Friday, April 19, 2024
BerandaKabar dari Nias"Falaga" di Nias Pro 2022

“Falaga” di Nias Pro 2022

Oleh Esther GN Telaumbanua

Sempat absen karena pandemi Covid-19,  Nias Pro diselenggarakan lagi pada tanggal 22-28 Juni 2022 di Pantai Sorake, Nias Selatan. Yang terakhir, Nias Pro 2019 bersamaan dengan Sail Nias dengan dua kategori, Qualifying Series (QS) 1000 dan Qualifying Series (QS) 3000. Nias Pro 2022 ini merupakan event  World Surf League (WSL) berstandar QS 5000. Menurut Anggreani Dachi, Kepala Dinas Pariwisata Nias Selatan, event ini akan diikuti sekitar 210 peselancar dunia dari 15 negara, seperti Australia, Indonesia, Jepang, Fiji, Swedia, Brasil, Italia, Portugal, Afrika Selatan, Filipina, Selandia Baru, Korea Selatan, Thailand, Amerika Serikat, dan Peru.

Para peselancar ini akan bertarung pada 4 kategori men’s dan women’s qualifying series, serta junior dan women junior tour. Gelaran ini akan memperkuat posisi Nias sebagai penyelenggara kompetisi ke level semakin tinggi dan tingkat pertarungan yang lebih bersaing.  Ini akan membawa Sorake semakin berdaya tarik dan dikunjungi makin banyak wisatawan dunia. Nias Pro bukan saja merupakan kegiatan yang mendunia, juga semakin menduniakan Nias.

Selain atraksi lompat batu (hombo batu) dan tari perang,  Nias juga sudah dikenal luas sejak lama oleh para peselancar dunia. Teluk Lagundri di mana Pantai Sorake  yang kesohor itu  berada dan sekitarnya  menyimpan begitu banyak  catatan sejarah bagi dunia selancar air. Baik melalui kunjungan reguler peselancar, maupun juga melalui pergelaran internasional yang dilangsungkan. Ombak Sorake memang dikenal berkarakter khas dengan ombak kanan (right hander) terbaik di dunia yang paling dicari oleh para peselancar. Sorake, disebut-sebut sebagai spot surfing terbaik dunia setara Waikiki di Hawaii. Tinggi ombak bisa lebih dari 10 meter dengan lima tingkatan, dan gulungan ombak bisa mencapai 11 kali  dengan panjang mencapai 200 meter.

Seorang peselancar sedang beraksi saat ‘falaga’ pada Nias Pro 2018. Sumber: Kaskus

Untuk menikmati ombak kanan yang besar para peselancar biasanya lebih dulu mengayuh papan selancar ke bagian tengah pantai. Mereka duduk di papan sambil mengamati datangnya ombak sampai mulai meninggi baru mereka berselancar di atasnya. Ombak yang tinggi  akan bergerak dari tengah lalu mengarah ke kanan hingga menepi ke bibir pantai.

Sejarah “surfing” di Nias

Sejak kapan aktivitas berselancar di Nias di mulai, belum ada dokumen yang menjelaskannya dengan rinci dan pasti.  Ada yang menyebut sejak tahun 1993-1995.  Ada juga yang mengatakan puluhan tahun yang lalu, ketika kapal-kapal pesiar dari luar mulai masuk. Menurut peselancar Australia yang kini menetap di Lagundri, Mark Flint, cerita umumnya dimulai sekitar tahun 1974-1975. Konon, diawali dengan datangnya 3 peselancar  dari Australia ke Lagundri. Sejak itu, kedahsyatan ombak Nias mulai dibicarakan di kalangan peselancar. Lagundri dan Sorake semakin dikenal dan dikunjungi.

Mark Flint sendiri mulai mendengar tentang  ombak Nias  sejak tahun 1978 dari komunitas peselancar. Ia mulai berselancar di Nias sejak 1980. Berdasarkan video yang dipublikasi  Surfer, sejarah surfing di Bali diperkirakan bermula sekitar tahun 1930 dan mulai berkembang sejak 1970-an.  Menurut Mark Flint, sejarah di Nias bisa jadi sama atau lebih tua dan lebih berwarna, tetapi tidak ada publikasi. Sama dengan sejarah di Bali, event kompetisi menjadi pintu gerbang pengembangannya sebagai sport tourism.

