Oleh Wa’özisökhi Nazara
Spradley (1997: xx) mendefinisikan budaya sebagai “sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasi dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka.” Definisi ini mengandung sejumlah hal pokok. Pertama, budaya adalah sistem pengetahuan. Kedua, sistem pengetahuan yang disebut budaya itu merupakan hasil proses belajar (bdk. Carol dalam Ihroni, 1996: 18). Ketiga, budaya terkait dengan interpretasi dan perilaku masyarakat terhadap dunia sekelilingnya.
Sebagai hasil proses belajar dan terkait dengan dunia sekeliling masyarakat, sistem pengetahuan yang disebut budaya tersebut di atas bersifat dinamis. Kedinamisan budaya itu bergantung pada masyarakat pemilik dan pendukungnya, proses belajar yang berlangsung, dan keadaan serta tuntutan dunia sekeliling masyarakat itu. Dengan demikian, budaya bisa berubah. Sebagai contoh, budaya berbahasa Bali pada generasi tertentu telah mengalami perubahan. Pemakaian bahasa Bali pada generasi tertentu pada ranah keluarga, baik di dalam maupun di luar lingkungan keluarga, telah diganti dengan pemakaian bahasa Indonesia (Bagus, 1999: 11).
Budaya Nias, seperti halnya budaya-budaya lainnya di dunia, telah mengalami sejumlah perubahan atau pergeseran. Salah satu di antara budaya Nias yang telah mengalami perubahan atau pergeseran itu adalah makna nama. Hingga beberapa tahun silam, nama memiliki makna tertentu dan sangat signifikan pada masyarakat Nias. Sebaliknya, sejak beberapa tahun terakhir, makna nama itu telah mengalami pergeseran yang sangat drastis sebagai akibat dari sejumlah perubahan yang melanda pemilik dan pendukung budaya Nias, proses belajar budaya Nias, dan perubahan dunia sekeliling atau lingkungan masyarakat Nias.
Pergeseran makna nama pada masyarakat Nias, sebagaimana telah disinggung di atas, jelas berdampak negatif. Pergeseran makna nama itu tidak hanya berdampak pada masyarakat Nias, sebagai pemilik dan (seharusnya sebagai) pendukung budaya Nias, tetapi juga memorakkan teori antropologi (sosial) budaya yang didasarkan pada hasil penelitian terhadap budaya masyarakat di masa lampau di mana budaya (dalam hal ini nama) merefleksikan status sosial serta hubungan seorang atau sekelompok anggota masyarakat dengan seorang atau sekelompok anggota lain dalam suatu masyarakat.
Ada sejumlah pertanyaan yang terkait dengan pergeseran makna nama pada masyarakat Nias: Bagaimana masyarakat Nias memandang dan memperlakukan nama? Mengapa terjadi pergeseran makna nama pada masyarakat Nias? Sejauh mana pergeseran makna nama tersebut berpengaruh negatif/positif pada masyarakat Nias? Bagaimana proses bergesernya makna nama pada masyarakat Nias? Bagaimana cara menghadapi kecenderungan bergesernya makna nama pada masyarakat Nias tersebut? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan didiskusikan dalam tulisan berjudul “Pergeseran Makna Nama pada Masyarakat Nias” ini.
Makna Nama pada Masyarakat Nias (Sampai Tahun 1970-an)
Sampai tahun 1970-an, masyarakat Nias begitu peduli dengan nama. Pada waktu itu, nama terasa begitu akrab dan penting bagi masyarakat Nias. Begitu banyak upacara adat (sebagai manifestasi budaya) di mana nama muncul sebagai bagian signifikan dari upacara-upacara itu. Banyaknya upacara adat di mana nama merupakan sesuatu yang strategis dan signifikan secara budaya merupakan bukti bahwa nama sangat bermakna pada masyarakat Nias” (Halawa dkk, 1983: 1-15).
