Oleh Memoriang Zebua, E-mail: memoriangzebua@yahoo.com
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Bali
Saat Natal, apa yang paling dirindukan ketika ingatan perayaan sakral ini berkelebat lagi dalam benak kita. Mari pikirkan sesuatu yang sederhana. Tidak perlu mengkhayalkan yang berlebihan. Sesuatu yang bisa mengantar kita menikmati kebersahajaan, tetapi sekaligus membuat kita menemukan makna Natal yang sesungguhnya.
Ada banyak manifestasi ketika orang-orang merayakan sukacita Natal. Ada yang menyiapkan kado. Ada yang membeli baju baru, sepatu baru, dan segala asesoris yang melekat di badan. Ada yang mempersiapkan pohon natal dan dekorasinya. Ada yang sibuk dengan kuliner natal. Semua mengklaim kesibukan itu sebagai ritual natal yang harus ada setiap tahun. Hiruk-pikuk. Gegap gempita. Mal-mal di kota besar menghamparkan spanduk promo besar-besar lengkap dengan atribut-atribut natal, menanti serbuan konsumen yang sudah tidak sabar merogoh kocek, membelanjakan uangnya. Yang tidak punya uang, pastinya hanya bisa gigit jari sambil berdoa semoga Natal berikutnya bisa mengumpulkan uang untuk membeli paling tidak sebuah pohon natal kecil, yang dihiasi lampu kelap-kelip.
Saya merindukan hal yang sederhana untuk Natal tahun ini. Saat segala sesuatu yang terjadi di sekitar begitu bising dan melelahkan. Saya merindukan pulang. Kata yang meringkaskan deretan kenangan tentang Natal yang sederhana, Natal yang bersahaja, Natal yang membuang segala bungkusan duniawi dan hanya memunculkan maknanya yang sesungguhnya. Saya rindu sebatang lilin yang kecil, yang menyala dalam genggaman tangan yang erat sementara di sekitar gelap gulita. Alunan kidung yang syahdu, mengalun indah sebagai pujian kepada sang khalik karena kasih-Nya yang besar kepada manusia yang berdosa. Natal yang damai. Natal yang jauh dari konflik dan pertentangan, apalagi permusuhan. Natal yang tidak dibungkus dengan segala atribut dan embel-embel yang kerap menghadirkan kontroversi. Natal yang syahdu yang hanya bisa hadir jika umat yang merayakannya memahami makna yang sesungguhnya. Buang keegoisan. Buang pesta pora. Buang segala gengsi. Buang kesombongan.
Ketika kita mengulurkan tangan, berjabat tangan yang erat bahkan dengan mereka yang berbeda, di situlah hakikat Natal hadir. Ketika kita menatap dengan hangat dan tidak membuang muka, menyapa dengan senyum yang ikhlas, mengembangkan tangan, memeluk dan menerima kehadiran mereka yang bahkan mungkin memusuhi kita, di sanalah makna Natal yang sejati dapat ditemukan. Bukan pada sebatang pohon dililit lampu kelap-kelip yang tingginya bisa lebih dari 1 meter atau pada kain pita warna-warni yang menghias rumah dari teras sampai kamar mandi, bukan pada asesoris, bukan pada dekorasi, bukan pada kostum berwarna merah dan putih, terbuat dari beludu lengkap dengan topinya. Natal sejati tidak ada di sana. Itu semua hanya bungkusan. Hanya kulit yang miskin arti dan makna. Jangan terpaku.
Natal kembali tiba. Kerinduan untuk pulang semakin menggeletar. Semoga tahun ini bisa tercapai. Untuk membuang kepenatan, kegelisahan, ketakutan dan kemunafikan. Kerinduan untuk pulang yang menadahkan pengharapan semoga damai Natal merangkul semua manusia dengan segala perbedaan yang ada.