Oleh Apolonius Lase
Bila pernah ke rumah adat Nias, baik di selatan maupun di utara, Anda akan melihat pajangan rahang bawah babi dalam berbagai ukuran. Deretan kerangka rahang bawah babi yang dalam bahasa Nias disebut simbi [zimbi] itu menunjukkan bahwa si empunya rumah telah menjamu tamu-tamunya yang merupakan orang-orang terhormat dengan perjamuan paling bernilai di Pulau Nias.
Sudah menjadi tradisi di Pulau Nias bahwa tamu adalah orang yang harus diberi kehormatan oleh tuan rumah. Wujud pemberian penghormatan itu ditandai pada penjamuan sang tamu dengan suguhan makanan dari daging babi yang disertai dengan simbi.
Di sisi lain, orang yang disuguhi simbi juga biasanya merasa sangat dihormati dan sangat senang disambut dengan suguhan enak simbi ini. Penyuguhan simbi dalam adat-istiadat Nias memiliki tata cara tersendiri. Mulai dari pemotongannya (fotatawi) hingga penyuguhannya di wadah setelah dimasak.
Pemotongan simbi harus dilakukan sedemikian rupa, yakni dengan melepaskan rahang bawah dengan disertai otot beserta kulit sepanjang dada. Semakin banyak daging yang ikut dengan simbi itu, semakin berharga atau bernilai simbi yang akan disuguhkan di mata tamu.
Biasanya, simbi yang sering disuguhkan kepada tamu atau orang yang diberi kehormatan adalah simbi anak babi atau babi berukuran sedang. Setelah dipotong, daging yang ikut di simbi itu dibelah mulai dari leher hingga seperti rumbai-rumbai. Setelah itu, baru dimasak. Setelah matang, simbi pun disuguhkan di atas wadah besar dengan dialasi daun pisang.
Jeroan
Wadah yang biasa dipakai adalah nyiru bulat atau talam. Penyuguhannya juga dilakukan sedemikian rupa, simbi menghadap ke atas dan diapit sejumlah daging lain.
Hal yang harus diperhatikan adalah penyuguhan itu harus disertai dengan potongan 5 jeroan, yakni hati (ate), paru-paru (bo), jantung (tödö) ginjal (bua), kemudian liver (fali’a). Ketidaklengkapan sejumlah “syarat” itu bisa membuat sang tamu merasa tidak dihormati.
Tidak ada literatur yang menyebutkan alasan dari keharusa adanya potongan jeroan itu pada suguhan simbi. Seorang tokoh adat di Lölömoyo, Moi, Kecamatan Hiliserangkai, Nias, Yustinus Waruwu, kepada penulis, mengatakan, “Hal itu sudah merupakan adat istiadat dari leluhur kita sejak dulu secara turun-temurun. Dan, itulah yang kita laksanakan sekarang. Adalah tabu jika aturan-aturan adat itu ditinggalkan atau dilanggar.”
Ia menduga, penyertaan potongan lima jenis jeroan itu adalah untuk menunjukkan kepada tamu bahwa penyuguhan simbi yang dilakukannya adalah dengan menyembelih seekor babi yang dibuktikan dengan adanya semua jenis jeroannya.
“Untuk menunjukkan bahwa yang disuguhi benar-benar dihormati sampai-sampai harus menyembelih seekor babi. Bukan hanya membeli simbi saja. Ada nilai ketulusan di sana,” kata Yustinus.
Penerima Simbi
Tidak ada ketentuan yang paten soal siapa yang berhak diberi kehormatan suguhan simbi. Namun, yang pasti dalam hajatan adat, seperti proses pernikahan, yang berhak diberi simbi adalah pihak paman (sibaya), tamu (tome), besan (mbambatö), dan undangan/orang sekampung (sisara ewali).
Selain dalam adat pernikahan, penyajian simbi juga biasa dilakukan untuk menerima para pejabat pemerintahan yang berkunjung di suatu desa atau di suatu hajatan. Warga desa biasanya bersepakat menyiapkan bersama-sama keperluan untuk penyambutan sang pejabat.
Ada juga fenomena baru sekarang ini. Orang-orang yang memberikan ucapan lewat karangan bunga kepada orang yang menikah, misalnya, si penerima memberikan simbi kepada sang pemberi karangan bunga. Tuan rumah biasanya mengirimkan simbi kepada rumah pengirim karangan bunga itu.
