, apakah para oknum pasangan calon yang supraaktif di musim pilkada murni untuk berguru dan meminta nasihat? Atau jangan-jangan  tersadarkan secara terpaksa bahwa mereka membutuhkan dukungan?

Hal ini yang harus diwaspadai agar tidak menjadi ragi yang mencemarkan lembaga-lembaga keagamaan yang konon dalam praktiknya tidak jarang hanya sebatas dijadikan alat meraih suara semata.

Lebih kritis lagi bahwa gereja hari ini harus menalar ulang kebiasaan sebagian kecil panitia-panitia pembangunan gereja, panitia paskah, panitia natal (sepertinya: panitia Yubilium juga) di beberapa tempat secara pragmatis disadari atau tidak, disengaja atau tidak, menyandera acara rohani ini seumpama pasar bebas pilkada. Semoga saja kelak gereja tidak diprasangkan sebagai penambah beban para calon pemimpin pemerintahan.

Bisa dibayangkan jika para calon kepala daerah sudah habis-habisan pada masa kampanye dengan beban Janji Iman (sumbangan) sana-sini. Kelak dia terpilih dalam keadaan pailit dan terlilit utang. Lalu apakah pemimpin dimaksud yang bisa kita yakini membawa perubahan bagi daerah kita. Atau jangan-jangan calon pemimpin yang dilahirkan dari rahim gereja bukan penghuni ‘surga’ berubah menjadi calon penghuni ‘neraka’?

Kita mengikuti di media sosial ‘empati’ peserta pilkada membela-belai untuk datang pada perayaan Yubilium di gereja-gereja sekalipun di wilayah terisolasi. Konon lagi bahwa para pasangan juga tidak datang begitu saja, tetapi menunjukkan kerohanian yang bertumbuh dengan memberikan persembahan kepada Tuhan melalui panitia sembari meminta dukungan doa jemaat. Selanjutnya persembahan yang tadinya diberikan kepada Tuhan dan tidak seyogianya diketahui oleh ‘jemaat’ pada umumnya sesuai landasan dan prinsip teologis mengenai persembahan.

Namun, fakta kebanyakan adalah justru hal ini diumumkan menggunakan pengeras suara jumlah sumbangan-sumbangan para pasangan calon ini. Hal ini patut diwaspadai agar gereja-gereja dan lembaga-lembaga keagamaan sebagai sumber suara kenabian yang dinanti suara kesejukannya dalam mempersatukan keterbelahan masyarakat (jemaat) akibat gesekan pilkada.

Pada musim perayaan Yubilium ini berita tentang kabar baik menjadi terekspresi secara khusuk jika tidak dibebani dengan muatan-muatan duniawi dengan urusan pilkada dengan praharanya.

Apabila berkenan semoga dapat dipahami bahwa yang dibutuhkan dan urgen dilakukan adalah keberanian lembaga-lembaga keagamaan (gereja) menunjukkan dan melakoni cara mendamaikan dirinya gereja  tetangga sebagai institusi yang sama-sama menjadi ahli waris karakter Allah yang telah sedang dan akan mendamaikan dirinya dengan manusia berdosa tanpa syarat.

Tindakan-tindakan spontanitas melepaskan pengampunan dinanti-nanti oleh dunia. Siapa tahu dengan itu, atmosfer ampun-mengampuni sebagaimana inti pemberitaan Yubilium, ekspansi pada wilayah sosial masyarakat hingga pesta pilkada yang digelar 9 Desember Tahun 2015 mendatang. Para calon kepala daerah, tim kampanye dan simpatisan tertularkan suasana batin dan sedia menerima hasil pilkada dengan perspektif Yubilium: terpilih tidak terpilih tetap disyukuri.

Semoga pilkada di kepulauan Nias terlaksana dengan damai dan berdamai di bumi Nias, alpa dari persengketaan di lembaga pengadilan Mahkamah Konstitusi. Semoga saja.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.