Narasumber/Moderator: Pastor Postinus Gulö, OSC
Pada Senin, 2 Oktober 2017, Grup Whatsapp Orahua Tötönafö (OTT) kembali menyelenggarakan diskusi. Peserta diskusi adalah orang Nias yang berdomisili di Nias dan perantauan. Pada diskusi ini “hadir” Marinus Waruwu (Bandung), Noverius Laoli (Jakarta), Famataro Waruwu (Jakarta), Apolonius Lase (Jakarta), Postinus Gulö (Italia), Nefos Daeli (Yogyakarta), Yosafati Gulö (Solo), Otnielizaro Waruwu (Jakarta), Yupiter Gulö (Jakarta), Sun Theo Constan Lötebulö Ndruru (Bandung), Fidelis Waruwu (Jakarta), Frans Halawa, Elisati Hulu (Bandung), Astrid Telaumbanua (Nias), Alden Harefa, Doni Kristian Dachi (Jakarta), dan semua anggota grup berjumlah 63 orang.
Mereka berprofesi sebagai pejabat pemerintahan daerah, mantan pejabat, DPRD, pakar pendidikan, motivator/trainer, pensiunan, rohaniawan, dosen, karyawan swasta, wartawan, dan para mahasiswa asal Nias yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri seperti Belanda, Italia, dan lain-lain. Diskusi berlangsung dari Pukul 17.00–22.30 WIB. Tema diskusi membahas tentang “Implementasi Böwö di Pulau Nias (Masalah dan Solusi)”. Hadir sebagai pembicara sekaligus sebagai moderator adalah Pastor Postinus Gulö, OSC. Postinus Gulö merupakan mahasiswa lisenza hukum kanonik Universitas Grogoriana, Roma, Italia. Pada tahun 2011, beliau meneliti secara serius Pelaksanaan Böwö di Pulau Nias, khususnya di Öri Moro’ö, Kabupaten Nias Barat. Pada 2015, hasil penelitian tersebut telah diterbitkan menjadi buku oleh Unpar Press.
Pastor Postinus memulai materinya dengan sebuah ajakan, “Mari menawarkan solusi agar böwö dipahami sebagai “masi-masi”. Dia menceritakan pengalamannya ketika melakukan penelitian pada 2011. Dalam wawancara dengan berbagai narasumber (tokoh adat), literatur, forum diskusi dalam grup (FGD), akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa arti sejati böwö adalah masi-masi, nibe’e si’oroi dödö, tenga ni’andrö ba tenga siso sulö, artinya bukti kasih, pemberian dari hati, bukan diminta dan tanpa menuntut balasan (Postinus, 2015: 80). Ini nilai dasariah dari böwö. Material böwö (ana’a, bawi, fakhe, kefe) untuk mengungkapkan “masi-masi”, bukan harga perempuan!
Menurut dia, istilah kata böwö berasal dari kata oböwö. Oböwö dalam bahasa Nias merupakan sebuah karakter, yang berarti murah hati. Maka tidak tepat jika “Orang bermurah hati dengan meminta nilai materi böwö yang begitu besar kepada mempelai”. Jika atas dasar masi-masi, seharusnya orangtua atau pihak paman (sibaya) dan pihak terkait lainnya justru menunjukkan masi-masi kepada kedua mempelai, dan tidak tepat jika meminta biaya perkawinan di luar kesanggupan ekonomi mereka.
Upaya menyederhanakan böwö pernah dilakukan melalui berbagai kajian teoretis, pemerintahan daerah dan tokoh agama. Sekitar tahun 1920-an, Violet Clifton mengunjungi Pulau Nias. Salah satu yang ia komentari adalah mengenai besarnya mas kawin perkawinan Nias. Komentarnya tersebut ia tulis dalam bukunya berjudul Islands of Queen Wilhemina, diterbitkan tahun 1927 oleh penerbit Constable and Company Ltd, London. Violet Clifton seorang penulis terkenal berkebangsaan Inggris. Ia mencatat bahwa karena mahalnya mas kawin perempuan Nias, banyak masyarakat Nias hidup tanpa menikah atau hidup selibat.
Clifton mencatat demikian: «The price of women is very high, even one of low degree costing in pigs the value of from twenty to twenty-five pounds. Many Nias men must, therefore, live permanently virgin» (1927: 73). Di halaman lain dalam bukunya itu, Clifton kembali menulis: «The women in Nias have a high price; they are valued against gold» (1927: 89). Rupanya kesadaran masyarakat adat untuk bersedia menyederhanakan mas kawin dan biaya pesta perkawinan (tetapi tetap mempertahankan budaya yang baik), sangat lamban.
Dalam paparannya, Postinus memberikan contoh bagaimana DPRD Kabupaten Nias (1983) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Nias (2002) pernah berinisiatif mengajak masyarakat Nias agar mau menyederhanakan mas kawin dan biaya pesta perkawinan adat Nias. Alasan utama ajakan itu adalah biaya perkawinan Nias menjadi “salah satu” (bukan satu-satunya) penyebab kemiskinan masyarakat sederhana di desa-desa. Kemudian Pastor Matias Kuppens OSC, misionaris dari Belanda, pada 1991 kembali menggelorakan agar masyarakat Nias mau menurunkan besarnya mas kawin Nias. Pada 2009, Tim Sinode Keuskupan Sibolga kembali melakukan penelitian. Hasilnya: masih menemukan bahwa biaya perkawinan di Nias menjadi salah satu permasalahan “kemiskinan di bidang ekonomi” bagi masyarakat biasa yang punya penghasilan sangat rendah.
