Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö
Dua tahun berturut-turut APBD Kabupaten Nias Barat mengalami ”defisit”. Jumlahnya pun bukan sedikit. Bisa membangun puluhan gedung bertingkat dan puluhan kilometer jalan hotmix. Namun, Pemerintah Kabupaten Nias Barat menganggap biasa-biasa saja. Seperti tidak terjadi apa apa. Padahal, faktanya, akibat defisit APBD, masyarakat akan dirugikan karena tidak bisa menikmati pembangunan akibat pemerintah terpaksa harus membayar utang akibat defisit.
Defisit APBD tahun 2016 sebesar Rp 125.165.253.919 (seratus dua puluh lima miliar seratus enam puluh lima juta dua ratus lima puluh tiga ribu sembilan ratus sembilan belas rupiah) terkesan ditutup-tutupi kepada publik. Padahal, Kepala BPKPAD saat rapat dengar pendapat dengan DPRD, sekitar April 2017, telah menyampaikan data tersebut secara resmi dan terbuka untuk umum. Dengan paparan berjudul: Komponen-Komponen Terjadinya Defisit.
Ada yang aneh, data yang diberikan Kepala BPKPAD kepada bupati berbeda-beda (Harian SIB tanggal 11 Agustus 2017 yang berjudul ”Defisit Anggaran Nias Barat Berubah-ubah). Tiga kali bupati memberi penjelasan tentang defisit APBD tahun 2016, tiga kali besarannya berubah-ubah. Mengapa? Hanyalah Kepala BPKPAD yang bisa menjawabnya karena data ada di tangannya. Dengan data yang berbeda-beda tersebut, masyarakat sempat menduga bupati Nias Barat melakukan pembohongan publik. Atas data yang berbeda-beda ini, semestinya Kepala BPKPAD merasa malu dan bertanggung jawab serta meminta maaf kepada bupati dan masyarakat.
Secara harfiah, defisit adalah kekurangan jumlah dalam kas keuangan. Defisit bisa terjadi ketika suatu organisasi memiliki pengeluaran lebih banyak daripada penghasilan. Defisit juga bisa berarti pemerintah daerah mengonsumsi lebih dari jumlah pendapatannya. Sementara menurut Donbusch, Fescher, dan Starts, defisit adalah selisih antara jumlah uang yang dibelanjakan pemerintah dan penerimaan dari pajak (dikutip dari Unila.ac.id).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa defisit anggaran pada Pemkab Nias Barat disebabkan belanja pemerintah daerah Nias Barat lebih besar daripada pendapatan atau seperti kata pepatah ”lebih besar pasak daripada tiang”. Hal ini diduga terjadi karena Ketua TAPD tidak teliti, tidak hati-hati, tidak cermat dan tidak realistis, serta tidak memedomani aturan yang sudah ada dalam menyusun APBD Tahun 2017.
Akrab dengan Defisit
Sesuai dengan hasil akhir audit BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Utara atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Nias Barat mengalami kekurangan dana per 31 Desember 2017 untuk memenuhi kewajibannya sebesar Rp 49.059.050.480 (empat puluh sembilan miliar lima puluh sembilan juta lima puluh ribu empat ratus delapan puluh rupiah). Itu baru data yang dilaporkan kepada BPK (bisa dibaca selengkapnya pada buku II LHP Atas Sistem Pengendalian Intern Nomor 61.B/LHP/XVII.MDN/06/2018, tanggal 4 Juni 2018 halaman 31).
Bagaimana kalau seandainya terdapat data utang yang belum dilaporkan? Tentu kewajibannya ataupun defisitnya bertambah. Bagaimana utang yang belum dibayar kepada rekanan sebesar Rp 48 miliar? BPK tidak menjelaskan hal utang tersebut dalam narasi auditnya. Akan tetapi, utang yang Rp 48 miliar tersebut tetap menjadi beban APBD tahun 2018 dan harus dibayar. Kalau tidak, hal tersebut menjadi persoalan yang tidak dapat disepelekan.
Artinya, beban APBD tahun 2018 menjadi Rp 49.059.050.480 + Rp 48.000.000.000 = Rp 97.059.050.480 (sembilan puluh tujuh miliar lima puluh sembilan juta lima puluh ribu empat ratus delapan puluh rupiah). Wah, tiada tahun tanpa utang. Apa dampak dari beban utang sebesar itu? Kemungkinannya barangkali ada proyek yang ditunda atau dibatalkan pelaksanaannya tahun 2018. Apabila hal ini terjadi, pelayanan kepada masyarakat berkurang dan memperlambat tercapainya semboyan ”berdaya”.
Mari kita bayangkan uang sebesar Rp 97 miliar tersebut kalau misalnya dibangun kompleks perkantoran, bangunannya adalah dua kali lipat jumlah kantor yang ada sekarang. Apabila membangun jalan bisa menghasilkan 32 kilometer dengan konstruksi hotmix atau jalan antarkecamatan sudah bisa dibangun jalan hotmix. Apalagi, kalau digunakan membeli pupuk dan bibit padi, bibit karet (okulasi), peremajaan kebun karet/kelapa, membangun rumah yang tidak layak huni, biasiswa, dan bidang-bidang yang bermanfaat lainnya. Akan tetapi, lupakan semua itu, kita membayar utang dulu. Itulah yang kini yang terjadi di Nias Barat.
