Home Featured Istilah “Gratis” Sebaiknya Diganti dengan “Subsidi”

Istilah “Gratis” Sebaiknya Diganti dengan “Subsidi”

0

TELUKDALAM, KABAR NIAS — Salah satu solusi dari kekisruhan pembiayaan pendidikan antara mahasiswa dan pihak perguruan tinggi serta Pemerintah Kabupaten Nias Selatan adalah meninjau ulang penggunaan istilah “gratis” dan “subsidi”. Pemerintah Kabupaten Nias Selatan harus jujur mengakui bahwa hanya mampu memberikan subsidi atau membayarkan sebagian dari biaya pendidikan mahasiswa. Sementara ke depan, perjanjian kerja sama diusulkan dibuat antara mahasiswa dan pihak pemerintah daerah saja.

Demikian benang merah diskusi sejumlah pihak di media sosial yang disampaikan kepada Kabar Nias. Aktivis pendidikan dan dosen di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Yosafati Gulö, Salatiga, mengetengahkan bahwa penting untuk meluruskan penggunaan istilah ini.

“Pemakaian istilah gratis, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘cuma-cuma’, ‘tidak dipungut bayaran’, membawa konsekuensi bahwa para mahasiswa tidak akan mengeluarkan biaya apa pun terkait dengan perkuliahannya. Ini bukan soal besar atau kecil, tetapi soal konsistensi dalam menggunakan istilah dan koherensi apa yang dikatakan dengan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah,” ujar Yosafati, Selasa (3/11/2015).

Lebih jauh Yosafati mengingatkan, penggratisan pendidikan sebenarnya secara konstitusional memang menjadi kewajiban pemerintah bukanlah sesuatu yang luar biasa atau perlu diheboh-hebohkan. Sebab, UUD 1945 telah mengatur hal itu. Artinya soal pencerdasan bangsa sudah merupakan tanggung jawab pemerintah.

“Bahwa hal itu belum dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia, tidak berarti mengurangi atau menghilangkan tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya. Hanya saja karena keterbatasan pemerintah, termasuk pemerintah daerah Nias Selatan, jika tanggung jawab ini belum dapat diwujudkan, rakyat mengerti dan menerimnya sebagai hal lumrah,” ujarnya.

Karena itu, Yosafati mengharapkan untuk semua pihak tidak terlalu menuntut pemerintah. Sama halnya dengan perintah UUD 1945 tentang fakir miskin dan orang telantar yang secara konstitusional ditanggung oleh negara. “Namun, karena keterbatasan negara sampai saat ini, orang pun mahfum kalau fakir miskin dan orang telantar masih saja telantar. Kalau ada lembaga sosial yang membantu, tentu saja kita bersyukur. Namun, secara konstitusional hal tersebut bukan tanggung jawab mereka. Itu merupakan tanggung jawab negara,” ujarnya.

Hal yang sama disampaikan pendiri sekaligus Ketua Yayasan STKIP dan STIE Nias Selatan Bamböwö Laiya setuju dengan usulan itu. “Memang itu yang pas. Istilah ‘gratis’ itu harus ditinggalkan karena kenyataannya memang tidak gratis. Pemerintah daerah hanya mampu membayar sebagian biaya pendidikan mahasiswa atau hanya bisa memberikan subsidi. Pemerintah daerah juga tidak bisa memaksakan yayasan untuk tidak memungut uang kepada mahasiswa guna memenuhi biaya operasional. Pemerintah daerah memang perlu secara bijak mengakui hal ini,” kata Bamböwö Laiya, Rabu pagi.

Baca juga:  Irjen Raden Budi Winarso Gantikan Irjen Ngadino sebagai Kapoldasu

Revisi “Addendum”

Sekitar 1.000 mahasiswa Nias Selatan kembali melakukan aksi di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Nias Selatan, Senin (2/11/2015), menuntut penjelasan tentang Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendidikan Gratis. Menurut para mahasiswa, addendum atau klausul tambahan surat perjanjian kerja sama antara Dinas Pendidikan dan Yayasan STKIP dan STIE tidak sesuai dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan.

Aksi yang dikoordinir oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STKIP dan STIE Nias Selatan Rikardo Loi, mengatakan, addendum surat perjanjian kerja sama antara pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan dan yayasan karena dibuat sepihak tidak lagi sesuai dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan di mana didalam perda mengatakan biaya perkuliahan ditanggung oleh pemda yang dibebankan di dalam APBD (Baca: Mahasiswa Minta Penjelasan Terkait Perda Pendidikan Gratis).

“Apa yang telah tertuang didalam addendum tidak sesuai dengan Perda No 5 Tahun 2011. kami juga mau meminta kepada pemerintah untuk tidak mengorbankan kami seperti mahasiswa USBM yang sampai saat ini tidak jelas statusnya. Pemerintah Kabupaten Nias Selatan juga dapat menjalankan pembebasan uang kuliah seperti yang tertera di dalam perda,” kata Rikardo saat melakukan orasi di depan ribuan mahasiswa.

Menurut Rikardo, mahasiswa tidak ingin mencampuri persoalan antara Dinas Pendidikan dan yayasan. “Yang kami tanyakan sekarang perda yang telah disahkan oleh DPRD Nias Selatan tentang pembebasan biaya pendidikan yang bertolak belakang dengan addendum,” ujar Rikardo.

Kepada Kabar Nias, Bamböwö mengatakan, addendum perjanjian kerja sama yang berakhir pada 2015 ini harus direvisi karena sangat berpotensi menimbulkan salah tafsir. “Lagi pula addendum itu harusnya tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, dalam hal ini Perda No 5/2011,” ujarnya kepada Kabar Nias.

Ia juga mengusulkan, “Ke depan, biarlah addendum perjanjian itu dibuat antara mahasiswa dan pemerintah daerah saja”.  [knc05w/knc01r]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.