Saturday, April 27, 2024
BerandaHeadline NewsPulau Nias dan Masyarakatnya

Pulau Nias dan Masyarakatnya

Oleh Heinrich Sundermann, Misionaris Nias

Pulau Nias terletak pada derajat pertama lintang utara, antara sembilan puluh tujuh dan sembilan puluh delapan derajat bujur timur, dan merupakan rangkaian pulau terbesar yang membentang di sepanjang pantai barat Sumatera.

Jaraknya sekitar 113 km dari Sumatra, panjangnya sekitar 121 km, dan lebarnya antara 28 hingga 40 km.

Daerah ini hampir seluruhnya terdiri dari daerah perbukitan, sehingga pembuatan jalan sulit dilakukan, dan hal ini, dengan rumput yang tebal dan tinggi membuat jalan setapak yang sempit tidak terlihat kecuali jalan setapak di kaki para pejalan kaki, membuat komunikasi menjadi sulit.

Variasi jenis hewan dan tumbuhan sangat sedikit. Tidak ada hewan yang berbahaya kecuali buaya dan rusa, yang terakhir ini sangat merusak lahan pertanian. Hewan peliharaan yang ada hanyalah babi, anjing pemburu, kucing, ayam, dan beberapa kambing.

Pohon-pohon kayu, dalam variasi yang banyak, menghasilkan kayu bangunan yang bagus; kakao dan durian adalah makanan utama. Sagu dan aren, beras, ubi, talas, pisang, sejenis bayam, dan kacang kecil, merupakan tanaman budidaya utama.

Masyarakat Nias menyebut diri mereka “Niha”, yang berarti “manusia”, dan pulau mereka “Tanö Niha”, yang berarti tanah manusia.

Tidak ada catatan pasti mengenai asal usulnya. Ada yang mengatakan bahwa nenek moyang mereka turun dari langit. Kisah lain menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan putri seorang kepala suku Batak di Sumatra, yang diusir dari rumahnya karena perselingkuhan, terapung-apung di perahu, mendarat di Nias, dan mempunyai anak dari seorang putra yang dilahirkan di sana.

Mereka sendiri percaya bahwa mereka adalah keturunan dari beberapa nenek moyang yang menetap di berbagai tempat di pulau tersebut, dan berasal dari berbagai suku yang masyarakatnya terbagi. Jumlahnya mungkin sekitar tiga ratus ribu.

Mereka bertubuh sedang, mudah lelah, dan ekspresi wajahnya mirip dengan orang Melayu.

Kostum mereka primitif, dan bagi pria, terdiri dari secarik kain yang dililitkan di sekitar pinggang dan di antara paha, dan diikat sedemikian rupa sehingga ujungnya menggantung rendah di depan.

Untuk wanita, dari kain persegi, dihias di bagian bawah, dililitkan di pinggul sehingga membentuk rok pendek yang terbuka di salah satu sisinya.

Selain itu, laki-laki terkadang mengenakan saputangan, jaket, dan ikat pinggang dari kain atau kulit, dan pada acara-acara perayaan, sarung disampirkan di bahu mereka.

Para wanita, jika berpakaian lebih lengkap, mengenakan jaket dan selendang, atau kain panjang yang direntangkan di bahu, dan membawa tongkat dari kuningan dengan kepala timah, sedangkan rambutnya ditata dengan peniti kuningan, perak, atau emas, dan dilingkari dengan pita bersulam kuningan atau mutiara. Ornamen emas yang paling mencolok adalah mahkota, struktur kerangka berbentuk kerucut yang dipasang di kepala, dan dihiasi dengan daun emas bergambar wajah manusia, miniatur pohon palem, dan dekorasi aneh lainnya.

Senjatanya terdiri dari tombak, pisau atau pedang, dan perisai; baju besi yang dilapisi jaket tebal atau mantel dari kulit kerbau, dan helm yang ditenun dari daun lontar atau ijuk kelapa. Beberapa di antara mereka memiliki senjata tua berkarat atau meriam kecil untuk acara-acara perayaan, namun penggunaan senjata api dilarang oleh Pemerintah Belanda.

Tempat tidur mereka adalah tikar, bantal mereka adalah balok.

Untuk hidangan tersedia peralatan porselen atau daun pisang, yang tidak perlu dicuci.

Peralatan rumah tangga juga mencakup penampan daging babi, timbangan untuk menimbang daging babi, dan timbangan emas yang lebih kecil, lemari yang terbuat dari kayu yang dilubangi, alat untuk menumbuk padi, periuk tanah liat dan palung kayu, dan, untuk perkakas, pisau, kapak primitif, pahat, kikir gigi, dan tempat pandai besi.

