Oleh Apolonius Lase & Doni Kristian Dachi
Mendengar gerhana Matahari, semua warga di negeri ini, tak terkecuali masyarakat di Pulau Nias, memiliki memori yang takkan terlupakan hingga sekarang. Anda juga pasti punya pengalaman yang bisa dibandingkan dengan saat terjadinya gerhana matahari total, Rabu, 9 Maret 2016, ini.
Tiga puluh tiga tahun yang lalu, tepatnya 11 Juni 1983, merupakan hari bersejarah terkait fenomena jagat raya ini bagi masyarakat di Pulau Nias. Fenomena alam, Gerhana Matahari, ini terjadi ketika Bulan berada di antara Bumi dan Matahari yang mengakibatkan sebagian atau seluruh cahaya matahari terhalangi sampai ke Bumi.
Ada perbedaan yang sangat kontras di masyarakat dalam menyikapi peristiwa alam ini dibandingkan dengan keadaan 33 tahun silam. Kalau saat ini Pemerintah Republik Indonesia memanfaatkan gerhana Matahari total ini sebagai jualan pariwisata dengan mengajak orang menyaksikan keindahan gerhana matahari ini, pada 11 Juni 1983 itu justru kebalikannya. Saat itu, pemerintah di bawah kekuasaan Soeharto meminta masyarakat untuk tidak sekali-sekali melihat gerhana matahari itu karena akibatnya bisa fatal, yakni kebutaan total.
Kondisi saat itu benar-benar mencekam. Jauh-jauh hari imbauan kepada masyarakat begitu gencar dilakukan. Jangan bayangkan, alat komunikasi secanggih sekarang. Waktu itu, bisa dibilang, pemerintah benar-benar serius melakukan segala cara, dengan melibatkan pemerintahan daerah secara hierarki, termasuk lembaga keagamaan, pendidikan, serta partai politik. Ketika itu, Pulau Nias masih satu kabupaten, yakni Kabupaten Nias. Bupati ketika itu dijabat oleh Hanati Nazara.
Imbauan secara masif itu pun berhasil mengubah laku dan sikap masyarakat. Pesan yang sampai ketika itu adalah saat gerhana matahari pada 11 Juni 1983 masyarakat tidak boleh melihat cahaya matahari. Berapa lama, serta mulai jam berapa hingga berakhir jam berapa sudah bukan menjadi premis penting lagi. Pokoknya, di kalangan masyarakat Nias, satu hari itu dunia “harus gelap” atau “digelapkan”.
Sebelum hari gerhana, semua orang diminta untuk membuat kentongan dan wajib dibunyikan. Ini sebagai salah satu cara pemerintah ketika itu untuk memastikan semua warga saling diingatkan agar tidak melihat matahari ketika gerhana terjadi.
Jadilah, semua orang ketika itu dicekam rasa ketakutan. Ada kekhawatiran yang besar mata menjadi buta jika melihat cahaya. Memang ada beberapa informasi kita dapatkan dengan melihat di TVRI, yakni cara menyaksikan gerhana yang aman, ada yang dengan menggunakan kacamata khusus, ada juga yang bisa menggunakan air di baskom. Namun, informasi itu tidak semua bisa diserap secara nalar oleh masyarakat, terutama di kampung-kampung.
Kita ingat betul, ketika itu, setiap keluarga di Pulau Nias rata-rata masuk dalam sebuah kamar yang telah ditutup rapat tanpa ada sedikit pun celah yang bisa dimasuki cahaya. Bisa dibayangkan bagaimana pengapnya ruangan itu. Namun, semua terpaksa bertahan hanya dengan tekad yang sama, jangan sampai mata buta. Sebuah kepolosan serta ketaatan terhadap informasi yang disampaikan penguasa ketika itu.
Lebih ekstrem lagi. Ada warga yang membuat rumah di dalam rumah. Sebuah kamar di rumahnya dibuatkan atap baru lagi menggunakan daun sagu (bulu zaku) lengkap dengan dindingnya juga dari bulu zaku itu. Tak ada sedikit pun cahaya masuk.