Menurut BPK, ada beberapa penyebab terjadinya defisit APBD Kabupaten Nias Barat tahun 2017 sebagai berikut. Pertama, Penetapan target PAD tidak berdasarkan pada perda tentang pajak dan retribusi daerah, tidak didukung dengan identifikasi kesiapan sarana dan prasarana dalam pengelolaan pajak dan retribusi daerah, serta tidak didukung hasil penghitungan perkiraan yang terukur secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, sistem pengendalian intern atas pelaksanan APBD (dhi realisasi belanja daerah) tidak memadai, yaitu anggaran belanja daerah direalisasikan tanpa memperhatikan ketersediaan dana. Selain defisit keuangan, hal tersebut mengakibatkan bertambahnya utang jangka pendek pada tahun 2017. Bertambahnya utang jangka pendek menunjukan bahwa penganggaran pengeluaran/belanja daerah tahun 2017 tidak didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup (lihat buku II LHP Laporan Keuangan Pemkab Nias Barat tahun anggaran 2017, Nomor 61.B/LHP/XVIII.MDN/06/2018 tanggal 4 Juni 2017 halaman 31-32).
Tidak Taat Aturan
Salah satu tujuan hukum adalah untuk mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil serta melindungi masyarakat. Hukum dapat mewujudkan keadilan dalam hidup bersama manusia. Agar hukum bisa berjalan secara baik, perlu dibarengi dengan sanksi.
Hans Kelsen mengatakan: ”Hukum adalah perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaidah primer menetapkan sanksi”. Pemerintah pada setiap level memerlukan hukum/peraturan/norma agar tugas-tugas pemerintah dalam melayani masyarakat berjalan lancar, terarah, dan terkoordinasi.
Untuk itu, perintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dapat membuat peraturan sesuai kewenangannya, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 8 Ayat (2) menyatakan: ” Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur pada Ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
Kalau hukum itu bersifat mengatur, timbul pertanyaan, mengapa Pemkab Nias Barat, dalam hal ini Ketua TAPD, tidak menggunakan hukum/peraturan yang sudah ada sebagai acuan, pedoman, arah dalam menyusun APBD tahun 2017? Salah satu peraturan dari sekian peraturan yang tidak ditaati oleh Ketua TAPD dalam menyusun APBD Tahun 2017, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 16 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (2) dan Pasal 18 Ayat (1) menyatakan:
Pasal 16 Ayat (1): APBD disusun dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah;
Pasal 17 Ayat (2): Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan;
Pasal 18 Ayat (1): Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup;
Pemkab Nias Barat dalam menyusun APBD tahun 2017 ternyata tidak memedomani PP No 58 Tahun 2005 tersebut. Bahkan, ada peraturan lainnya juga tidak dipedulikan, antara lain, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; Permenkeu Nomor 132/PMK.07/ 2016 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Kumulatif Pinjaaman Daerah Tahun 2017, sehingga mengakibatkan defisit APBD Tahun 2017 seperti saya kemukakan sebelumnya.
Akibat defisit, Pemkab Nias Barat juga berpotensi mengalami kegagalan dalam penyediaan aliran kas (cash flow) untuk pelaksanaan kegiatan tahun berikutnya. Ini fakta, pada 2017, banyak kegiatan yang tidak dilaksanakan karena defisit APBD Tahun 2016. Bagaimana tahun 2018? Penulis menduga ”sama” karena APBD Tahun 2017 defisit lagi dan banyak utang yang belum dibayar kepada rekanan. Ini kenyataan pahit yang harus diterima masyarakat Nias Barat. Bagaimana membangun sarana air bersih yang biayanya ratusan miliar, sementara Pemkab Nias Barat masih banyak utang?
Kondisi ini sangat memprihatinkan, serta perlu ditangani secara cepat, tepat dan profesional. Kalau tidak, dampaknya bisa merembes pada bidang lain seperti, pertama, kepercayaan rekanan turun dan takut bekerja di Nias Barat karena tidak ada jaminan pembayaran. Kedua, para investor tidak berani, mereka berpikir bagaimana menanam modal, sedangkan pemkabnya banyak utang. Ketiga, pimpinan OPD ragu-ragu bekerja dan menenderkan sebuah proyek, takut tidak ada anggarannya. Keempat, janji-janji kampanye sulit direalisasi karena pikiran bupati dan wakil bupati terkuras pada pembahasan utang.
Walaupun belum melakukan survei, tetapi kelihatannya masyarakat sudah mulai pesimistis. Mereka tidak begitu lagi menaruh harap pada janji-janji saat kampanye. Mereka sadar itu suatu yang tidak mungkin. Sekarang harus realistis. Bagaimana Bupati-Wakil Bupati mewujudkan janji mereka saat kampanye, sedangkan Pemkab Nias Barat lagi dililit utang.
”Biarlah janji-janji kampanye pemkab dan tim sukses menjadi sumber mimpi pada malam hari,” kata mereka. Pada umumnya masyarakat berharap kepada Bupati-Wakil Bupati, Sekda selaku ketua TAPD dan para pimpinan OPD agar pembahasan APBD tahun 2019 berdasarkan peraturan, terukur, dan rasional. Dengan demikian, tidak mewariskan defisit ataupun utang. Harapan yang sangat sederhana dan tidak sulit, bukan?
Kalau harapan yang sangat sederhana ini tidak bisa dipenuhi, lalu bagaimana memenuhi janji/semboyaan ”Nias Barat berdaya”? Penulis pun berharap, bahwa di suatu saat, Kabupaten Nias Barat berdaya akan terwujud. Semoga.