Rumah-rumah mereka berdiri sekitar enam kaki di atas tanah, di atas tiang-tiang yang didirikan di atas batu, suatu gaya bangunan yang diterapkan entah apa pun situasinya; karena hal ini berguna untuk tujuan pertahanan, dan memberi ruang bagi kandang babi di bawahnya.

Bentuk rumah adalah lonjong, atapnya yang terdiri dari daun kelapa/pinang sangat curam, bergerigi, bukan runcing. Pintu masuk terbuka ke ruang utama, yang menempati posisi tengah, dengan kamar di kedua ujungnya. Semua ruangan memiliki kotak perapian yang diisi tanah — dan ada pintu keluar rahasia untuk melarikan diri jika terjadi serangan.

Bahasa Nias sulit, namun saya tidak merasa bahwa bahasa tsb. miskin dalam konsep, dan saya tidak menemui kesulitan besar dalam menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Nias.

Ragam tulisan tidak ada, dan baru terakhir ini ada tulisan dalam bahasa Nias. Mitos, perumpamaan, peribahasa, teka-teki, kebijaksanaan nenek moyang, dan teks resitatif dalam tarian, semuanya disampaikan secara lisan, dan dengan demikian terdapat banyak versi berbeda.

Masyarakatnya memiliki kesederhanaan yang kekanak-kanakan, ceroboh, sering bersikap sportif, gampang berbohong, dan sangat enggan menabung atau membuat bekal apa pun untuk masa depan. Bahkan keinginan untuk mendapatkan istri yang harus dibayar pun tidak akan mendorong seorang pemuda untuk menabung; dia lebih suka meminjam dari seorang kepala suku, dan dengan demikian menempatkan dirinya di bawah kewajiban yang hampir pasti setara dengan perbudakan.

Nampaknya kegiatan utama orang Nias adalah membiarkan waktu berlalu. Pekerjaan kecil yang dilakukan secara teratur terutama dilakukan oleh para perempuan, yang harus memelihara babi dan mencari makanan.

Meskipun waktu khusus untuk melakukan peminjaman adalah sebulan setelah panen, peminjaman berlangsung sepanjang tahun. Apabila peminjam tidak dapat membayar hutangnya pada saat jatuh tempo, maka pemberi pinjaman berhak mendatangi rumah peminjam dan menuntut pembayaran sampai hutang orang tersebut. lunas.

Hal serupa juga dilakukan para tamu, yang bila datang mereka dijamu dengan penuh keramahtamahan, dan cenderung memanfaatkan hal ini semaksimal mungkin, tanpa mempedulikan kenyamanan dan perasaan keluarga tuan rumah.

Meskipun pulau ini secara nominal berada di bawah kekuasaan Belanda, pada kenyataannya pulau ini berada di bawah kendali sekelompok pemimpin lokal, yang cukup independen satu sama lain, namun memiliki gagasan yang sangat tinggi akan pentingnya pulau tersebut.

Gelar mereka balugu, yang juga dapat diperoleh oleh siapa pun yang mengadakan pesta besar, seringkali dihiasi dengan beberapa julukan tambahan, seperti “fondasi bumi”, “yang lebih tinggi dari sisir ayam”, “yang segalanya api”, “yang selalu berada di atas”, atau “yang lebih tinggi dari orang Melayu”.

Tidak ada hubungan nyata antara klan yang berbeda. 

Mengayau sangat populer di pedalaman; namun di bagian utara pulau, tengkorak yang kadang telah memutih, tergantung pada sebuah tiang, adalah satu-satunya pengingat bahwa pengayauan tersebut pernah ada. 

Kepala yang dipenggal, di mana adat istiadatnya masih berlaku, harus dimiliki pada berbagai kesempatan, seperti pada penguburan seorang kepala adat atau kala meletakkan fondasi sebuah rumah.

Salah satu klan damai yang saya kunjungi bersama Kontroler Mansveld, pada bulan Januari 1877, mengeluhkan kerugian yang mereka derita dari serangan klan tetangga yang lebih suka berperang. Seorang kepala kampung setempat telah kehilangan dua belas rakyatnya dalam enam bulan, sebelas lainnya, dan sepuluh lainnya, termasuk wanita dan anak-anak; dan yang lainnya mengatakan bahwa klan tersebut berada dalam bahaya punah.

Para pengayau disewa, dan kepala mereka sendiri atau kepala anak-anak mereka dijadikan jaminan ketika mereka melakukan ekspedisi, untuk disita jika mereka tidak membawa pulang kepala orang.

Makanan pengayau yang akan berangkat diletakkan di dalam tempat makanan babi, seolah-olah mengatakan bahwa ia tidak lebih baik dari babi atau anjing jika ia kembali dengan tangan hampa. Jika mereka kembali, membawa satu atau lebih kepala, mereka dirayakan dengan megah. Tetapi jika mereka pulang dengan tangan hampa, mereka sendiri atau anak-anak mereka akan dibunuh.

