Home Kanal Hukum Kapasitas LBN Putuskan Sanksi Adat kepada Yanto Terus Dipertanyakan

Kapasitas LBN Putuskan Sanksi Adat kepada Yanto Terus Dipertanyakan

0
Kapasitas LBN Putuskan Sanksi Adat kepada Yanto Terus Dipertanyakan
Yanto menyerahkan sanksi adat kepada orangtua korban. —Foto: Onlyhu Ndraha

GUNUNGSITOLI, KABAR NIAS — Hingga beberapa hari setelah pemutusan pemberian sanksi adat terhadap Sugiyanto Kosasi alias Yanto alias Kadali oleh Lembaga Budaya Nias (LBN), pro dan kontra di tengah masyarakat masih terus bergulir. Pihak yang kontra menilai, LBN—bentukan Pemerintah Kota Gunungsitoli itu—tidak memiliki kapasitas dalam memutus sanksi dalam pelanggaran hukum adat.

“Apa kapasitas LBN dan Wali Kota Gunungsitoli menggelar sebuah acara menjatuhkan hukum adat bagi orang yang bersalah, apakah mereka tergolong balugu, satua mbanua atau ere atas status adat seorang si Mawar. Berapa orang yang sudah dihukum oleh mereka atas perbuatan pelecehan putri Nias, seperti anak gadis dibawa lari oleh seorang anak laki, telapak tangan seorang gadis dicolek oleh orang lain, dan atau pelecehan lainnya yang notabene dilakukan oleh orang Nias sendiri (asli suku Nias)?” ujar Hadirat.

Kalau tidak, lanjutnya, yang dialami oleh si Yanto adalah bentuk diskriminatif (rasisme). “Harusnya yang berhak menghukum si Yanto merupakan balugu di kampungnya di Mawar,” ujar anggota DPRD Kota Gunungsitoli Hadirat ST Gea kepada Kabar Nias.

Oleh karena itu, pihaknya akan meminta DPRD lainnya untuk dapat berpikir rasional sehingga dapat dilakukan rapat dengar pendapat dengan LBN dan Wali Kota dalam waktu dekat.

Penelusuran Kabar Nias, LBN adalah lembaga bentukan Pemerintah Kota Gunungsitoli yang bernaung di bawah Dinas Pariwisata. Lembaga ini dijalankan menggunakan APBD Kota Gunungsitoli. Kabar Nias hingga kini belum berhasil menemui pengurus LBN. Dinas Pariwisata yang disambangi Kabar Nias, Rabu (21/10/2015), tidak bersedia memberikan informasi detail terkait lembaga ini.

“LBN itu benar berada di bawah Dinas Pariwisata. Soal apa saja wewenangnya, saya tak bisa menjelaskan,” ujar salah seorang pegawai Dinas Pariwisata Kota Gunungsitoli yang meminta namanya tidak perlu ditulis.

Sesaat setelah acara pemberian sanksi itu, Ketua LBN Benyamin Harefa tidak bersedia diwawancarai oleh Kabar Nias. Ia hanya mengangkat tangan dan berlalu.

Salah Penerapan

Sementara itu, mantan Kepala Polres Nias Selatan AKBP San Zebua, dalam diskusi terkait kasus ini media sosial. menyampaikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang hukum mengakibatkan pro-kontra dan bahkan bisa salah dalam penerapannya.

Menurut San Zebua, yang perlu diketahui terlebih dulu, apa pengertian dari hukum adat itu. “Dalam bahasa sehari-hari, hukum adat adalah suatu kebiasaan yang berlaku secara terus-menerus, diakui, dan diterima dalam suatu persekutuan hukum atau daerah/wilayah tertentu. Setelah adanya hukum nasional (hukum positif) yang telah terkodifikasi dan berlaku secara unifikasi, penerapan hukum adat ini sudah jarang dilakukan,” ujarnya dalam diskusi di media sosial, Facebook.

Baca juga:  Pemkab Nias Barat Sosialisasikan 4 Perda Sumber PAD

Peristiwa yang terjadi kepada Yanto itu, kata San Zebua, terasa aneh. “Memang ada kejanggalan dalam pelaksanaannya. Karena itu kami agak tertarik untuk memberikan pencerahan kepada kita manakala bermanfaat,” ujarnya.

Menurut dia, hukum adat masih dimungkinkan untuk diterapkan kepada masyarakat adat seperti Nias, tetapi yang terpenting tidak bertentangan dengan ketentuan yang tertulis atau masih berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Hukum materil, yakni HIR (RBG, dan Rv), tulis San Zebua, sampai saat ini masih belum dicabut dan berlaku sebagai dasar pemberlakuan pidana adat bagi masyarakat yang masih menggunakan hukum adat, seperti Nias.

“Masalahnya, kalau sudah dikenakan pidana adat, sanksi adat berupa denda (fogau) tidak boleh diberlakukan lagi kepada yang bersangkutan, kecuali digugat ganti rugi moril dan materil melalui keputusan pengadilan negeri,” ujarnya

Kemudian sebaliknya. Kalau ingin menerapkan hukum adat berupa denda (fogau), harus menganut asas lex specialis derogat lex generalis, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), melalui kesepakatan pemangku adat kedua belah pihak.

“Dengan demikian, tidak terjadi tumpang-tindih sanksi hukum yang diberikan kepada yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam penerapan hukum adat perlu diperhatikan legalitasnya, pemangku adat dari kedua belah pihak harus dihargai,” kata San Zebua.

Perlu Pelurusan

Becermin dari pelaksanaan pemberian sanksi adat kepada Yanto ini, sejumlah pembaca Kabar Nias mendorong adanya pertemuan para pemangku adat di Pulau Nias untuk mengantisipasi tidak terulang hal sejenis di masa yang akan datang.

Hamba Tuhan yang tinggal di Surabaya, Martianus Zega mengaku siap berkontribusi untuk ikut dalam pertemuan itu. “Mesti ada lembaga nonpemerintah yang bersedia menjadi fasilitator untuk membicarakan soal hukum adat ini sehingga tercapai kesepakatan bersama ke depan. Dengan begitu, kita tidak lagi perlu berdebat dan larut dalam perdebatan yang tak berujung,” ujarnya.

Hal ini, kata Martianus Zega, sangat perlu bagi masa depan Nias, sehingga tidak menjadi preseden buruk dalam penerapan hukum adat. “Kita tak boleh lagi gamang seperti yang kita rasakan dalam kasus Yanto ini. Harus ada kepastian hukum serta berkeadilan pada masa yang akan datang,” ujarnya.

Sementara itu, masyarakat tetap menunggu pihak Kepolisian Resor Nias yang menangani kasus ini sejauh mana bisa menegakkan hukum seadil-adilnya, termasuk dugaan pencuriaan yang dilakukan oleh MW Sebab, dugaan pencurian itulah yang menyebabkan Yanto khilaf melakukan perbuatan yang menghina MW. Polres Nias juga diminta tetap memproses perbuatan Yanto hingga ke pengadilan.

Hingga berita ini ditayangkan, Polres Nias belum memberikan pernyataan terkait progresitas penanganan kasus ini. [knc02w]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.