GUNUNG SITOLI, KABAR NIAS — Partai politik yang bersih dari politik uang (money politics) adalah harapan semua warga masyarakat. Partai politik harus bisa lepas dari stigma negatif yang masih bermain politik uang. Dengan penghapusan politik uang, partai politik bisa menghasilkan sistem politik dan pemerintahan yang benar-benar bersih dan berorientasi pada pelayanan publik. Selain itu, pelibatan perempuan dalam politik di Pulau Nias juga dinilai masih rendah.
Hal ini mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus (forum group discussion/FGD) yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nias Utara untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Nias Utara, di Museum Pusaka Nias (MPN), Jl Yos Sudarso Km 3, arah Pelabuhan Angin Gunungsitoli, Selasa (8/3/2016).
“Money politics yang dilakukan partai politik sudah mulai terlihat dalam proses perekrutan kader, mulai dari daerah sampai di pusat. Sang kader yang harus maju menjadi kepala daerah harus menyetor sejumlah uang yang nilainya dari ratusan juta sampai miliaran rupiah. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilu telah melarang perbuatan ini. Sayangnya, tidak ada sanksi pidananya,” ujar Ketua KPU Nias Utara Ottorius Harefa.
Menurut dia, partai politik melakukan praktik ini, meminta uang kepada calon, dengan cara sembunyi-sembunyi. “Akhirnya, masyarakat pemilih terbawa-bawa dalam arus politik uang ini. Masyarakat berpikir, jangan hanya parpol yang mendapat jatah dari calon yang bersangkutan, masyarakat pun menuntut juga agar diberi uang oleh si calon,” ujarnya.
Tidak mengherankan jika ada istilah ‘buatku satu hari, buatmu lima tahun’, yang artinya, si calon memberikan uang kepada para pemilihnya yang akan habis dalam sehari dan si calon diibaratkan akan mendapatkan ganti pemberiannya dalam waktu lima tahun selama menjabat.
Ottorius menegaskan praktik politik ini harus dihentikan dan dihapuskan jika ingin ada perubahan di Pulau Nias. “Partai politik harus bersih dan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat,” ujarnya.
Komisioner KPU Nias Utara, Agustinus Hulu, menambahkan, politik uang marak karena tindakan oknum politisi busuk. Saat Pilkada 9 Desember 2015 yang lalu, sudah menjadi rahasia umum, adanya tim pemenangan membagikan uang kepada masyarakat agar memilih kandidat tertentu.
“Saat pulang ke desa saya di Alasa, saya bertemu dengan beberapa warga dan mengaku telah mengambil uang dari beberapa tim sukses dan bahkan mereka datang sampai ke tim kecamatan. Hal ini mereka lakukan untuk mendapat uang,” kata Agustinus.
Hal yang sama disampaikan Direktur Holi’ana’a Happy Suryani Harefa, yang diundang dalam FGD ini. Ia menilai pelaksanaan pilkada di Nias Utara, Desember 2015, penuh dengan intrik permainan uang. Masyarakat juga tidak mau datang ke tempat pemungutan suara (TPS) kalau bukan didorong oleh uang.
“Pengamatan kami, hampir tidak ada masyarakat desa—112 desa dan 1 kelurahan di Nias Utara—yang datang ke 276 TPS memilih bukan motivasi uang,” ujar Happy.
FGD menyimpulkan bahwa diharapkan perbaikan dan peningkatan pengawasan kinerja pemerintah daerah ke depan. Dibutuhkan juga perbaikan regulasi pemilu yang bisa mengikiris dan mengakhiri pola perekrutan kader parpol dengan meminta uang.
Perempuan
Pada kesempatan itu, Happy menyuarakan masalah jender yang sepertinya terabaikan di Nias Utara. Terbukti dengan lima komisioner KPU, tidak ada perwakilan dari kaum hawa. Padahal, secara statistik, jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.
“Bertepatan Hari Perempuan Internasional, saya sampaikan agar ke depan anggota KPU harus ada dari perempuan,” ujar Happy.
Pelibatan perempuan dalam dunia politik, terutama di Nias Utara, harus dimulai. Happy mencontohkan bagaimana saat kampanye berlangsung, beberapa waktu lalu, seperti debat kandidat, pendukung salah satu calon bupati dan wakil bupati yang datang semua laki-laki. “Perempuan tidak ada. Bahkan, istri calon itu pun tidak hadir. Hal ini terjadi karena budaya dan lingkungan sekitar yang belum ramah jender,” katanya.
Menurut Ottorius, tidak adanya perempuan sebagai komisioner di KPU Nias Utara karena saat pendaftaran, beberapa tahun lalu, tidak ada yang mendaftar. “Akan tetapi, untuk tingkat kecamatan, PPK, sebagian adanya perempuan. Perempuan di Nias ini, sepertinya masih alergi berorganisasi dan tidak mau ikut diskusi. Ini juga faktor budaya, jika adanya rapat sampai malam, perempuan yang mengikuti rapat itu dikira macam-macam oleh lingkungan,” kata Ottorius.
Pengamatan Kabar Nias, FGD ini dihadiri sejumlah tokoh masyarakat, LSM, dan media massa. [knc02w]