Para kepala kampung secara nominal memiliki hubungan patriarki dengan penduduk, karena mereka semua mempunyai hubungan dekat atau jauh satu sama lain. Oleh karena itu mereka biasanya dipanggil sebagai bapak oleh mereka yang lebih tua, dan kakek oleh mereka yang lebih muda. Namun fungsi utama dari hubungan patriarki ini tampaknya adalah untuk menerapkan bunga yang sangat tinggi dan persyaratan pinjaman yang sulit.

Pikiran para kepala kampung tertuju pada pengumpulan perhiasan emas dan membuat nama besar bagi diri mereka sendiri. Untuk yang terakhir ini mereka mendirikan batu-batu besar di depan rumah mereka — batu berbentuk laki-laki, panjang dan ramping dan tegak, dan batu berbentuk perempuan, lebar dan rata, dan diletakkan di kaki batu berbentuk laki-laki, kadang-kadang dipahat membentuk sosok manusia. 

Pendirian batu atau perolehan perhiasan yang berharga, dirayakan dengan pesta besar, di mana banyak babi disembelih. Masyarakat, terutama orang yang sudah menikah, diharapkan menyumbangkan sebagian dari babi tersebut.

Setiap kepala suku yang ingin menjadi orang penting harus mengadakan pesta seperti itu setidaknya sekali dalam hidupnya. Ia kemudian mendapat gelar baru, setara dengan kebesaran nama yang telah dia bayangkan.

Perempuan berada pada kedudukan rendah, berada di bawah tekanan untuk hidup dalam poligami. Duka atas kehilangan seorang istri akan ditutupi oleh ratapan atas biaya yang telah dikeluarkan oleh sang suami. Bagi suami, sang istri adalah “seorang yang melakukan pekerjaannya” atau “yang mengurus makanannya”. Jika seorang istri tidak memuaskan untuk suaminya, alih-alih menceraikannya, sang suami akan mengambil istri lain dan menjadikan istri pertama sebagai budak, dengan menggerutu bahwa dia telah membayar harga yang begitu tinggi untuknya. 

Jika sang suami meninggal, saudara laki-laki atau ayahnya memperisteri sang istri, karena akan sangat disayangkan jika nilai sang istri hilang dari keluarga, sebab harga seorang janda tidak lebih dari setengah harga seorang gadis muda bila dikawinkan di luar keluarga. Anak laki-laki mengambil isteri yang ditinggalkan ayahnya, dengan syarat istri itu bukan ibu kandungnya.

Anak-anak tumbuh seperti rumput dan ilalang, tanpa disiplin. Orang tua terlalu menyayangi anak-anaknya sehingga tidak bisa menghukum mereka, dan membatasi hukuman mereka pada sekedar omelan. Ikatan kekeluargaan sangat kuat, dan hampir tidak berkurang setelah para anggotanya beranjak dewasa dan menikah. 

Penyerangan terhadap perempuan, bahkan yang sifatnya paling remeh, dapat dihukum dengan denda. Anak-anak haram dimasukkan ke dalam karung, dengan telur dan sebatang tebu, dan digantung pada dahan hingga kelaparan. Pembunuhan dibalas dengan darah oleh teman-teman korban, atau kejahatan tersebut dibawa ke hadapan kepala kampung dan dihukum dengan denda, di mana kerabat korban mendapat bagian. Jika keluarga korban tidak setuju dengan denda tsb, mereka akan menerapkan keadilan menurut pandangan mereka sendiri.

Pencurian dihukum mati atau dengan denda. Jika pencurinya tidak ditemukan, ia akan dikutuk, misalnya dengan membakar hidup-hidup seekor anjing  dan menyerukan semoga pencuri tsb. mengalami nasib serupa. Untuk menemukan pencuri digunakan siksaan seperti penyiksaan menggunakan air, atau dengan memenggal kepala ayam dan orang ke arah mana kepala ayam itu menunjuk setelah dipenggal itu dianggap sebagai pencuri.

Dimulainya kembali hubungan persahabatan setelah terjadi perselisihan ditandai dengan kutukan yang mengerikan terhadap pihak yang akan memperbaharui perselisihan tersebut. Kedua pihak dan teman-teman mereka berturut-turut mengambil daun kelapa yang dianggap mewakili orang yang ditakdirkan untuk terkena kutukan, menyajikannya di hadapan “adu” leluhur dan berkata, “Jika masih ada kebencian dalam hati N.N., jika dia ingin mencelakakan orang lain, maka pelintirlah lehernya, hai “adu” ayahku, “adu” kakekku!”