Kemudian Schroder (1917), seorang ilmuwan Jerman,, mencatat jumlah böwö dari berbagai daerah. Jumlahnya selalu berbeda-beda dan tidak ada aturan yang tetap. Tiap daerah memiliki ketentuan sendiri dalam menetapkan jumlahnya. Yang menarik dari catatan Schroder, jumlah böwö berkorelasi dengan status/bosi seseorang. Mereka yang memiliki bosi rendah, jumlah böwö-nya berbeda dengan mereka yang mempunyai bosi tinggi. Schroder mencatat total keseluruhan böwö yang dibayarkan adalah 237 florin (gulden). Schroder kelihatannya melihat böwö itu sebagai mahar.
Masalah
Di bawah ini faktor-faktor yang menyebabkan implementasi böwö melenceng dari definisi awal sebagai masi-masi sebagai berikut.
Pertama, sebagian masyarakat (terutama orangtua) masih melakukan hitung-hitungan terhadap anak perempuannya, merasa sudah capek membesarkan anak, telah berhasil menyekolahkan tinggi-tinggi dengan pengorbanan yang besar, baik materi maupun moril. Karena itu memiliki hak untuk meminta nilai böwö yang mahal.
Kedua, kentalnya rasa utang budi sebagian masyarakat. Karena sudah menerima banyak urakha, sinema dari anggota masyarakat yang lain, muncul perasaan berutang budi, ketika giliranya, misalnya dia menikahkan anaknya, dia harus membalas memberikan setidaknya setimpa dengan apa yang pernah ia terima. Hal itu seringkali memicu para orangtua meminta mahar/jujuran yang tinggi. Mahar/jujuran digunakan untuk biaya zinema saudara, para tetua adat atau tamu-tamu terhormat, dll.
Ketiga, orangtua pihak perempuan biasanya “tak berdaya” dan cenderung mengikuti standar talifusö orangtua dalam menentukan bőwő. Besaran böwö erat kaitannya dengan zinema (besaran yang diterima oleh para pihak). Ketika keluarga perempuan “salah” dalam menetapkan besaran mböwö, alhasil mereka mendapatkan gerutuan (baca: amarah) dari saudara dan pihak lain yang menerima sinema.
Keempat, biaya pesta dan perhiasan pengantin perempuan seperti baju ni’owalu, aya, gala mbölökha, laeduru, dll dihitung dengan angka yang besar.
Kelima, ketidaktahuan dan cara berpikir masyarakat masih dangkal. Sebagian masyarakat masih meletakkan harga diri pada apa yang terlihat di permukaan dan bukan apa yang sudah dia lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Solusi
Masalah penerapan bőwő tersebut perlu menjadi kajian bersama. Dalam diskusi, sahabat OTT memberikan beberapa solusi terhadap permasalahan bőwő sebagai berikut:
Pertama, böwò harus dikembalikan ke makna awalnya sebagai masi-masi, tidak memberatkan pengantin. Böwö dalam arti masi-masi adalah be’elö fao fa’owua-owua dödö, fa’ahele dödö ba tandra wa so wa’omasi (pemberian yang diikuti dengan rasa sukacita, keikhlasan; sebagai bukti kasih sayang. Böwö (dalam arti biaya materialnya) disederhanakan, supaya keluarga baru, anak sendiri, tidak menderita terlilit utang. Misalnya, Pastor Matias Kuppens, OSC pada waktu itu (1991-2005) pernah meminta kedua pihak agar selalu duduk bersama dan membicarakan dengan baik biaya yang tidak membebani.
Kedua, penyederhanaan böwò harus dimulai dalam keluarga sendiri dan perlu menjadi gerakan bersama di masyarakat. Contoh gerakan bersama yang pernah digaungkan Pastor Matias. Ia pernah meminta agar biaya perkawinan sesuai dengan keadaan ekonomi pengantin laki-laki ataupun perempuan. Ini diberlakukan untuk umat Katolik. Masalahnya adalah umat lain di luar gereja Katolik tidak berubah dan mereka berbondong-bondong menikahi umat Katolik. Persoalan muncul karena ajakan ini tidak menjadi gerakan bersama antar-agama.
Ketiga, masyarakat perlu diberikan pemahaman soal hakikat sebuah pernikahan. Apalagi zaman sudah berubah, tidak lagi ada böli gana’a; tidak ada lagi ono owöliwa; yang ada ono nihalö. Ini menyiratkan bahwa pengantin perempuan diangkat menjadi anak oleh orangtua pengantin laki-laki.
Keempat, kedua belah pihak membangun pendekatan musyawarah antara keluarga laki-laki dan perempuan. Mereka perlu menanggung biaya pernikahan secara bersama. Skala prioritas biaya penyelenggaraan pesta pernikahan harus ditentukan secara efektif dan efisien. Sementara biaya yang tidak perlu dan memberatkan seperti simbi dan sinema perlu dipangkas. Orangtua perempuan pun perlu memberi pengertian kepada pihak saudara, ketua adat agar keputusan ini diterima semua pihak.
Kelima, peningkatan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif nilai böwò yang tinggi melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pemberdayaan ekonomi.
Keenam, pemerintah daerah dan gereja perlu memfasilitasi agar lembaga-lembaga adat perlu melakukan evaluasi dan reformasi/revitalisasi sistem pernikahan fondrakö dan menyesuaikan diri dengan zaman yang berubah ini. Perubahan adat harus dilakukan internal adat sendiri sehingga berjalan lebih alami.
Ketujuh, pemerintahan daerah dan Gereja perlu memampanyekan penyederhanaan nilai böwö melalui seminar dan pertemuan-pertemuan agar dalam masyarakat terjadi proses internalisasi, keterbukaan kesadaran sehingga mendorong untuk mempraktikkan böwö yang sederhana.
Usulan Program Khusus:
- Menciptakan lagu-lagu (bagus kalau dalam bahasa Nias) yang isinya menyerukan penyederhanaan böwö, tujuan dan hakikat pernikahan. Rekaman lagu-lagu ini dibagikan secara gratis agar semua masyarakat Nias bisa mendapatkannya dan bisa mendengarkan syair dan lagunya sesering mungkin.
- Membuat film yang mengisahkan akibat böwö sebua (ada baiknya juga dibuat kisah sebaliknya, kisah atau efek positif dari böwö yang disederhanakan). Video yang berisi kisah akibat böwö sebua sudah ada juga, tinggal ditingkatkan lagi dan diteruskan. Film khusus ini juga perlu dibagikan gratis, supaya sebanyak mungkin masyarakat Nias bisa mendapatkan dan menontonnya.
- Pemerintah daerah perlu gencar mengampanyekan penyederhanaan böwö. Pemerintah daerah perlu membuat program dan panduan tentang penyederhanaan böwö, disosialisasikan sampai ke desa-desa. Di setiap ada rencana acara pernikahan di desa, di situlah kesempatan bagi aparat desa untuk menyampaikan/menyosialisasikan ini ke pihak keluarga, termasuk ke pihak-pihak lain yang sangat terkait seperti pihak uwu (keluarga pihak paman/sibaya), tana nama (keluarga saudara ayah) dan talifusö (saudara pengantin), dll.
- Gereja perlu punya program dan panduan mengenai konsep penyederhanaan böwö. Perlu terus menyerukannya melalui khotbah di gereja-gereja dan berbagai pertemuan, termasuk pembinaan calon pengantin dalam bentuk kursus persiapan pernikahan (atau nama lainnya). Persiapan bagi calon pengantin ini perlu dipandang penting, pelaksanaannya juga harus disiapkan dengan baik.
- Menciptakan semboyan-semboyan yang akan disebarkan kepada sebanyak mungkin masyarakat, dalam bentuk pamflet, poster, banner, surat edaran, dan sebagainya, yang akan ditempelkan atau diletakkan di tempat-tempat yang mudah dilihat, seperti di kantor-kantor pemerintah sampai ke desa, bahkan di kantor-kantor swasta, di gereja-gereja, tempat pertemuan, di kendaraan umum. Ungkapan-ungkapan seperti: “Menikah tanpa berutang” “Saya bukan böli gana’a, bukan owöliwa, saya ono nihalö.”, “Pernikahan adalah böwö fa’omasi dan panggilan suci”, “Hadia hareu na onou tobali numana börö mböwö sebua”, dll. Seruan melalui tulisan-tulisan yang berisi pencerahan menggiring masyarakat untuk mau mempraktekkan. Semakin baik ketika ada penelitian-penelitian yang akan dilakukan terkait hal-hal ini, sehingga upaya-upaya yang kita kembangkan seterusnya bisa lebih meyakinkan lagi (ilmiah) karena didasarkan pada hasil2 penelitian.
- Di acara-acara besar, seperti Pesta Ya’ahowu, dapat disisipkan kemasan rangkaian acara yang fokusnya mengampanyekan penyederhaan böwö melalui seminar-seminar, sayembara, kesaksian dari pelaku kejadian ini (korban böwö sebua), dan atraksi-atraksi budaya, dan sebagainya, yang kesemuanya berisikan pesan penting ini kepada seluruh masyarakat Nias.
Usulan penyederhanaan böwö tersebut dapat menjadi masukan untuk pemerintahan daerah dan Gereja di Nias. Kedua lembaga tersebut perlu bergandengan tangan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar mengembalikan nilai böwö sebagai masi-masi. Sebab status sosial/harga diri keluarga/perempuan pertama-tama tidak terletak pada böwö sebua, melainkan pada acara pernikahan yang bisa terlaksana ba wa’owuawua ba fahasara dödö, terciptanya suasana bahagia yang menyertai keluarga baru tersebut. Itulah arti böwö dalam arti masi-masi. Semoga!