Bersamaan dengan datangnya peserta kompetisi, demikian juga media dalam dan luar negeri turut aktif mempromosikan Sorake dan Nias Selatan. Di Nias, penyelenggaraan kompetisi pertama sekitar awal 1990-an. Waktu itu, Nias Selatan belum dimekarkan, masih satu kabupaten dipimpin Bupati Nias Tal Larosa.

Walaupun masyarakat Nias di pesisir menjadi nelayan dan biasa melaut,  berselancar bukanlah aktivitas mereka. Masyarakat mengenal aktivitas berselancar dari peselancar mancanegara yang datang ke Sorake.  Sorake dulu merupakan kawasan yang sepi dan masih hutan dengan fasilitas umum yang sangat minim.

Dulu kompetisi dilangsungkan dengan fasilitas masih terbatas, kata Mark Flint. Pengetahuan masyarakat juga masih terbatas, terutama dalam memahami fenomena laut.  Di awal mula, banyak juga kisah mitos tentang penguasa laut yang marah atau hantu laut yang menari-nari di atas air mengiringi perkembangan surfing di Nias.

Yang pasti, sejak kehadiran para peselancar mulai muncul satu dua homestay dan kini Sorake dipenuhi berbagai resort, penginapan kecil dan besar. Aktivitas selancar ini bersambut di hati masyarakat lokal, bukan saja karena mereka penduduk di pinggir Sorake tetapi karena aktivitas ini membawa rezeki bagi mereka. Ada lapangan pekerjaan dan peluang usaha untuk mendapatkan uang bagi  masyarakat.  Sorake kini menjadi semacam perkampungan peselancar yang ramai,  dipenuhi  dengan resto dan toko-toko penjual dan penyewaan peralatan surfing dan diving, serta suvenir.

Setiap hari, pantai ramai dengan aktivitas berselancar mulai dari para pemula sampai yang sudah pro. Anak-anak Nias, khususnya yang berdomisili di sekitar Sorake sudah banyak yang bisa berselancar. Setelah pulang sekolah, mereka umumnya pergi ke pantai.  Selain menjadi pemandu bagi para wisatawan banyak dari mereka juga menjadi pengajar bagi pemula. Walaupun masih dengan bayaran rendah, mereka sudah memiliki pendapatan dari aktivitas mengajar berselancar.

Sebagian lagi datang untuk menjajakan makanan. Interaksi dengan para peselancar internasional membuahkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris.  Beberapa nama peselancar Nias pernah mengukir sejarah memenangi kompetisi  internasional. Sebut saja Bonne Gea, Warna Wau, Fridolin Wau, Yosa Zagötö, Alex Bu’ulölö dan beberapa lainnya. Menariknya, selancar juga diminati kaum perempuan Nias. Banyak kaum perempuan ikut berpartisipasi dalam perlombaan olahraga air ini.

Bukan hanya untuk surfer, bahkan Nias semakin dikenal oleh para yachter dunia. Nias
kini menjadi lintasan yacht rally (lomba kapal layar) dan jalur internasional kapal pesiar (long haul cruise). Tercatat, pernah dilangsungkan Nias Yacht Rally tahun 2019 yang diikuti 13 yacht dari berbagai negara. Pasca pandemik mulai mereda, peserta West Sumatra International Yacht Rally 2022 melintas di Kepulauan Nias. Dalam setahun, 3-5 kapal pesiar mampir. Mereka mampir beberapa hari untuk menikmati keindahan alam dan suguhan atraksi seni budaya Nias.