Ketika seorang anak lahir, ayah dan ibu harus menahan diri dari melakukan apa pun yang mungkin menimbulkan kesan buruk, agar tidak menimpa anak tersebut. Mereka tidak boleh menyembelih seekor binatang pun, mereka tidak boleh makan daging babi yang telah mati (yang tidak akan mereka tolak dalam kesempatan lain), mereka tidak boleh melewati tempat di mana manusia atau hewan telah dibunuh, atau membuat patung atau melewati dasar sungai, atau  berteriak keras atau membakar lahan atau membakar besi atau memegang pisau, dsb. Jika hal-hal ini dilanggar, maka anak tsb. akan memperoleh beberapa sifat tidak menyenangkan yang terkait dengan objek atau tindakan tadi, bila tidak dalam arti sebenarnya setidaknya dalam makna simbolis.

Seiring dengan berjalannya waktu, sang anak diperkenalkan kepada dewa leluhur, dan sebuah nama diberikan kepadanya, yang biasanya mempunyai makna tertentu, dan sering kali berhubungan dengan suatu fakta dalam sejarah keluarga. Anak perempuan tidak diinginkan, dan bisa saja diberi nama seperti “Yang tak berguna” atau “Yang rasanya tidak enak”. Namun banyak nama yang kedengaran tidak menyenangkan ini diberikan sebagai julukan “untuk keberuntungan”, sebab, bila seorang anak dipanggil dengan nama aslinya, roh-roh jahat mungkin akan mengetahuinya dan mendatangkan celaka kepadanya.

Sunat merupakan adat, dan untuk itu disampaikan persembahan demi kesehatan anak dan untuk memberi tahu dewa leluhur bahwa ritual tersebut telah dilakukan.

Harga pengantin perempuan berbeda-beda menurut kedudukannya, dan dibagi bersama oleh kerabat perempuan itu, kepala suku, dan masyarakat desa. Namun bagian penduduk desa diberi dalam jumlah yang terlalu kecil untuk dihitung dengan uang dan dibayarkan dalam bentuk ikan kering atau garam. 

Pertunangan dapat terjadi pada usia yang sangat dini— terkadang sebelum anak perempuan tersebut lahir, atau bahkan ketika tidak ada harapan untuk mendapatkan anak perempuan.

Pencari pengantin, yang memulai pencariannya, menaruh perhatian besar pada mimpinya. Jika dia memimpikan api atau banjir, maka tugas tsb. meragukan dan biasanya dia tidak akan meneruskan. Namun bila dia memimpikan air jernih atau menerima uang, hal itu merupakan pertanda baik.

Gadis yang ditemukan tidak akan ditanyakan pendapatnya, semuanya diatur oleh perantara, tanpa orang tua kedua belah pihak saling bertemu. Beberapa hari sebelum pernikahan, mempelai wanita berkeliling dan berpamitan dengan kerabatnya, sambil meratap bahwa ia akan diserahkan kepada orang asing — karena pernikahan selalu dilakukan antara orang yang berbeda klan — dan menerima hadiah pernikahan dari mereka.

Kemudian, tepat pada waktunya untuk menghadiri pesta pernikahan, penduduk desa mempelai pria berbaris ke desa mempelai wanita dengan menabuh gendang dan nyanyian, dan berparade di jalanan sambil mengacungkan pisau terhunus dan berteriak, hingga tarian liar dimulai, yang berlanjut menjadi gerakan ular panjang dan berkelok-kelok dengan belitan, dan nyanyian resitatif oleh salah satu peserta, yang bait terakhir diulangi peserta lain, atau hanya mengulangi bunyi akhir, yang selalu berupa vokal. Nyanyian ini tidak menyamai sebuah lagu, karena lagu musikal tidak dikenal di Nias. Wanita menari berpasangan, dengan anggun mengibarkan ujung selendang yang digantung di leher. 

Sarapan menyusul, dan perjamuan besar menjelang malam.

Selama proses ini pengantin wanita duduk dengan mata tertunduk, menampakkan pengendalian diri sederhana. Sebelum dia meninggalkan rumah, jujurannya harus dibayar. Kemudian dia akan menolak pergi dan karena itu harus diangkat keluar. Ketika dia berhasil diturunkan dari tangga rumah, pengantin pria dipanggil dan dia akan mendekat tanpa menampakkan perasaan.

Kemudian kedua mempelai menyentuhkan kepala pada kaki patung leluhur, yang telah didirikan pada sebuah tiang di halaman rumah, biasanya dengan perlawanan dari mempelai wanita, dan dengan itu mereka menjadi pasangan suami istri. Pengantin pria menggosok bibir pengantin wanita dengan daun tertentu, sambil mengatakan bahwa dia tidak boleh bandel, dan kemudian dua orang wanita menggiring dia pergi — karena pengantin perempuan tidak boleh pergi sendiri.