Ketakutan yang tercipta ketika peristiwa itu harus dialami oleh masyarakat karena informasi yang diberikan pada mereka tentang bahaya gerhana Matahari begitu masif. Dan karena keterbatasan pengetahuan, masyarakat tidak mau mengambil risiko sedikit pun selain mengikuti larangan tersebut. Bahkan, maaf, untuk buang air besar dan kecil pun terpaksa harus dilakukan dalam ruangan gelap dan pengap tersebut.
Spanduk Pelarangan Melihat Gerhana Matahari
Tidak berbeda jauh dengan di Nias, di Jawa pun kampanye tentang gerhana matahari yang menyebabkan kebutaan gencar dilaksanakan ((Ward Keller, Sharp Rays: Javanese Responses to a Solar Eclipse, Indonesia, 1998)). Menurut Keller, seminggu sebelum gerhana Matahari total terjadi, media cetak dan elektronik sudah memuat Pelarangan melihat gerhana matahari.
“Dilarang keras melihat langsung gerhana matahari total. Mata Anda akan menjadi buta. Kecuali melalui siaran TVRI pukul 09.15 – 13.00”. Demikian inti dari pelarangannya. Narasi mistis tentang Batara Kala yang memakan Matahari juga dikembangkan seiring dengan pelarangan ini. Tak mengherankan apabila kemudian sebagian besar orang di Jawa tidak berani keluar rumah saat peristiwa gerhana Matahari terjadi.
Padahal, banyak Ilmuwan dan wisatawan asing yang mengamati gerhana dengan mata telanjang, tetapi tidak buta. Tercatat sekitar 400 astronom profesional dan amatir dari luar negeri antara lain Amerika, Jerman, Belanda dan India. Mereka menempati stasiun-stasiun pengamat di jalur kegelapan total, terutama di Tanjung Kodok Tuban, Bojonegoro dan Cepu ((Subekti, “Gerhana Matahari, Yang awam dan Ilmuwan”, Rekaman Peristiwa ’83, 1984))
Lalu, kenapa pelarangan ini dilakukan? Menurut John Pemberton dalam bukunya On the Subject of “Java”, Pemerintah mengembuskan isu ini untuk mengantisipasi agar para wisatawan dan ilmuwan asing yang datang melihat gerhana di Indonesia tidak terganggu ((John Pemberton, On the Subject of “Java”, 1994)).
Tahun 1983 memang sedang marak kejahatan yang dilakukan oleh GALI (Gabungan Anak Liar). Pemerintah Indonesia waktu itu yang mengharapkan kedatangan banyak wisatawan luar karena fenomena gerhana ini, tidak menginginkan adanya gangguan-gangguan terhadap mereka. Apabila GALI berulah, tentu akan membawa citra buruk bagi pariwisata Indonesia.
Kutipan Komandan Garnisun Yogyakarta, Letkol M. Hasbi yang dituliskan dalam buku James T. Siegel menyebutkan: “Kalau Tamu dari luar negeri nanti diganggu, mereka akan bilang: Jangan pergi ke Indonesia. Di sana banyak copet, garong. Kan kita rugi, padahal sekarang pariwisata sedang di galakkan” (( James T. Siegel, Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, 2000)).
Beruntunglah masyarakat kita saat ini dengan kondisi yang sangat berbeda, tanpa intervensi pemerintah, bisa menyaksikan gerhana Matahari secara bebas. Gerhana matahari sebagian dan total bisa disaksikan selama beberapa menit secara langsung oleh warga dengan bermodalkan kacamata khusus. Daerah yang dilintasi gerhana total seperti Palembang, Bangka, Palangkaraya, Palu, dan Ternate berbondong-bondong didatangi wisatawan Nusantara dan mancanegara. Tingkat hunian hotel pun penuh di sejumlah daerah. Tak ada ketakutan, justru gerhana disambut sukacita.
Tujuh tahun lagi, tepatnya 20 April 2023, akan terjadi lagi gerhana Matahari total. Namun, GMT itu hanya bisa disaksikan di Maluku dan Papua Barat. Adapun GMT seperti 9 Maret 2016 bisa terjadi lagi pada 250 tahun mendatang.
Fenomena semesta adalah karya Ilahi. Dengan ilmu pengetahuan dan informasi yang terbuka membuat insan manusia pun bisa menikmati dan bahkan menjadikan sebagai alat untuk meraup berbagai keuntungan demi kesejahteraan.