Belum ada penjelasan sejak kapan budaya itu dimulai dan siapa yang memulai. Hal ini umumnya terjadi Kota Gunungsitoli. Salah seorang warga Tohia, Kota Gunungsitoli, yang tidak ingin disebutkan namanya, kepada penulis, mengatakan, dirinya beberapa waktu lalu, mendapatkan kiriman simbi telah dibungkus rapi setelah mengirimkan karangan bunga pada sebuah pesta pernikahan.
“Kaget juga. Cuma, bagaimana lagi, saya harus menghargai niat baik dan ketulusan dari si pengirim simbi itu,” ujarnya.
Sesuai kondisi ekonomi yang mengalami fluktuasi, penyuguhan simbi juga mengalami penyesuaian-penyesuaian. Misalnya saja, seseorang yang akan menyuguhkan simbi tidak harus membeli anak babi secara utuh. Akan tetapi, cukup datang ke tempat pemotongan babi, biasanya ada di Kota Gunungsitoli, lalu memesan akan membeli simbi anak babi dengan menyebut ukuran yang dikehendaki. Biasanya pihak pemotongan babi sudah mafhum bagaimana cara memotongnya, termasuk penyertaan jeroannya.
Substitusi
Selain itu, penyesuaian juga sering dilakukan saat si tuan rumah oleh alasan tertentu tidak bisa memberikan simbi kepada tamunya yang sepatutnya, menurut adat, menerima simbi. Sudah menjadi kebiasaan belakangan, simbi bisa digantikan dengan memberikan uang kertas dengan nomina tertentu di atas daging babi yang disuguhkan. Kalau dulu biasanya digantikan dengan firö, uang gulden Belanda.
Uang kertas itu disebut pengganti rahang babi (salahi zimbi). Biasanya, sang tuan rumah saat menyuguhkan, memberikan penjelasan sambil meminta pengertian sang tamu bahwa ia tidak bisa menyuguhkan simbi kepada yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan tertentu.
Bagi sebagian orang, adat Nias ini cukup memberatkan, terutama dari sisi finansial. Bayangkan, jika dalam sebuah pesta pernikahan ada 15 pihak yang harus disuguhi simbi. Dengan begitu, untuk keperluan simbi saja harus menyembelih 15 anakan babi atau babi sedang. Padahal, satu babi ukuran kecil hingga sedang sudah sekitar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta.
Hal ini tentu tidak menjadi masalah bagi orang yang sudah mempersiapkan sebelumnya dengan beternak babi sejumlah yang diperlukan. Atau juga orang yang memiliki harta banyak, penyuguhan simbi dengan jumlah banyak bukanlah masalah besar.
Masalah timbul ketika si tuan rumah adalah orang yang ekonominya pas-pasan. Jika tidak berpikir rasional dan mengedepankan gengsi, si tuan rumah bisa tambah bangkrut dan memikul utang.
Keharusan untuk menyuguhkan simbi ini, terutama dalam adat pernikahan orang Nias, sering berkorelasi dengan besarnya jujuran (böwö) yang diminta kepada pihak laki-laki.
Pihak perempuan yang bertanggung jawab pada pesta pernikahan memperhitungkan semua biaya yang harus dikeluarkan, termasuk membeli sejumlah babi untuk suguhan simbi.
Kehormatan
Di sisi lain, ada wacana agar jujuran pernikahan orang Nias sudah saatnya ditinjau ulang dengan mengurangi nilainya.
Tokoh adat Yustinus Waruwu, kepada penulis, menyampaikan bahwa ada sesuatu makna yang bisa kita pelajari dari adat-istiadat penyuguhan simbi ini, yaitu bahwa orang Nias sangat menghormati orang lain dan rela berkorban untuk sebuah kehormatan dan harga diri.
Meski begitu, tak harus simbi tersaji dulu, baru hubungan kekerabatan terasa semakin akrab. Kita berharap, tanpa simbi pun, siapa pun yang menjamu kita, tetaplah juga kita hargai dan hormati.
Catatan: Artikel ini pernah dimuat di situs www.nias-bangkit.com
Mungkinkah simbi (babi) ditukar dg suguhan lain atau diganti dg uang?