Baca juga:  Dituding Mark-up Dana Desa, Begini Tanggapan Kades Hilifarokha Lawa Fanayama

Sesampainya di kediaman mempelai pria, sebuah saputangan dilemparkan ke atas kepala pasangan tersebut, dan kepala kampung memberikan restu kepada mereka dengan mengayunkan pedangnya ke atas mereka. Pengantin wanita masuk ke dalam rumah tanpa memegang tangga — karena kasau atap rumah adalah hal pertama yang akan dia sentuh — dan, ketika dia duduk, seorang anak laki-laki diletakkan di pangkuannya, sebagai tanda bahwa dia menjadi pelayan, setelah itu dia memberikan sirih kepada suaminya.

Kini giliran pengantin pria atau ayahnya mengadakan pesta, di mana diadakan konsultasi mirip gaya Romawi kuno, untuk menentukan seperti apa karakter kehidupan pengantin wanita nantinya. Mereka memperkenalkan pengantin wanita kepada dewa leluhur, dan pengantin wanita diharapkan untuk menyentuh daun kelapa yang menghiasi patung tsb.

Pikiran pertama ketika seseorang sakit kritis adalah menyiapkan peti matinya, sebuah batang kayu berlubang yang ditutup dengan papan. Kerabat terdekat menyiapkan makanan untuknya, dan menerima ucapan selamat tinggal dari dia.

Menjelang saat-saat terakhir, putra sulung orang yang sekarat itu menempelkan mulutnya ke mulut ayahnya, untuk menerima rohnya, yang diyakini keluar dari mulut dalam bentuk kerikil. Kalau laki-laki itu tidak mempunyai anak laki-laki, rohnya akan diterima dalam kantong uang. Kantong itu digantung pada patung leluhur yang disiapkan untuk mewakili almarhum, dan rohnya tsb. seharusnya masuk ke dalamnya. Roh yang diterima oleh sang putra dianggap membantu menjadikannya pria yang bijaksana dan gagah berani. 

Setelah kematian, perkabungan dimulai dengan pemukulan genderang dan penembakan senapan, jika terdapat bubuk mesiu. Hidung orang yang meninggal ditutup, dagunya diikat, dan ibu jari kaki serta jari telunjuk dan ibu jarinya diikat menjadi satu, untuk memudahkan lepasnya bagian yang abadi. Berbeda dengan tari perkawinan, tarian ini diiringi dengan nyanyian yang menyatakan bahwa orang yang meninggal sebenarnya tidak mati, melainkan hanya menghilang, meskipun ia tidak akan pernah kembali dari seberang laut ke dunia sekarang.

Pesta pemakaman ditandai dengan menyembelih banyak babi, dan ini tampaknya yang menjadi pertanyaan yang paling banyak memenuhi benak masyarakat ketika kematian diumumkan. Saat peti mati dibawa ke tengah kerumunan kerabat, beberapa orang mungkin bertanya apakah ada keadaan yang mengindikasikan adanya pembunuhan; yang lain mungkin mengangkat di depan almarhum sesuatu yang sangat dihargai oleh almarhum, untuk mengalahkan siapapun yang memusuhi keluarga yang mungkin mencoba membujuk rohnya menjauh dari mereka.

Sepanci ayam dan nasi dimasukkan ke dalam peti mati untuk digunakan orang yang meninggal di dunia lain. Setelah diletakkan di dalam kubur, batang tanaman tertentu ditancapkan ke peti mati sampai mencuat ke permukaan tanah dan menjadi jalan keluar mökö-mökö atau peninggalan jantung yang diharapkan keluar dari dalam kubur dalam bentuk laba-laba kecil — ini hanya dilakukan jika orang yang meninggal memiliki keturunan.

Meskipun orang mati biasanya dikuburkan segera setelah kematian, jika keluarga tidak memiliki babi yang diperlukan untuk pesta yang sesuai, jenazah dapat disimpan di dalam rumah, dalam peti mati yang tertutup rapat, selama satu tahun.

Beberapa hari setelah pemakaman dua kali sehari diletakkan makanan di bawah atap. Semua patung yang dibuat oleh almarhum ketika dia sakit serta barang-barang yang digunakannya ditempatkan di dekat kuburan, agar hantu tidak kembali ke rumah untuk mengambilnya. Sebuah patung kayu dari almarhum dibuat, dan seorang imam mengundang bagian abadinya untuk berdiam dalam patung tsb.