Tantangan Pariwisata Bahari

Baca juga:  Diduga Korupsi Pembangunan RPS SMK N2 Sidua'ori, Kejari Nias Selatan Tahan Alraji Komisaris PT Bunga Ros Mini

Sejak Nias Pro 2019 yang mengangkat tema “Kepulauan Nias sebagai gerbang destinasi pariwisata bahari dunia”, Pemda Nias Selatan berkomitmen untuk mengembangkan pariwisata bahari dan menjadikan  kompetisi surfing sebagai agenda tahunan. Kehadiran  peselancar internasional ini diharapkan menopang kepariwisataan Nias dan meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Paling singkat kunjungan wisatawan sport tourism satu minggu, bahkan banyak yang stay berbulan-bulan. Dengan pengelolaan yang tepat ini  dapat menjadi  pundi-pundi emas bagi daerah dan memberikan keuntungan bagi masyarakatnya.

Wisata bahari merupakan wisata atau rekreasi yang aktivitasnya dilakukan di kawasan laut dan perairan, baik itu di pantai, pulau atau bawah laut,  baik di permukaan air maupun di dalam air.  Nias Selatan memiliki potensi yang cukup  untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata bahari kelas dunia.  Selain Sorake, spot surfing ada juga di Pulau Tello dan sekitarnya.  Tantangan terbesar adalah bagaimana wilayah-wilayah pesisir, pulau-pulau kecil serta masyarakatnya inklusif terkelola.

Untuk mendukung itu, diperlukan perbaikan infrastruktur.  Mulai jalan hingga fasilitas umum harus dipercepat agar tidak ada kendala saat kunjungan wisata dan penyelenggaraan event. Namun, perbaikan infrastruktur dan amenitas tidaklah cukup karena pariwisata bahari ini sangat berkaitan dengan lingkungan alam dan manusia.

Pengembangan kawasan wisata bahari harus memberikan manfaat bagi perlindungan dan pelestarian alam, ramah lingkungan dan menghindari pencemaran dan pemborosan sumber daya bahari. Masyarakat pesisir tidak dapat dipisahkan dengan laut yang menjadi aktivitas keseharian dan sumber utama kehidupannya. Memberdayakan  masyarakat lokal merupakan bagian  tak  terpisahkan dari pariwisata bahari itu. Pelibatan partisipasi masyarakat sebagai potensi SDM utama  sangat perlu.

Dengan deretan event-event ini, tentunya Nias Selatan semakin berpengalaman dan kreatif  merancang keuntungan dan kemanfaatannya bagi daerah dan terutama masyarakat melalui peluang kerja dan usaha kreatif yang meningkatkan taraf kesejahteraannya.

Pemetaan berbasis potensi dan karakter kawasan diperlukan dalam penentuan zonasi yang tepat dengan memperhatikan daya dukung lahan dan sosial budaya agar tidak berbenturan dengan kepentingan pengembangan permukiman masyarakat kedepannya. Umumnya masyarakat pesisir merupakan masyarakat adat yang masih mempraktikkan kehidupan tradisional dan dengan ciri kemiskinan yang kental.

Oleh karena itu, pembangunan kawasan wisata harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar rasa kepemilikan, rasa kemitraan dan rasa tanggung jawab yang harus dimiliki masyarakat. Untuk konteks kepariwisataan sebagai sektor ekonomi, membangun visi bersama dan  peran serta partisipatif merupakan hal mendasar untuk menjawab tantangan keadilan dan kesetaraan. Aktivitas pariwisata tidak boleh meminggirkan masyarakatnya (apalagi kaum mudanya). Bentuk-bentuk kerusakan lingkungan dan pengabaian  hak asasi manusia di suatu destinasi akan mengganggu selera atau mood wisatawan dan memengaruhi niat melakukan repetisi kunjungan.  Agar  event  berbiaya mahal  ini dapat memberi manfaat jangka panjang.

Falaga 

Dalam pelaksanaan lomba selancar Pro 2022 ini, panitia lokal mengangkat  hastag #Falaga #RideTheWave. Sebenarnya apa makna dari kata “falaga”.

Rebecca Laia (akademisi) menyebutkan, kata ‘falaga’ merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia yang berasal dari kata ‘laga’ dilengkapi dengan imbuhan ‘fa’ yang dalam bahasa Nias yang menunjukkan kata kerja.  Sehingga ‘falaga’ diartikan sebagai berlaga atau bertarung. Falaga, dulu dikenal sebagai istilah dalam sabung ayam. Namun, falaga kini telah bergeser menjadi semacam budaya pop kaum muda Pantai Sorake.

