GUNUNGSITOLI, KABAR NIAS – Kebijakan Pemerintah Kota Gunungsitoli dalam program 100 hari pertama kerja untuk melakukan rayonisasi sekolah dalam menerima siswa baru sebagaimana tertuang dalam Peraturan Wali Kota Gunungsitoli (Perwal) Nomor 1 Tahun 2016 tentang pelaksanaan pendidikan bertujuan untuk pemerataan guru dan siswa.
Hal ini disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Kota Gunungsitoli Faozi Telaumbanua kepada Kabar Nias di ruang kerja Staf Ahli Kota Gunungsitoli, Jumat (1/7/2016), menanggapi perdebatan soal rayonisasi di tengah-tengah masyarakat beberapa hari terakhir.
“Program ini termasuk program 100 hari kerja pertama Wali Kota Gunungsitoli yang bertujuan melakukan pemerataan guru dan siswa,” kata Faozi yang juga sebagai staf ahli Wali Kota Gunungsitoli itu.
Pelaksanaan rayonisasi sekolah, kata Faozi, selama ini yang terjadi banyak sekolah khususnya di Kecamatan Gunungsitoli tidak lagi layak menjadi tempat melangsungkan aktivitas belajar-mengajar. Akibatnya, guru menumpuk dan di sekolah lainnya ketiadaan tenaga pengajar. Berdasarkan aturan, 1 ruang rombongan belajar (rombel) dengan luas 8 meter x 7 meter, untuk tingkat SD maksimal 28 orang, SMP maksimal 32 orang dan SMA/SMK sebanyak 36 orang.
“Realita yang terjadi, ada sekolah yang menyekat 1 rombel menjadi 2 ruangan. Dan hal ini tidak layak dijadikan sebagai tempat belajar. Selain tidak nyaman, guru yang mengajar tidak maksimal,” ujar Faozi tanpa menyebut sekolah mana hal itu terjadi. “Untuk sekolah negeri, tidak diperkenakan adanya proses belajar-mengajar sore hari. Wajib pagi hari”.
Masalah lain, menurut Plt Kadis Pendidikan Kota Gunungsitoli yang baru dilantik sebulan yang lalu itu, seperti di SMPN 4 Gunungsitoli Idanoi, akibat kekurangan guru, siswa sepi yang mendaftar. Hal serupa yang terjadi di Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa. Sementara di Kota Gunungsitoli beberapa guru menumpuk.
“Setelah penerimaan siswa secara rayonisasi. Minggu depan, semua guru dirayonisasi. Sehingga kekhawatiran masyarakat tidak adanya guru di sekolah tertentu teratasi,” kata mantan Kepala BPPT Kota Gunungsitoli itu. Ada wilayah tertentu yang diberi dispensasi khusus, seperti di Desa Niko’otanö Dao, satu dusun berbeda penerimaan siswanya. Hal ini mengingat jarak sekolah.
Penerimaan anak didik untuk tingkat sekolah dasar (SD), ada hal yang rancu diketahui masyarakat selama ini. Mereka mengira kalau anaknya sudah tamat taman kanak-kanak (TK), sudah wajib diterima di sekolah. “Bukan itu aturannya, yang benar berdasarkan aturan Menteri Pendidikan, siswa SD kelas I yang diterima itu umurnya minimal 7 tahun dan maksimal 12 tahun,” ujarnya.
“Umur di bawah 7 tahun boleh diterima asalkan sudah memenuhi kriteria, misalnya, sekolah A memiliki rombel 2 ruangan. Ternyata umur yang minimal 7 tahun sampai 12 tahun itu yang mendaftar hanya 40 orang. Sementara kekurangan 16 orang lagi – 1 rombel 28 orang. Baru kriteria umur diturunkan mulai dari 6,5 tahun dan terendah 5,5 tahun,” kata Faozi.
“Pernah saya tanya kepada salah seorang ibu rumah tangga yang kebetulan bekerja sebagai PNS, ‘Bu, mengapa anak ibu yang baru berumur 3 tahun sudah dimasukkan ke TK. Jawabnya agar ada yang jaga. Semestinya hal ini tidak terjadi,” tambah Faozi.
Untuk diketahui, jumlah sekolah yang menyebar di enam kecamatan di Kota Gunungsitoli untuk tingkat SD/MI sebanyak 115, anak didik 17.515 orang dan guru 1.631 orang. SMP/MTS sebanyak 38 sekolah, siswa sebanyak 6.206 orang, guru 737 orang dan SMA/MA sebanyak 15 sekolah dan SMK 14 sekolah, sedangkan jumlah siswanya 6.159 orang dan guru sebanyak 752 orang.
“Pemerataan guru pasti dilakukan. Sehingga kebijakan ini dapat dirasakan lima tahun kemudian,” kata Faozi.
Beberapa kepala sekolah yang dijumpai Kabar Nias menyetujui adanya rayonisasi demi mencegah penumpukan guru dan siswa. Akan tetapi, mereka berharap, setelah program ini berjalan Dinas Pendidikan Kota Gunungsitoli harus menunjang sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
“Rayonisasi bagus. Akan tetapi, kiranya penempatan guru nantinya benar-benar direalisasikan,” ujar salah seorang kepala sekolah yang menjadi narasumber Kabar Nias yang meminta namanya dirahasiakan.
Sejumlah kalangan mendorong Pemerintah Kota Gunungsitoli memanfaatkan teknologi (penerimaan peserta didik baru berbasis online) sehingga dalam pelaksanaan aturan rayonisasi bisa dilakukan secara transparan serta terhindar dari penyalahgunaan aturan.
Ketua DPRD Tolak Rayonisasi
Ketua DPRD Kota Gunungsitoli Herman Jaya Harefa menolak adanya rayonisasi. Menurut dia, perwal yang baru saja diterapkan itu telah melanggar hak anak untuk mendapat pendidikan yang layak sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 c bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, serta UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003 Pasal 4 Ayat 1 dan 2, bahwa sistem pendidikan berkeadilan, pemenuhan hak asasi serta bersifat terbuka.
“Memperhatikan respons masyarakat Gunungsitoli terkait dengan Peraturan Wali Kota perihal Rayonisasi tersebut, ada banyak keluhan dan protes masyaratakat akibat penerapannya. Patutnya, perwal tersebut baiknya dicabut dan dibatalkan,” kata Herman melalui surat elektroniknya yang disampaikan kepada Kabar Nias, Kamis (30/6/2016).
Salah seorang orangtua siswa di Kota Gunungsitoli merasa kaget adanya rayonisasi. Menurut dia, aturan yang baru diterapkan itu belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat.
“Selama ini kan, anak-anak saya selalu melanjut di SMPN 1 Gunungsitoli. Tapi, kali ini tidak diterima, alasannya rayonisasi. Saya belum tahu tentang itu. Saya merasa kecewalah,” kata seorang ibu dari Gunungsitoli Barat itu yang akan mendaftarkan anaknya di SMPN 1 Gunungsitoli Barat.
“Asalkan mutu pendidikan sama nantinya tidak masalah.Tapi, jika tidak, masyarakat pasti kecewa,” katanya.
Selain mengatur rayonisasi, Pemerintah Kota Gunungsitoli diminta untuk memperhatikan kualitas setiap sekolah sehingga tidak kalah bersaing dengan sekolah lain di luar Pulau Nias. [knc02w]