Upacara menemukan mökö-mökö, seekor laba-laba kecil yang dicari di kuburan dan dianggap sebagai peninggalan jantung almarhum, menarik. Terkadang upacaranya tertunda selama beberapa tahun. Dan jika satu keluarga jatuh sakit pada saat itu, maka hal itu dianggap sebagai akibat dari penundaan tsb. Setelah kuburan dibersihkan, beras ditaburkan di atasnya dan pakaian serta perhiasan diletakkan di atasnya. Keluarga tersebut kemudian berjongkok mengelilinginya, mengulurkan tangan, dan mengundang mökö-mökö untuk datang segera. Semua kerabat hadir di situ menunggu. Sepotong kain diangkat dan seekor laba-laba ditemukan di bawahnya — laba-laba berlarian ke mana-mana, dalam hal ini ada selusin laba-laba. Laba-laba tidak langsung ditangkap, namun diundang untuk datang melalui uluran tangan. Sekarang diketahui bahwa ia mempunyai enam kaki, dan itu bukan mökö-mökö, sebab mökö-mökö seharusnya hanya mempunyai empat kaki. Oh ya, itu laba-laba yang benar, karena dua kaki tambahan itu hanyalah merupakan rambut.

Setelah mökö-mökö asli ditemukan dan diidentifikasi, ia dimasukkan ke dalam tongkat bambu dan dibawa ke “dela” (jembatan), semacam tempat berkumpulnya orang mati, di mana sebuah batu ditanam untuk setiap orang yang meninggal, di depannya diletakkan tembikar, piring dan botol.

Semacam pesta diadakan di sini, di mana mökö-mökö dilepaskan di dekat patung leluhur, yang seharusnya akan memasuki patung tsb. Sebuah telur dipersembahkan oleh setiap orang yang hadir, dan seluruh keluarga akan menyebutkan diri hadir satu per satu di hadapan patung tsb., dan kesejahteraan dimohonkan untuk masing-masing mereka, serta untuk ternak dan ladang mereka. Jika muncul retakan pada patung, yang terbuat dari kayu itu, maka dikatakan bahwa mökö-mökö telah keluar dari patung, dan patung baru harus dibuat dan diresmikan dengan mengulangi seluruh upacara.

Agama orang Nias terdiri dari pemujaan terhadap roh dan nenek moyang, sedangkan ada dua makhluk yang bukan keduanya, yang salah satu di antaranya dianggap memiliki kekuatan tertinggi, dan yang namanya disebutkan dalam sumpah; tapi hanya dipuja secara tidak tentu.

Psikologinya sangat tidak biasa. Selain roh “eheha”, yang transmisinya kepada keturunan dalam keluarga bangsawan telah dijelaskan, orang Nias berbicara tentang nafas atau jiwa, “noso”, yang memiliki semacam pra-eksistensi — bukan dalam bentuk pribadi, namun sebagai bagian dari stok jiwa umum, yang darinya diambil porsi jiwa setiap orang porsinya — setiap orang akan ditanyakan pada saat lahir berapa banyak “noso” dia butuhkan. Berdasarkan jawaban dan alokasi “noso” tsb. nanti tergantung lamanya hidup yang dinikmati orang tsb. Bagian abadi, “bekhu zimate” — roh yang berbeda dari “eheha” — dianggap sebagai bayangan belaka, yang secara hipotesis memiliki keberadaan yang berkelanjutan.

Jantung menempati posisi sentral yang khas dan banyak fungsi yang dianggap berasal darinya. Ia adalah pusat pemikiran, pemahaman dan perasaan; dan sisa dari jantung keluar dari kubur setelah kematian dalam bentuk seekor laba-laba, mencari tempat tinggal pada patung leluhur, sebagaimana telah dijelaskan.

Konsep orang Nias tentang kondisi setelah kematian masih membingungkan. “Bekhu” turun ke bawah menuju tempat orang mati, di mana mereka harus mati sembilan kali, atau, menurut beberapa orang, sebanyak tahun orang meninggal tsb. telah hidup di dunia, dan seharusnya menjalani kehidupan di dunia orang mati tsb. seperti kehidupan di bumi. Mereka membawa serta peralatan dan harta benda duniawi mereka dalam bentuk bayangan, dan tidak dapat mengharapkan kekayaan yang lebih tinggi daripada yang mereka dapatkan di bumi. Oleh karena itu, manusia yang hidup mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, agar mereka dapat membawa bayangannya bersama mereka.

“Bekhu” orang jahat akan kembali ke mayatnya di dalam kubur dan akan diremukkan oleh tanah. Laki-laki yang tidak bermasalah akan menjadi ngengat malam setelah kematiannya yang berkali-kali. Mereka yang dibunuh akan menjadi belalang. “Bekhu” laki-laki yang dibunuh atau yang bunuh diri dipisahkan dari “bekhu” lainnya.