Menurut Apolonius Lase, seorang pemerhati bahasa Nias dan praktisi media, di Nias bagian Utara dikenal kata ‘falaga’ juga sering disebut ‘falago’ yang artinya berlaga. Kata falago sering ditemukan pada tradisi beladiri silat tradisional. Untuk naik tingkat para pesilat harus berlaga dan juga harus melewati tahapan mata ditutup dan dituntut menemukan kepala ayam miliknya. Para pesilat berlaga di lapangan: si fasile falago ira ba danö lafa.

Istilah ‘falago’ atau ‘falaga’ lebih bermakna positif. Kemungkinan ‘falago’ berkembang dan memunculkan kata ‘fabago’ yang lebih berkonotasi negatif yang artinya berantem/berkelahi. Jadi, kata ‘falaga’ atau ‘falago’ sudah dikenal masyarakat untuk menunjukkan nuansa perlombaan atau pertandingan dalam bahasa lokal.

Lagundri dan Sorake kini  menjadi sebuah kawasan wisata yang terbuka.  Kedatangan wisatawan dan peselancar mancanegara membawa dampak positif terutama untuk pengembangan ekonomi. Peselancar biasanya menetap berbulan-bulan bahkan menahun, banyak juga kunjungan berulang setiap tahun. Ini menjadi  pemasukan daerah dan memberi keuntungan bagi masyarakat. Pada sisi lain,  interaksi antar wisatawan dengan masyarakat lokal terutama di wilayah Lagundri dan Sorake berdampak pada akulturasi dan perubahan sosial.

Akulturasi  kemudian  mewujud dalam perilaku sosial dengan nilai-nilai baru,  selera, gaya hidup, dan cara berkomunikasi. Peselancar lokal mengikuti  gaya dan kebiasaan peselancar mancanegara yang berciri kebebasan, kesenangan dan suka pada tantangan.  Hal itu diawali  dengan tumbuhnya minat kaum muda Sorake untuk belajar dan menguasai keterampilan berselancar dan kemudian membentuk komunitas. Kata ‘falaga’ kemudian muncul dalam proses menemukan ciri atau identitas mereka sebagai komunitas peselancar lokal di tengah perjumpaan antara budaya ‘barat’ dan tradisional Nias.

Maka, dalam pergaulan dengan  peselancar berbeda budaya, istilah ‘falaga’  digunakan menjadi simbol  yang menunjukkan identitas komunitas lokal. Kata ini menyirat makna jiwa kompetisi/bertarung, persahabatan, penguat identitas komunitas dan rasa kepemilikan. Peselancar mancanegara selalu mengucapkan ‘cheers’ saat bersulang  pada momen minum bir bersama. Ini bahasa pergaulan  sebagai  ungkapan kegembiraan dan pembauran. Maka, salam ‘falaga’ menjadi bahasa pergaulan dari komunitas lokal.

Nias Pro 2022 memperkenalkan slogan ‘Falaga’ tentu memiliki maksud. Falaga  sebagai simbol dan spirit kompetisi Nias Pro 2022 yang mengandung nilai-nilai yang positif berupa pertarungan atau kompetisi  yang sportif, penampilan terbaik, capaian yang gemilang dan kepuasan. Ini selaras dengan prinsip sport tourism yang merupakan simbiosis mutualisme antara pariwisata (bahari) dan olahraga. Diharapkan, spirit ‘falaga’ juga menjadi komitmen pemda dan stakeholders pembangunan pariwisata secara utuh. Tidak hanya menjadikan  Sorake dan Lagundri sebagai destinasi wisata bahari dunia, sekaligus sebagai pusat pembinaan dan produksi  peselancar Nias dan Indonesia yang unggul dan berkelas dunia.  Ayo falaga!

(Esther GN Telaumbanua, Inisiator/Pendiri Rumah Nias Heritage, Tinggal di Jakarta)

RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments