Pembaca Kabar Nias tentu tidak lupa dengan kasus yang sempat menghebohkan kita pada Oktober 2015, yakni kasus dugaan penghinaan yang dilakukan oleh seorang pemilik toko handphone terhadap karyawannya di Kota Gunungsitoli. Kadali, pemilik toko itu, menggantungkan tulisan bernada menghina di leher karyawatinya yang bernama Mawar, yang ia duga telah mencuri pulsa Rp 136.000. Kasus itu pun memicu kemarahan masyarakat yang melihat saat itu.
Tak mau ambil risiko yang lebih besar dan masif, karena sempat terjadi pelemparan toko Yanto oleh massa, kasus ini pun ditangani pihak Kepolisian Resor Nias setelah orangtua korban mengadukan Kadali alias Sugianto Kosasi alias Yanto pada saat itu juga. Pihak kepolisian langsung mengamankan Yanto meskipun tidak dilakukan penahanan ketika itu.
Untuk mengendalikan keadaan, Polres Nias mengumpulkan para tokoh masyarakat, muspida, bahkan anggota DPRD Kota Gunungsitoli di Markas Polres Nias di Jalan Melati, Gunungsitoli. Kasus itu pun disepakati bersama bahwa tidak ada unsur SARA dalam kasus itu.
Namun, selang beberapa lama, dengan dikomandoi oleh Wali Kota Gunungsitoli Martinus Lase, Yanto pun dikenai sanksi adat dengan membayar sejumlah uang dan simbi mbawi (rahang babi). Wali Kota menggandeng Lembaga Budaya Nias (LBN). (Baca: Dinilai Menghina Perempuan, Yanto Bayar Sanksi Rp 22,5 Juta)
Sontak, pemberian sanksi ini pun menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, terlebih lewat jejaring sosial. Publik mempertanyakan kedudukan hukum Wali Kota Gunungsitoli serta LBN dalam memutus hukuman adat atas Yanto. Publik lebih menginginkan kasus itu lebih elegan dan adil diselesaikan oleh pihak berwajib saja. Meskipun begitu, faktanya, Wali Kota Gunungsitoli Martinus Lase dan LBN tetap menghukum Yanto secara adat.
Bahkan, publik pun berspekulasi, pemberian sanksi terhadap Yanto diduga sebagai kampanye terselubung” yang dilakukan oleh Martinus Lase untuk menarik simpatik masyarakat yang kebetulan dalam waktu bersamaan menjadi kontestan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015. Martinus Lase dituding melakukan politisasi kasus itu. (Baca: Bayangan SARA dan Politisasi Kasus Yanto-Mawar)
Setelah berapa lama, publik pun bertanya. Lalu, setelah pemberian sanksi atas Yanto, apakah kasus ini serta-merta selesai secara hukum juga? Bagaimana dengan pengaduan yang sedang ditangani oleh Polres Nias?
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Nias Ajun Komisaris (AKP) Selamat Kurniawan Harefa, Sabtu (13/2/2016), menegaskan bahwa kasus ini diteruskan.
“Kasus itu sudah masuk tahap penyidikan polisi. Belum ada pencabutan perkara dari keluarga korban,” ujar Selamat. Ia tidak merinci progresitas penyidikan yang dilakukan oleh Polres Nias.
Pihak kepolisian tentu berpegang pada prinsip-prinsip hukum. Sepanjang sebuah laporan perkara belum dicabut, kasus tersebut tetap diproses hingga memperoleh kepastian hukum. Namun, hingga sekarang, kasus ini pun belum dilimpahkan ke kejaksaan. (Baca: Sampaikan Permintaan Maaf, Yanto Tetap Diproses Secara Hukum)
Selamat Kurniawan menegaskan bahwa bahwa kasus Yanto adalah delik aduan dan memang ada peluang dilakukan pencabutan perkara oleh pihak yang mengadu. Artinya, meskipun Polres Nias tetap melanjutkan penyelidikan perkara, tetapi jika pihak keluarga korban hendak menyampaikan surat pencabutan perkara akan mempertimbangkan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3). “Kalau berkas lengkap dan sudah diserahkan akan dipertimbangkan.”
***
Bagaimana dengan pihak Yanto dan pihak keluarga korban yang mengajukan pengaduan? Kita peroleh kabar bahwa kedua belah pihak ini telah melakukan perdamaian dan menghasilkan surat kesepakatan.
Dalam surat kesepakatan itu, pihak korban berjanji segera mencabut perkara di Polres Nias. “Kami sudah damai dan keluarga korban berjanji mencabut perkara,” ujar Yanto, di tokonya Jalan Sirao atau depan eks Hotel Gomo Kota Gunungsitoli, beberapa waktu lalu, sambil menunjukkan salinan surat perdamaian itu.
***
Kita mendorong kepada Polres Nias untuk bisa memberikan kepastian hukum terhadap kasus yang sempat heboh ini. Jika memang diteruskan ke penyidikan dan dilimpahkan ke kejaksaan, dibutuhkan waktu berapa lama lagi? Untuk diketahui, kasus ini terjadi 15 Oktober 2015, artinya sudah lebih kurang empat bulan berlalu.
Pihak keluarga korban jika sudah melakukan perdamaian dengan Yanto tentu memiliki kewajiban moral untuk memenuhi dan menghormati kesepakatan yang dibuat bersama. Kita tentu tidak ingin kasus semacam ini dijadikan sebagai alat untuk menekan pihak mana pun untuk sekadar mendapatkan keuntungan materi. Semoga sinyalemen itu tidak terjadi. [knc02w]