Pada akhirnya, konon bumi akan mati atau tenggelam ke dalam laut, dan akan ada bumi yang baru. Kemudian “bekhu” para kucing akan membiarkan “bekhu” laki-laki melewati teluk menuju bumi baru melalui ujung pedang yang berfungsi sebagai jembatan. Siapa pun yang dalam hidupnya telah menyiksa atau membunuh kucing tanpa alasan, akan dibuang oleh para kucing ke dalam jurang yang dalam. Oleh karena itu setiap orang takut mendekati kucing untuk mengganggunya. Hanya mereka yang bermasalah saja yang pergi ke jurang yang dalam, sementara yang lain akan menjadi kupu-kupu atau sejenisnya. “Bekhu” anak-anak dibawa oleh ibu mereka dan pergi kepada Allah.

Setelah Lowalangi, yang dengannya manusia tidak banyak berhubungan kecuali sesekali memberikan persembahan, makhluk ilahi terpenting adalah Lature. Dia mencoba menciptakan manusia dari buah pohon tora, dan karena tidak berhasil, dia meminta Lowalangi untuk membantunya, dan menerima manusia sebagai hadiah seperti babi. Oleh karena itu dia disebut Lature dari seribu babi. Kadang-kadang ia memakan manusia — yakni bayangannya — seperti layaknya seseorang menyembelih dan memakan babi, yang faktanya terwujud dalam bentuk penyakit korbannya. Dalam hal ini, suatu persembahan diberikan untuk membujuknya agar memilih seorang lain mis. seorang yang lebih gemuk dari daerah lain. Jika permohonan ini gagal, orang tersebut harus mati.

Ada setan-setan lain, yang memakan bayang-bayang manusia, mengintai mereka bak pemburu melintasi daratan, menggunakan pelangi sebagai jaring untuk menangkap mereka, dibantu oleh anjing-anjing udara, yang kepalanya terputar untuk melihat ke belakang, dan kadang-kadang terdengar menggonggong. Akan tetapi, melalui persembahan khusus, seseorang dapat membuat dirinya tetap sehat, kecuali Lowalangi telah menetapkan bahwa orang tsb. harus mati. Bayangan yang menjadi korban para makhluk ilahi ini adalah bayangan khusus dan bukan bayangan yang muncul di bawah sinar matahari.

Orang juga membayangkan adanya hantu bawah tanah, atau “bekhu”, yang tinggal di gua atau lubang, dan membuat susah manusia atau memakan bayangan mereka. “Bekhu” wanita yang meninggal saat melahirkan dianggap harus merebut lengan pria dan memelintirnya dan menempatkannya di sisi yang salah. Semacam makhluk malaikat ditunjuk untuk membawa jiwa orang mati kembali ke stok jiwa atau ke tali dari mana mereka dipotong dan diberikan kepada pribadi mereka pada saat kelahiran.

Berikutnya adalah leluhur yang dihormati pada acara-acara khusus, dan setelah mereka leluhur dekat, yang patungnya telah dibuat, yang telah diterima oleh mökö-mökö sebagai tempat tinggal. Persembahan biasanya diberikan dalam bentuk mengambil hati, seperti ketika Lature diminta untuk memilih orang lain daripada orang yang telah sakit, atau bayangan babi atau ayam dipersembahkan kepada “bekhu” dan bukan bayangan manusia.

Para imam membentuk kelas tersendiri. Tanda adanya panggilan ke tugas ini adalah kegilaan atau suatu penyakit. Setelah mengembara beberapa waktu, sang calon memenuhi syarat untuk menjadi imam melalui melalui kursus singkat dari seorang imam aktif.

Dewa-dewa kecil atau “adu” sangat banyak. Dan untuk memastikan dewa yang tepat disapa pada kesempatan tertentu, imam melakukan semacam tes. Salah satu bentuk tesnya adalah menyebutkan satu per satu nama dewa sambil mencoba membuat telur berdiri di atas botol. Dewa yang namanya disebutkan ketika satu telur berdiri, itulah dewa yang perlu disapa.

Sebuah “adu” baru harus diukir untuk setiap kasus penyakit dan persembahan harus dilakukan sementara pasien memegang “adu” di tangannya, diiringi tabuhan gendang dan doa. Dalam doa kepada Lature, ada tiga pengantara yang digunakan antara imam dan sang dewa: “adu”, yang diminta untuk menyampaikan permohonan tsb.; “saho”, yang dulunya adalah manusia di bumi namun telah diangkat ke langit dan menjadi pengantara bersama dengan pengantara ketiga, satu makhluk yang perannya dalam hal ini tidak begitu jelas.

