GUNUNGSITOLI, KABAR NIAS — Jurnalis tak jarang berhadapan dengan kelompok rentan, korban, mereka yang mengalami diskriminasi. Oleh karena itu, jurnalis harus memahami betul tentang hak asasi manusia (HAM) serta bersikap inklusif dalam meliput isu keberagaman.
Demikian diungkap oleh Dr. Budhy Munawar-Rachman, aktivis HAM dari The Asia Foundation, pada workshop Jurnalis Meliput Isu Keberagaman yang diadakan pada 11-12 Februari 2015, di Berastagi, Sumatera Utara.
“Negara sebagai pemangku kewajiban hak asasi manusia wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia warganya termasuk kelompok rentan, seperti masyarakat adat, etnis minoritas, difabel, kaum marjinal,” ujar Budhy.
Meskipun sebenarnya, kata Budhy, pemangku kewajiban tidak selamanya harus negara. Contohnya, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, selain menjadi tanggung jawab negara, pendidikan anak juga menjadi tanggung jawab orangtua.
“Demikian halnya dengan jurnalis. Dalam HAM, jurnalis terlibat dan memiliki peran penting sebagai pemangku kewajiban,” katanya.
Jurnalis membantu negara untuk melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan HAM warganya. “Untuk itu jurnalis wajib memahami HAM agar saat menulis pemberitaan, dampak tulisan tersebut justru tidak sampai menstimulasi, merangsang, mendorong pelanggaran terhadap HAM,” ujarnya.
Negara memiliki kewajiban untuk menghargai, melindungi dan memenuhi HAM warga negara. Namun, kata Budhy, negara sering kali abai, terhadap tanggung jawab tersebut sehingga. Di situlah peran jurnalis, mendorong negara untuk memenuhi kewajibannya sehingga bisa dikatakan bahwa jurnalis bekerja untuk warga negara.
Pluralisme dan Inklusifme
Budhy Munawar menekankan, perspektif jurnalis tentang keberagaman atau pluralisme harus benar-benar penting karena akan sangat berdampak dalam liputannya. Keberagaman yang berkembang pasca-era Reformasi 1998 membuat negara ini menjadi rentan terhadap konflik. Konflik ini harus dikelola dengan perspektif pluralisme.
“Seorang jurnalis yang memiliki perspektif pluralisme akan melampaui eksklusifisme. Karena kalau kita eksklusif dengan pemahaman agama kita, contohnya liputannya tentang isu keagamaan, sebenarnya kita tidak tidak siap mengembangkan liputan tentang pluralisme karena kita akan selalu menganggap bahwa kebenaran adalah milik kita. Untuk itu, jurnalis harus mengembangkan diri melalui pemahaman yang inklusif,” ujarnya.
Insklusivisme sekarang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Hanya sayangnya realitas yang sudah plural ini masih disikapi dengan cara yang eksklusif. “Kalau kita mau mengembangkan keberagaman, perspektif kita harus melampaui ekslusifisme. Minimal inklusif, terbuka kepada berbagai macam perspektif pluralisme, contohnya pespektif HAM, jender, agama,” kata Budhy. [Ketjel Zagötö]