Upacara yang terkait dengan nama telah dimulai ketika seorang bayi berusia sekitar delapan hari. Upacara yang diselenggarakan sekitar delapan hari setelah seorang bayi lahir tersebut disebut famatörö döi (upacara pemberian nama). Upacara pemberian nama ini dihadiri oleh warga suatu masyarakat. Semakin tinggi status orangtua sang bayi secara adat, semakin banyak warga masyarakat yang menghadiri upcara itu. Jika orangtua sang bayi seorang tuhenöri (raja), upacara pemberian nama itu dihadiri oleh warga öri (beberapa kecamatan); sebaliknya, kalau sang bayi adalah anak niha mbanua (warga biasa), upacara pemberian nama hanya dihadiri oleh warga banua (desa), warga adat yang lingkupnya lebih kecil di wilayah seorang salawa hada, atau bahkan hanya oleh kerabat dan tetangga dekat.
Orangtua berstatus raja harus menyediakan puluhan babi pada upacara pemberian nama anaknya. Sebaliknya, orangtua berstatus masyarakat biasa, dalam upcara pemberian nama bayinya, mungkin hanya menyediakan seekor babi. Babi yang digunakan pada upacara pemberian nama bayi orang biasa juga tidak sebesar babi yang digunakan upacara pemberian nama anak salawa, apalagi anak tuhenöri.
Walaupun tidak wajib, orang yang datang ke upacara pemberian nama biasanya mamuala (memberi hadiah). Orang (lebih-lebih ketua adat buala (kado) yang diberikan kepada bayi oleh para undangan juga berbeda antara masyarakat biasa dan masyarakat berstatus tinggi. Jenis dan besar buala (biasa berbentu emas atau perak) bergantung pada status adat undangan dan hubungannya dengan orangtua bayi, status adat orangtua bayi, dan besarnya upacara (sesuai dengan status adat orangtua bayi).
Nama seorang bayi biasanya diberikan oleh orangtuanya. Sebelum upacara pemberian nama berlangsung orangtua biasa sudah menyediakan sebuah nama untuk bayinya. Walaupun sudah ada, nama tersebut belum digunakan untuk memanggil sang bayi. Sejak lahir hingga diberi nama, seorang bayi biasa dipanggil onomao. Nama yang sudah ada itulah yang akan diusulkan pada upacara pemberian nama. Jika dianggap pantas (sesuai dengan status adat orangtua bayi) dan disetujui oleh pihak-pihak terkait (satua, salawa, dan ere) maka nama yang diusulkan oleh orangtua bayi didoakan dan disahkan oleh ketiga pihak tadi. Sebaliknya, bila ada yang menganggap bahwa nama yang diusulkan tidak layak bagi bayi yang bersangkutan, maka pihak-pihak terkait tadi segera mencari nama yang dianggap lebih cocok.
Orangtua bayi (seharusnya) sangat hati-hati dalam memilih nama yang hendak diberikan pada bayinya. Nama yang diusulkan harus bisa mencerminkan jenis kelamin bayi (nama perempuan tidak sama dengan nama laki-laki). Selain harus mencerminkan jenis kelamin, nama yang hendak diberikan pada sang bayi harus sesuai dengan status adat orangtua (terutama ayah) sang bayi. Nama yang dipilih lebih baik dari yang seharusnya pasti mengundang sindiran sinis dan tajam dari berbagai pihak.
Kekhawatirkan terhadap munculnya sindiran sinis dan tajam dari masyarakat mendorong orangtua bayi memilih nama yang benar-benar sesuai dengan status adatnya; bahkan masyarakat berstatus paling rendah cenderung memilih nama yang lebih rendah daripada yang seharusnya. Misalnya, ada masyarakat biasa yang menamai anaknya Ki’ogulö (secara harfiah berarti ekor ular) atau Talingahenu (secara harfiah berarti kuping kelelawar).
Pemilihan nama yang sesuai dengan status adat atau lebih rendah tersebut menyiratkan bahwa masyarakat Nias memegang teguh prinsip lebih baik merendah daripada direndahkan. Prinsip lebih baik merendah daripada direndahkan didasarkan pada kesadaran masyarakat Nias bahwa So wofo yawa mba’e (masih ada burung di atas monyet/tidak ada yang sempurna) dan bahwa harga diri atau nama baik harus dijaga (sökhi mate moroi aila/lebih baik mati daripada malu).
Di samping nama yang diberikan ketika masih bayi, seseorang bisa menyandang sejumlah nama. Sebagai contoh, seorang anak sulung bisa mendapat sejumlah nama selama dia belum kawin. Setiap pesta adatfalöwa untuk meningkatkan atau mengukuhkan status adat suatu keluarga maka maka ada tiga orang yang diberi nama baru dalam keluarga itu, yakni ama (ayah), ina (ibu) dan ono sia’a (anak sulung yang laki-laki).
Nama yang diberikan pada ketiga orang tersebut disesuaikan dengan status adat yang telah dicapai dengan pesta adat yang diselenggarakan oleh keluarga yang bersangkutan. Nama yang diberikan pada seseorang pada pesta adat tersebut di atas merupakan panggilan atau nama resmi yang bersangkutan dalam upacara-upacara adat. Dalam upacara-upacara adat, seseorang disapa dengan nama yang telah diberikan kepadanya pada pesta adat terakhir dan tertinggi yang diselenggarakannya atau diadakan oleh keluarganya. Misalnya, ayah disapa Tuha Sörömi, ibu dipanggil Bari Gana’a, sedangkan anak sulung disebut Tuha Nidanö. Orang yang belum pernah menyelenggarakan pesta adat biasa disapa sesuai dengan nama kecil atau nama dewasanya.
Seseorang mendapatkan nama baru ketika kawin. Nama baru itu diberikan dalam upacara yang diselenggarakan di rumah mempelai pria. Pesta itu disebut famatörö döi mbene’ö (upacara pemberian nama mempelai). Pesta ini berlangsung ketika sangowalu (mempelai pria beserta kerabat dan undangannya kembali dari pesta puncak perkawinan (falöwa) di rumah mempelai wanita. Pada upacara pemberian nama mempelai (orangtua) mempelai pria menyediakan sejumlah babi, emas, dan jamuan makan bagi pihak-pihak terkait (undangan) sesuai dengan adat Nias.
Nama yang diberikan pada masing-masing mempelai biasanya nama yang bagus. Meskipun demikian, nama yang diberikan itu harus sesuai dengan status adat orangtua mempelai pria. Misalnya, bila orangtua mempelai pria berstatus adat tingkat tiga (salawa mbanua), yang telah menyelenggarakan upacara adat fama’oli ba nöri, mempelai pria dinamai Tuha Nitötöna, sedangkan mempelai wanita disebut Sari Balaki. Kedua mempelai akan disapa dengan nama tersebut sampai anak pertama mereka lahir dan anak mereka itu diberi nama. Memanggil seseorang yang sudah menikah dengan nama kecilnya dianggap tabu dan memalukan pada masyarakat Nias.
Setelah anak pertama lahir dan diberi nama, maka ayah dan ibu bayi itu dipanggil dengan sesuai nama bayi itu. Ayah dipanggil dengan ama (ayah) disertai dengan nama anak pertamanya; ibu dipanggil ina (ibu) disertai dengan nama anak pertamanya. Misalnya, kalau anak pertama bernama Wise maka ayahnya disebut Ama Wise, sedangkan ibunya disebut Ina Wise. Dalam kehidupan sehari-hari ayah dan ibu tersebut selalu disapa dengan nama itu. Nama kecil kedua orangtua anak itu tidak akan disebut-sebut lagi. Penyebutan nama kecil orang yang telah kawin dan punya anak dianggap tabu oleh masyarakat Nias, apalagi oleh anak-anak.
Beberapa lama setelah anak lahir, suatu keluarga mengadakan pesta adat untuk mengukuhkan atau meningkatkan status adat keluarga yang bersangkutan. Penyelenggaraan pesta adat itu tampaknya terkait dengan kepercayaan masyarakat bahwa ada tuntutan dari pihak leluhur agar keluarga itu menyelenggarakan pesta adat. Dalam masyarakat Nias, terutama di masa lampau, ada kecenderungan mengaitkan sakit atau kesulitan yang dialami oleh suatu keluarga dengan kehendak dari para leluhur agar keluarga itu menyelenggarakan pesta adat. Bila ada anggota keluarga yang sakit, misalnya, keluarga yang bersangkutan biasanya memanggil salawa atau ere untuk memohon kesabaran para leluhur dan untuk menyampaikan janji keluarga tadi untuk mengadakan pesta adat dimaksud asal para leluhur itu tidak murka.
Di masa lampau, keyakinan bahwa penyakit atau kesulitan yang dialami suatu keluarga adalah tahi (karena keluarga itu belum mengadakan upacara adat yang sepantasnya atau seharusnya telah dilaksanakan) merupakan alasan utama penyelenggaraan pesta adat. Hal ini tampak pada latar belakang atau alasan suatu keluarga menyelenggarakan suatu upacara adat (owuloa, faöwa, atau owasa). Kepala keluarga yang menyelenggarakan pesta adat selalu mengawali pembicaraan dengan mengatakan bahwa upacara adat dilakukan untuk menghilangkan tahi, bukan karena ambisi keluarga itu untuk memperoleh penghormatan ataupun kemashuran.
Kecenderungan warga masyarakat Nias menganggap upacara adat sebagai kewajiban (untuk menjadi yang terbaik) merupakan dorongan kuat bagi mereka untuk mengadakan berbagai upacara adat. Kecenderungan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa menyelenggarakan upacara adat tidak hanya membebaskan keluarga yang menyelenggarakan upacara adat dari tahi. Upacara adat (yang menghabiskan puluhan bahkan ratusan ekor babi, sejumlah besar emas dan perak, serta berbagai kebutuhan lainnya) juga memberikan ganjaran psikologis dan ekonomis bagi keluarga yang telah menyelenggarakannya. Misalnya, kepala keluarga yang telah menyelenggarakan upacara adat tertinggi akan dipanggil dengan nama terbaik dan disebut paling awal ketika dia menghadiri upacara adat yang diselenggarakan oleh orang lain. Sinema (secara harfiah bermakna penerimaan), baik berupa emas, babi, dan lain-lain yang diberikan kepada orang berstatus adat tertinggi itu pun paling besar dan bagus. Cara memberikannya pun pasti oleh orang berstatus adat tinggi dan dengan cara sangat terhormat.
Deskripsi di atas menyiratkan makna nama dan bagaimana nama itu berperan pada masyarakat Nias. Nama bisa bermakna identitas, harga diri, dan status adat – yang ditunjang oleh kemampuan secara ekonomi – bagi seseorang. Oleh karena itu, nama bisa mengungkapkan berbagai hal penting mengenai orang yang menyandang nama tersebut. Nama merupakan tolok ukur keberadaan seseorang dalam masyarakat. Orang yang mampu secara ekonomi, misalnya, tentu lebih mampu menyelenggarakan lebih banyak upacara adat. Oleh karena itu, nama bisa menyiratkan bahwa keadaan ekonomi (keluarga) penyandang nama itu tergolong kurang, sedang, atau bagus. Ini menunjukkan bahwa nama sangat bermakna dan berperan baik bagi orang yang menyandang itu sendiri, bagi keluarga yang bersangkutan, dan bagi masyarakat Nias, maupun bagi masyarakat non-Nias.
Pergeseran Makna (Sejak Tahun 1980-an)
Perkembangan yang begitu pesat di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini telah membawa berbagai dampak pada masyarakat Nias. Kemajuan di bidang komunikasi, misalnya, telah menyebabkan globalisasi di bidang informasi, termasuk di dalamnya informasi dan muatan budaya. Globalisasi informasi dan muatan budaya memunculkan kompetisi dan konflik antara pemilik dan pendukung budaya yang satu dengan pemilik dan pendukung budaya lain. Kompetisi dan konflik antara pemilik dan pendukung budaya yang satu dengan pemilik dan pendukung budaya lain tersebut jelas berimplikasi pada terjadinya kompetisi dan konflik antara budaya yang satu dengan budaya yang lain.
Budaya memang bisa berubah. Carol (dalam Ihroni, 1996: 32) menegaskan, “…budaya tidaklah bersifat statis, ia selalu berubah.” Perubahan pada suatu budaya bisa disebabkan kuatnya pengaruh atau desakan dari budaya lain. Bila unsur-unsur budaya lain berhasil memasuki suatu budaya, maka budaya yang dimasuki oleh unsur-unsur budaya lain itu akan mengalami sejumlah perubahan (Laiya dkk, 1985: viii).
“Kebudayaan, sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi” (Spradley, 1997: 7). Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur-unsur budaya asing sekalipun, suatu budaya dalam suatu masyarakat bisa mengalami perubahan. Bila unsur-unsur budaya lain masuk dan mendesak kuat, maka perubahan pada budaya yang dimasuki oleh unsur-unsur budaya lain itu bisa berlangsung lebih cepat dan serius.
Sebagai bagian dari budaya, makna nama telah mengalami pergeseran pada sebagian masyarakat Nias. Kenyataan menunjukkan bahwa semakin banyak warga masyarakat Nias yang berpandangan dan berperilaku aneh terhadap nama, yang merupakan bagian dari budaya Nias. Kenyataan yang memprihatinkan ini berpangkal pada semakin berkurangnya wibawa dan daya tarik status adat yang disandang oleh warga masyarakat Nias. Semakin banyak orang Nias – lebih-lebih warga masyarakat berstatus adat rendah, generasi muda, serta orang-orang yang tergolong miskin dari segi ekonomi dan/atau pengetahuan dan pengalaman adat Nias – yang menganggap status adat tinggi tidak penting. Menyelenggarakan berbagai upacara adat, untuk meningkatkan status adat, dianggap sebagai pemborosan yang tidak menghasilkan sesuatu yang bermakna dari segi ekonomi, secara psikologis, atau sosial. Mengadakan berbagai upacara adat bahkan dianggap sebagai tindakan bodoh dan kolot, yang sudah ketinggalan zaman.
Sebagian besar orang Nias berpendidikan juga berperan dalam pergeseran makna nama pada masyarakat Nias. Meskipun tergolong miskin dari segi adat dan ekonomi, dan bahkan dari segi status sosial-pekerjaan, orang-orang berpendidikan (apalagi yang berpendidikan tanggung dan telah diprovokasi oleh orang-orang non-Nias yang hendak menghancurkan budaya Nias demi kepentingan pribadi dan/atau kelompok – terutama kepentingan “agama islam”, politik, dan/atau bisnis).
Orang-orang Nias yang tergolong miskin secara adat dan/atau ekonomi, berpendidikan tanggung, dan telah terprovokasi, sebagaimana disinggung di atas, tidak hanya menghindar dari berbagai upacara adat. Mereka cenderung memengaruhi orang lain untuk tidak mengadakan upacara adat. Banyak juga di antara orang-orang miskin dan yang telah rusak itu melakukan bunglongisasi (penyembunyian atau pemalsuan identitas). Misalnya, semakin banyak anak yang menyandang nama-nama yang seharusnya hanya layak disandang oleh keturunan raja atau anak dari orang berkedudukan tinggi. Di samping itu, banyak juga anak-anak yang diberi nama-nama dari negara-negara Barat, nama-nama dari negara-negara Timur Tengah, atau nama-nama Indonesia yang dianggap bergengsi oleh orangtua anak-anak itu.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kenyataan bahwa nama-nama yang menurut adat (budaya) Nias terlalu canggih dan terlalu bagus yang disandang oleh sejumlah orang, sebagaimana disinggung di atas, tidak diberikan dalam upacara adat famatörö döi. Nama-nama yang terlalu canggih dan terlalu bagus tersebut diberikan begitu saja oleh orangtua anak-anak itu. Berbeda dengan orang Nias yang masih setia pada adat dan budaya luhur Nias, para orangtua memberikan sendiri pada anak-anak mereka nama-nama yang terlalu terlalu canggih dan terlalu bagus itu tanpa perasaan canggung atau malu. Mereka justru malu memberikan pada anak-anak mereka nama yang sesuai dengan status adat orangtua tersebut.
Pandangan dan perilaku menyimpang mengenai makna nama pada masyarakat Nias tersebut di atas jelas berimplikasi negatif pada keberadaan dan perkembangan budaya Nias, lebih-lebih yang terkait dengan nama dan maknanya. Nama tidak bisa lagi dianggap sebagai identitas, status adat, dan harga diri (bagi) orang menyandang nama itu. Nama telah kehilangan makna sesungguhnya. Nama seolah-olah telah menjadi sekadar panggilan bagi seseorang seperti halnya makhluk lain yang harus dipanggil dengan nama tertentu yang kadang-kadang mirip nama manusia berbudaya.
Kecenderungan bergesernya makna nama pada masyarakat Nias, yang disebabkan oleh berbagai hal, sebagaimana dikemukakan di atas, perlu dihadapi secara hati-hati, telaten, dan terpadu. Dalam menangani kecenderungan yang memprihatinkan tersebut harus melibatkan sekurang-kurangnya empat pihak. Keempat pihak itu adalah pemerintah daerah dengan seluruh jajarannya, pihak gereja (baik Katolik maupun Protestant), lembaga pendidikan (baik negeri maupun swasta), dan masyarakat Nias (baik secara pribadi maupun secara berkelompok pada berbagai tingkat dan ruang lingkup). Dengan upaya teliti, telaten, dan terpadu, sebagaimana dikemukakan di atas, makna nama pada masyarakat Nias tidak semakin bergeser ke arah yang lebih memprihatinkan.
Penutup
Sebagai bagian dari hidup dan ciri manusia, budaya bisa tumbuh, berkembang, layu, atau bahkan punah. Apakah budaya tumbuh, berkembang, layu, atau pun mati tergantung pada manusia yang memiliki dan mendukung budaya itu sendiri serta pada lingkungan sekeliling yang bisa mempengaruhi atau bahkan merusak pandangan, sikap, dan perilaku pemilik dan/pendukung pendukung budaya itu sendiri. Foulcher (dalam Ibrahim, 1997: 286-287) menegaskan bahwa budaya merupakan akibat perpaduan harmonis antara nilai-nilai dari masa lalu yang tetap bertahan dan pengaruh positif yang bisa saja berasal dari budaya asing dan efek moderniasi. Pandangan, sikap, dan perilaku yang positif dan kondusif bagi pelestarian dan pertumbuhan budaya akan berdampak positif bagi budaya itu sendiri. Sebaliknya, pandangan, sikap, dan perilaku yang negatif dari pemilik, pendukung, dan/atau lingkungan budaya bisa sangat berpengaruh terhadap keberadaan budaya itu sendiri.
Makna dan peran nama pada masyarakat Nias, sebagai bagian dari budaya Nias, sangat ditentukan oleh pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat Nias. Pandangan, sikap, dan perilaku positif dan kondusif akan berimplikasi positif pada makna dan peran nama pada masyarakat Nias pada khususnya, dan pada budaya dan masyarakat Nias pada umumnya. Sebaliknya, pandangan, sikap, dan perilaku negatif tentu berimplikasi negatif.
Kecenderungan bergesernya makna nama pada masyarakat Nias membutuhkan penangangan yang teliti, telaten, dan terpadu dari berbagai pihak. Tanpa penanganan yang teliti, telaten, dan terpadu makna serta fungsi nama pada masyarakat Nias itu akan semakin bergeser ke arah yang gelap, bagai mentari di ufuk barat di kala senja yang sepi menjelang hujan lebat berbaur kegelapan malam yang semakin kelam. Apakah memang ini yang (seharusnya) diharapkan? [WA’ÖZISÖKHI NAZARA, Pengamat Sosial, Tinggal di Padang]
Artikel ini pernah ditayangkan di Nias-bangkit.com dan diterbitkan di sini hanya semata-mata untuk keperluan dokumentasi.