Jika doa imam tsb. didengar, “saho” memberi tanda dalam wujud gelombang besar atau awan yang melayang di langit, namun hanya dapat diterima ketika matahari bersinar. Sang imam menyadap tanda tsb. dengan sehelai kain, yang di atasnya dipantulkan satu bentuk seperti cacing bercahaya, dan menempelkannya pada kening pasien, yang akan membuat dia sembuh. Tanda ini, yang disebut “sumange”, juga diterima sebagai jawaban atas banyak persembahan lain yang tidak diberikan kepada Lature, namun tanda selalu datang dari Lature, yang kepadanya hidup atau mati tergantung.

Persembahan kepada dewa leluhur jarang dilakukan pada saat sakit, tetapi biasanya dilakukan untuk meminta berkah atau untuk mencegah kemalangan atau pada acara-acara khusus, seperti kelahiran anak atau perkawinan, sebagai bentuk pengumuman. Dewa-dewa leluhur ini sangat dijunjung tinggi dan segala bentuk kemalangan diperkirakan akan menimpa siapa pun yang meninggalkannya dan beralih ke agama Kristen.

Korban penghapus dosa dipersembahkan bagi seorang pemimpin yang dalam suatu urusan atau hal tidak berbuat yang benar dan takut bahwa ia akan jatuh sakit karenanya. “Adu” dari salah seorang imam almarhum kemudian dipanggil untuk mengusir kemalangan. Dan bila seseorang dikutuk, dia akan berusaha untuk menangkal dampak kutukan tersebut dengan memberikan persembahan.

“Adu” juga dibuat dan diberi persembahan untuk mengusir roh jahat atau memperingatkan roh wabah penyakit yang mungkin sedang mendekati desa. Sesungguhnya kesempatan untuk memberikan persembahan tidak terhitung banyaknya dan orang-orang yang sangat menderita karena penyakit menjadi miskin karenanya.

“Adu” diduga diturunkan dari atas. Jenis kayu yang digunakan untuk membuat “adu” merupakan anak-anak yang telah diubah menjadi kayu, berasal dari dewa-dewa, yang menurut salah satu versi legenda, muncul dari serpihan kayu, dan diturunkan ke bumi untuk menyembuhkan penyakit.

Penyakit yang dianggap disebabkan oleh kutukan dan sihir juga disembuhkan dengan persembahan. Namun daftar gangguan tertentu, yang disebabkan oleh pohon yang konon muncul dari roh kutukan yang diucapkan oleh seorang kepala suku terhadap penghuni kampungnya — termasuk demam, gangguan pada perut, dan penyakit kulit yang menular — harus dihadapi dengan obat. Orang Nias menggarap ladang takhayul jauh lebih baik daripada sawah mereka.***

Catatan:

  1. Tulisan ini diterjemahkan dari bahasa Inggris “The Island of Nias and its People” dalam “Popular Science Monthly”, Volume 33, Juni 1888, hlm. 233-243. Telah 135 tahun yang lalu. Ini penting untuk mengerti konteks.
  2. Teks bahasa Inggris itu sendiri diterjemahkan dari tulisan asli bahasa Jerman, yang dimuat dalam majalah misi “Allgemeine Missions-Zeitschrift”. Saya tidak memiliki tulisan asli ini, sehingga saya tidak bisa mengecek silang ketepatan terjemahan.
  3. Heinrich Sundermann adalah seorang misionaris Protestan di Nias (1875-1910), penulis kamus serta tata bahasa Nias dan penerjemah Kitab Suci ke dalam bahasa Nias. Tulisan ini merupakan rangkuman Sunderman dari apa yang dia dengar dari orang Nias pada abad ke-19. Orang Nias dewasa ini tidak lagi mengenal berbagai kisah yang diceritakan di sini. Melalui tulisan ini kita berkenalan dengan moralitas, religiusitas, konsep tentang dunia dan makna hidup orang Nias. Hal ini bukan hanya penting untuk penelitian ilmiah, melainkan juga untuk pengembangan diri kita sendiri. Mengapa? Kita adalah anak orang tua kita dan kita mewarisi masa lalu, yang meresap ke bawah sadar kita. Kita misalnya perlu mengenal religiusitas dasar orang Nias, yang telah mendarah daging ratusan tahun sebelumnya, sebab sedimen dari religiusitas tsb. masih mendasari religiusitas kekristenan kita, yang baru berumur lebih 100 tahun. Hal ini berlaku untuk pandangan kita tentang moral, hubungan dengan yang ilahi, konsep diri dalam masyarakat, dlsb.
  4. Paragraf serta kalimat-kalimat dalam tulisan asli sangat panjang. Saya telah membaginya dalam kalimat yang lebih pendek dan paragraf kecil untuk memudahkan pembaca di layar smartphone di era digital ini.
  5. Selamat berkelana ke masa lalu dan dengan demikian menyelam ke dalam diri kita sendiri.

Penerjemah: Sirus Laia, Lölömatua/London

RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments