Oleh Wa’özisökhi Nazara
Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Nias seharusnya memiliki fungsi-fungsi three in one. Bahasa Nias tidak saja merupakan bagian, indeks, dan simbol budaya Nias. Bahasa Nias juga merupakan media untuk memenuhi kebutuhan menyampaikan atau menanggapi suatu informasi, baik mengenai masa lampau, mengenai masa kini, maupun mengenai masa depan. Ini sejalan dengan pendapat Grimes (2002), yang menyatakan bahwa bahasa berkembang bersama lingkungan masyarakat dan mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Bahasa digunakan untuk menuturkan cerita, menceritakan masa lampau, mengungkapkan rencana masa depan, mengungkapkan sastra (baik lisan maupun tertulis), dan mewariskan cara hidup. Ini menunjukkan betapa penting peranan bahasa Nias!
Saat ini bahasa Nias masih digunakan sebagai alat komunikasi pada berbagai ranah, terutama oleh (sebagian besar) penduduk di desa-desa di pulau Nias. Beberapa warga komunitas tertentu asal Pulau Nias, yang tinggal di beberapa daerah di luar Pulau Nias, terutama di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa juga masih menggunakan bahasa Nias ketika berkomunikasi dengan sesama warga asal Pulau Nias. Akan tetapi, ada beberapa fenomena yang memberi petunjuk bahwa kehidupan bahasa Nias memerlukan lebih banyak perhatian berbagai pihak.
Dalam beberapa tahun terakhir, interferensi bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) ke dalam bahasa Nias cenderung menjadi semacam invansi atau “penjajahan” bahasa. “Serangan” bahasa Indonesia (dan beberapa bahasa lain) terhadap bahasa Nias tidak saja menyangkut kosakata, melainkan juga meliputi elemen-elemen lain. Elemen-elemen lain bahasa Indonesia, misalnya, tidak lagi mengikuti kaidah yang berlaku dalam bahasa Nias. Salah satu hal yang menarik perhatian penulis mengenai penyusupan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Nias tersebut adalah kenyataan bahwa bahasa Indonesia menyusup, bahkan menggeser bahasa Nias, melalui orang Nias.
Sebagai contoh, di antara sekitar 40 “keluarga Nias” di sebuah kompleks perumahan di Padang, penulis belum menemukan suatu keluarga Nias yang warganya sepenuhnya menggunakan bahasa Nias sebagai alat komunikasi satu sama lain. Suami dan istri yang sama-sama orang Nias pun berkomunikasi dalam bahasa Nias bercampur bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah (Minangkabau, Batak, atau Jawa).
Akan tetapi, mereka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Minangkabau ketika berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Akibatnya, walaupun kedua orangtua penutur bahasa Nias, anak-anaknya tidak bisa berbahasa Nias, apalagi jika hanya salah satu orangtua merupakan penutur bahasa Nias. Anak-anak (keturunan) Nias di kompleks perumahan itu memang sering menggunakan bahasa daerah. Akan tetapi, bahasa daerah yang mereka gunakan bukan bahasa daerah Nias, melainkan bahasa Minangkabau dan kadangkala dicampurkodekan dengan bahasa Indonesia. Seperti ditegaskan oleh Ramadhani (2006), “etnis Nias yang memilih Ranah Minang sebagai “habitat”-nya menggunakan bahasa Minang dalam kehidupan sehari-hari”.
Globalisasi dan sikap bahasa “ono Niha”
Perkembangan pendidikan, teknologi komunikasi, dan pembangunan sarana transportasi juga berpengaruh terhadap kehidupan bahasa Nias. Kemajuan pendidikan, teknologi komunikasi, dan sarana transportasi telah memungkinkan penutur bahasa Nias berinteraksi dengan dunia luar (daerah, negeri). Bahasa yang digunakan ketika penutur bahasa Nias berinteraksi dengan dunia luar itu umumnya bahasa Indonesia atau bahasa asing. Bisa terjadi bahwa semakin tinggi frekuensi dan intensitas interaksi penutur bahasa Nias dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing, semakin akrab mereka dengan bahasa Indonesia atau bahasa asing itu. Bisa terjadi pula bahwa, dengan makin akrabnya mereka dengan bahasa lain, mereka makin terasingkan dari bahasa daerah Nias. Perubahan lingkungan dan budaya penutur bahasa Nias bisa berkontribusi terhadap keadaan yang disebutkan terakhir ini.
Bertambahnya jumlah kabupaten, kecamatan, dan sekolah berimplikasi pada penggunaan bahasa Nias. Para pejabat/pegawai pemerintahan—baik dari etnis Nias maupun dari etnis lain—pastilah orang-orang yang mampu berbahasa Indonesia, meskipun belum tentu mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Ini (bisa) menumbuhkan keyakinan bahwa penguasaan dan penggunaan bahasa Indonesia bermakna kekotaan, modern, dan terpelajar/profesional, sedangkan penguasaan dan penggunaan bahasa daerah Nias dianggap tradisional dengan konotasi kuno, terbelakang, kurang terpelajar/kurang profesional. Situasi ini jelas menguntungkan bagi perkembangan bahasa Indonesia, tetapi bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan bahasa daerah Nias.
Sikap bahasa sebagian orang Nias cenderung negatif. Sebagian orang Nias cenderung mengabaikan bahasanya karena alasan tertentu, ber-beda—misalnya—dengan masyarakat Batak Toba—yang menurut Siregar (1999)—sangat loyal kepada bahasa daerahnya dari segi tingkat kekerapan penggunaan bahasa dan ranah penggunaan bahasa daerah. Juga berbeda dengan penutur bahasa ‘Bakumpai’—yang tetap setia menggunakan bahasa Bakumpai di mana pun mereka berada meskipun sangat jauh dari kampung halamannya “Masyarakat Bakumpai tidak merasa rendah diri jika menggunakan bahasa ibunya, meski jika sedang berada tengah khalayak luas” (Abdussami dan Syadzali 1999).
Beberapa perubahan yang sedang berlangsung menyebabkan pertarungan bahasa Nias dengan bahasa Indonesia (dan bahasa asing dan bahasa daerah lain) makin tidak seimbang. Bahasa Nias dengan dukungan dan fasilitas sangat terbatas berhadapan dengan bahasa Indonesia dan bahasa lain yang “dukungan dan fasilitasnya” jauh lebih memadai. Di beberapa “medan tempur” bahasa Nias bagaikan seorang prajurit sedang meregang nyawa ketika mentari terbenam di ufuk barat di musim hujan. Oleh sebab itu, hampir bisa dipastikan bahwa bahasa Nias, seperti halnya beberapa bahasa daerah lain yang dukungan dan fasilitasnya sangat terbatas, akan menyerah.
Kamus Li Niha (Nias−Indonesia), yang ditulis oleh talifusöda Apolonius Lase, ini merupakan dukungan sangat positif terhadap “bahasa Nias yang sedang bertarung tanpa baluse dan fanimbu, tanpa balatu dan toho, tanpatetenaulu dan öröba”! Kamus Li Niha ini bisa digunakan sebagai satu acuan dalam pembelajaran bahasa Nias, karena kamus ini berisi banyak kosakata dan contoh penggunaannya dalam kalimat.
Ada tiga komponen utama yang ada pada setiap bahasa, termasuk bahasa Nias: sistem bunyi, kosakata, dan tatabahasa. Tiga elemen penting ini mendapat perhatian dalam Kamus Li Niha ini. Oleh sebab itu, kehadiran kamus yang pasti berguna ini patut disyukuri dan disambut dengan gembira, faritia dan aramba. Tuhan memberkati! [Wa’özisökhi Nazara, Email: Nazara_2010@yahoo.com; HP. 081267512345]
Artikel ini pernah ditayangkan di Nias-bangkit.com dan diterbitkan di sini hanya semata-mata untuk keperluan dokumentasi.