Oleh Fotarisman Zaluchu
Saat saya bertanya kepada seseorang anak muda laki-laki, yang berkacamata, berwajah imut, “Berapa usiamu, dek?” “Dua puluh empat,” jawabnya kepada saya. Namanya Fathiro. Ia hendak ke Belanda, mengambil magister ke sana.
“Kalau adek?” tanya saya penasaran kepada seorang perempuan muda yang berada di seberang saya. “Saya? Saya Susan. Saya usianya 25. Mau ambil S-3 jurusan kuantum kimia di Australia,” jawabnya.
Saya terperanjat? 25 tahun sudah ambil doktor? Saya semakin penasaran. Saya lalu mencoba menelusuri wajah-wajah yang ada di situ. Masih sangat muda. Sebagian besar yang saya tanyai ternyata usianya di bawah 35 tahun saat memulai studinya. Bahkan, tidak sedikit yang di bawah 30 tahun. Luar biasa. Saya, di usia 38 tahun, baru memulai mengambil studi doktor. Sungguh sebuah perbedaan yang luar biasa. Dalam perkiraan saya, dari ratusan peserta di kala itu, hanya ada kurang dari 10 orang yang berwajah dan berumur tua seperti saya.
Itu kejadian sekitar dua tahun yang lalu, saat kami semua sedang berada dalam pembekalan karena menerima beasiswa yang sama, yaitu beasiswa dari Pemerintah Indonesia. Nama beasiswanya dari LPDP. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan itu adalah beasiswa luncuran baru dari pemerintah yang saat itu baru dibuka.
Saya bersama dengan orang-orang yang saya sebut di atas adalah angkatan kedua. Sampai saat ini, ribuan orang sudah dikirimkan dengan beasiswa yang sama. Sebagian besar adalah mereka berusia belia. Beasiswa LPDP kini menjadi beasiswa yang banyak diminati oleh banyak warga negara Indonesia jika ingin bersekolah ke luar negeri. Salah satu keuntungannya adalah karena universitas yang dituju harus berada dalam Top 200 universitas beken di seluruh dunia.
Yang menjadi poin saya adalah bahwa sekarang ini terjadi pergeseran animo bersekolah yang amat tinggi. Gejala ini sesungguhnya sudah terjadi beberapa tahun belakangan ini. Sewaktu beberapa tahun yang lalu saya mempersiapkan diri di sebuah lembaga kursus di Medan, saya melihat dengan mata kepala sendiri, anak-anak SD yang mungil-mungil, menyandang tasnya, masuk ke dalam gedung diantar orangtuanya. Tujuan mereka: les bahasa Inggris. Luar biasa! Dari usia kecil sudah mulai belajar bahasa asing.
Maka tidak heran juga berbagai lembaga bahasa bermunculan dan mendapatkan konsumen yang semakin banyak. Bahkan, saya mengirimkan anak saya yang masih berusia 2 tahun ke playgroup yang menyediakan tiga bahasa sekaligus: Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, dan Bahasa Indonesia. Luar biasa. Begitu mudahnya sekarang mendapatkan tempat belajar. Semua orang tua saat ini ingin sekali supaya anaknya paham berbahasa Inggris.
Modal Utama
Bahasa memang merupakan modal besar untuk bisa bersekolah tinggi-tinggi, termasuk ke luar negeri. Penguasaan atas bahasa menyebabkan seseorang bisa lebih percaya diri dan dianggap layak untuk memasuki sebuah kampus, termasuk di luar negeri sekalipun.
Banyak orang yang saya jumpai bukan kurang pintar. Mereka juga luar biasa bagus akademiknya. Akan tetapi, kebanyakan tidak percaya diri ketika kemudian kita meminta mereka berbahasa Inggris.
Saya adalah produk pendidikan di Pulau Nias puluan tahun yang lalu. Saya masih ingat jika Bahasa Inggris itu baru dipelajari di SMP, bukan sejak di SD seperti sekarang ini. Di sana, guru kami mengajar kami dengan cara menghafal. Setiap masuk kelas, kami disuruh menghafal kosa kata bahasa Inggris. Yang tidak tahu atau kurang hafal disuruh berdiri di depan kelas. Praktis, tiga tingkat di SMP, bahasa Inggris saya amat jauh dari memadai.
Di SMA, persoalannya juga tetap sama. Metode belajar dengan menghafal grammar membuat konsentrasi hanya melulu pada tata bahasa itu. Guru kami saat itu pun mengajar menggunakan tuntutan buku. Begitu saja. Hafal-hafalan pun terjadi lagi. Kekakuan pun sama saja berulang lagi.
Kami pun berbicara tidak percaya diri karena teman suka menyalahkan jika kita salah berbicara. Bahkan, berbicara bahasa Inggris pun sering diledek oleh sesama teman. Praktis, modal berbahasa sejak SMP dan SMA pun hampir bisa dikatakan tidak ada.
Saya mencoba mengingat itu untuk mencoba menggugah semangat berbahasa asing untuk anak-anak sekolah di Pulau Nias. Peluang untuk maju sesungguhnya sangat besar. Begitu banyak beasiswa tersedia untuk menolong orang-orang pintar bisa menyalurkan kemampuannya. Bahkan, LPDP pun menjadikan Pulau Nias sebagai salah satu daerah penyaluran beasiswa afirmasi LPDP (Bisa lihat tautan ini: Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Artinya mereka yang berasal dari daerah itu akan dikenakan seleksi khusus. Termasuk bahasa. Calon pelamar tidak harus memiliki skor TOEFL atau IETLS tinggi. Asal seleksi berkas dan berpotensi, pasti akan lolos.
Tertinggalnya kita dibuktikan dari minimnya orang Nias yang menempuh pendidikan tinggi sampai ke luar negeri. Ada satu-dua, tetapi belum menjadi gelombang besar untuk bisa kita jadikan rujukan. Padahal, kalau kita bandingkan dengan suku lain, mereka berlomba-lomba dan bersemangat bersekolah tinggi. Bukan karena mereka punya uang, melainkan karena tahu bahwa ada banyak beasiswa tersedia dan persiapan bahasa sejak dini akan sangat menguntungkan. Itulah fakta yang tidak bisa dibantah: kita tak bisa lagi hanya menguasai bahasa kita.
Kurang Aplikatif
Persoalan besar kita adalah pada pengelolaan pendidikan bahasa Inggris yang kurang aplikatif. Entah sekarang. Akan tetapi, kenangan belajar bahasa Inggris di tingkat SMP dan SMA membuat saya merasa tidak punya apa-apa. Guru tidak merangsang saya untuk belajar dan menyukai bahasa Inggris. Sehingga bahasa Inggris pun menjadi beban.
Coba kita tanya kepada anak-anak didik di Nias, apakah mereka menikmati belajar bahasa Inggris atau tidak? Setahu saya, bukannya menggunakan teknik yang enak dan mudah dimengerti, guru di dalam penyampaian pelajaran sering menggunakan metode menghafal. Bahkan, cara menyampaikannya juga amat jauh dari menjadikan peserta didik mencintai bahasa asing yang jelas sangat asing di lidahnya ini.
Inilah yang harus menjadi salah satu pekerjaan besar dalam bidang pendidikan di Pulau Nias. Kita punya mimpi menjadikan Nias terkenal. Maju dan terbuka terhadap dunia luar. Akan tetapi, jika kesempatan maju itu kemudian tidak kita raih, kemajuan dan prestasi hanya akan menjadi milik orang lain.
Pimpinan daerah harusnya menanggapi ini dengan mencoba mempersiapkan sosok-sosok muda dan energik sejak sekarang. Tanpa bermaksud menggurui, Dinas Pendidikan bisa melakukan seleksi di seluruh sekolah. Lalu kemudian dipilih sekitar 50 orang untuk dididik secara intensif dalam soal bahasa. Mereka diberikan pilihan sehingga tidak jadi paksaan. Lalu kepada mereka sebaiknya diberikan kelas-kelas khusus belajar bahasa dengan guru yang direkrut khusus. Mereka harus menguasai bahasa Inggris dengan baik dan dalam waktu setahun misalnya, mereka diminta untuk mencapai performa tertentu.
Pada saat yang sama, pemerintah daerah mengajak kalangan yang sudah pernah belajar ke luar negeri, termasuk suku lain juga, untuk membantu persiapan ini. Mencarikan sekolah, mempersiapkan berkas, bahkan menghubungi pihak-pihak yang bisa dianggap dapat memberikan bantuan kemajuan anak-anak muda tersebut. Mereka diminta untuk menyalurkan para anak muda brilian itu ke sekolah-sekolah terbaik di mana pun di dunia ini.
Itu baru satu contoh. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan sebenarnya. Saat ini saya membuka grup khusus tertutup untuk mempersiapkan orang-orang yang ingin studi master dan doktor. Setidaknya 10 orang calon doktor dan 50 orang calon master tergabung di dalamnya. Jadi, melakukan hal-hal yang baik ini sesungguhnya bisa dengan mudah dikerjakan oleh pemerintah daerah. Hanya pada pertanyaan: “Apakah melihat ini sebagai peluang?” Kita biasanya hanya bisa mengelus dada melihat reaksi pemerintah.
Memanfaatkan Peluang
Kita hidup di arena penuh persaingan dan perebutan menuju yang terbaik. Terlena, dalam hitungan detik, kesempatan itu disambar oleh orang lain. Karena itu, tidak ada kesempatan untuk menunggu. Para orangtua, persiapkanlah anak untuk menguasai bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Para guru, berikan metode yang menyenangkan dalam belajar bahasa. Para siswa dan mahasiswa, tekunlah belajar, kuasai bahasa dan bermimpilah terus bersekolah.
Jadi, saya bertanya kepada anak-anak muda Nias, “Kalau nenek moyang kita tidak takut menantang lautan dan kemudian sampai ke Pulau Nias, mengapa kita harus takut menantang benua lain?”.
Saat ini juga, negara-negara di Eropa sedang menggalang beasiswa di bidang pendidikan. Mereka "takut" kalau regenarasi mereka terputus atau kata kasarnya akan mengalami kepunahan. Bangsa-bangsa Eropa saat ini lebih mementingkan seekor bintang jika dibandingkan dengan seorang manusia. Maka dari itu, mereka takut akan masa depan negara dan benuanya. itulah sebabnya "beasiswa" di bidang pendidikan menjadi suatu tawaran regeneratif untuki negara-negara Asia termasuk Indonesia.
menerima beasiswa untuk lanjutan studi merupakan prospek yang luar biasa, tetapi lebih hebat lagi apabila kita selektif dan kritis dengan beasiswa yang ditawarkan. Dengan kata lain, jangan lupa "jalan pulang" setelah menyelesaikan studi. Semoga 😀
Saohagolo informasi dan sarannya ya Bang Fotarisman Zalukhu.. saya, pimpinan Daerah dan Generasi Muda Nias mau melaksanakannya. Ya'ahowu..