Falikauhu

1
Falikauhu
Ilustrasi Falikauhu

Anda yang tinggal di kampung di Pulau Nias pasti tahu apa artinya falikauhu. Namun, bagi yang lahir di kota, kata ini bisa jadi terdengar asing. Ketika berada di kebun, yang dipenuhi pepohonan dengan kondisi tanah yang tidak datar, terkadang hal yang sangat sulit dilakukan adalah berkomunikasi dengan orang lain.

Mungkin sekarang kondisi itu tidak menjadi masalah. Dengan kehadiran telepon seluler yang setiap saat menemani di dalam saku, Anda bisa setiap kali menghubungi atau mencari keberadaan siapa pun atau memberi tahu keberadaan Anda tanpa kesulitan. Namun, dengan satu catatan, lokasi Anda dipastikan bersinyal.

Dari tata bahasanya, kata falikauhu terdiri tiga suku kata, yaitu “fa”, “li”, dan “auhu”. Fa- adalah awalan yang berarti “ber-“. Li artinya suara, dan auhu dengan sisipan huruf k menjadi kauhu, suara yang dikeluarkan berbunyi auhu. Dalam falikauhu memang meneriakkan kata auhuuuuuu…!

Lalu, apa hubungannya falikauhu dengan posisi?

Bagi orang di Pulau Nias, terutama yang tinggal di pedalaman, jalan satu-satunya untuk memberi tahu posisi Anda dengan tepat kepada orang lain adalah dengan berteriak auhu! 

Sekilas memang tidak ada yang istimewa dalam teriakan “auhu” ala orang Nias ini. Namun, tunggu dulu. Ternyata, falikauhu itu menyimpan cerita. Sebab, jika teriakan auhu itu dimaksudkan untuk memanggil seseorang, mengapa tidak dengan gamblang sifalikauhu (orang yang berteriak) menyebutkan maksudnya atau juga identitasnya agar pesan bisa dengan cepat sampai?

Sejauh ini, saya belum menemukan literatur yang menjelaskan soal pertanyaan ini. Saya juga belum menemukan tulisan yang bisa menjelaskan, mengapa kata auhu digunakan sebagai salah satu bentuk komunikasi orang Nias zaman dulu dan apa alasannya tidak menyebutkan nama atau maksud dari teriakan itu.

Sejak Masa Penjajahan

Beberapa waktu lalu, saya punya kesempatan menanyakan hal ini kepada seseorang yang sangat saya hormati. Dia adalah ayah saya. Ayah saya, Talisökhi Lase (84), seorang pensiunan kepala sekolah, yang kini tinggal di Desa Hiligara, Kecamatan Gunungsitoli Selatan, Kota Gunungsitoli, menjelaskan bahwa falikauhu sudah ada sejak zaman dulu. Ayah saya menduga, falikauhu awalnya erat kaitannya dengan sebuah sandi saat masa penjajahan dulu.

Ia bercerita, pada zaman penjajahan, warga Nias tak jarang harus dikejar-kejar oleh serdadu Belanda ataupun Jepang, terutama ketika harus menghindari dan memberontak atas kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi kepada si penjajah.

Warga yang “memberontak” kepada serdadu Jepang atau Belanda ini biasanya meninggalkan rumah dan bersembunyi di hutan atau kebun guna menghindari penangkapan oleh serdadu penjajah.

Baca juga:  Fondraru

Menurut ayah saya, anggota keluarga yang lari dan bersembunyi itu tentu tidak bisa selamanya berada di hutan. Ia pasti sekali-sekali membutuhkan bertemu dengan keluargannya. Apalagi ia membutuhkan makanan agar bisa bertahan.

Yang menjadi masalah adalah saat ingin kembali ke rumahnya. Kata ayah saya, salah satu caranya adalah dengan falikauhu. Ia harus berteriak auhu beberapa kali guna memberi tahu keluarganya bahwa dia sudah dekat dengan rumah atau di suatu tempat yang biasa digunakan untuk bertemu.

Biasanya, antara anggota keluarga yang bersembunyi sebelumnya sudah ada kesepakatan soal makna dari teriakan itu.

Saat mendengar teriakan auhu itu, keluarga yang ada di rumah biasanya bergegas mendatangi yang bersangkutan dengan membawakan sejumlah bekal yang sudah disiapkan sebelumnya. Atau hanya sekadar untuk melepas kangen terhadap anak dan keluarga.

Turun-temurun

Dari cerita ayah saya, falikauhu pada zaman penjajahan itu telah menjadi tradisi yang turun-temurun bagi warga Nias. Tidak mengherankan jika hingga sekarang seseorang yang falikauhu tidak pernah menyebutkan identitasnya. Hal itu tentu dimaksudkan agar tidak diketahui oleh orang yang mendengarkan.

Seiring berkembangnya zaman, falikauhu tidak lagi hanya dipakai oleh orang yang lari dari rumah karena dikejar-kejar serdadu Belanda atau Jepang. Saat malu (berburu), warga Nias pun falikauhu. Begitu juga saat berjaga ketika musim durian tiba, tradisi falikauhu juga dilakukan.

Satu yang pasti, falikauhu itu adalah sebuah bentuk komunikasi, menyampaikan pesan, yakni pernyataan keberadaan (eksistensi diri dalam bentuk fisik).

Saat berburu, falikauhu digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama pemburu. Begitu juga saat  manaro duria (berjaga saat musim durian), falikauhu diperlukan untuk mengirim pesan kepada siapa pun, terutama kepada orang-orang yang berniat jahat, bahwa “pemilik durian ada, jangan coba-coba mendekat”.

Tidak hanya itu saja, falikauhu juga kini bisa menjadi salah satu bentuk ekspresi orang Nias saat senang. Di sejumlah permainan tradisional Nias, kebiasaan falikauhu ini sering ditemukan, terlebih saat seseorang atau sekelompok orang memenangkan permainan. Sang pemenang akan menunjukkan ekspresinya dengan falikauhu sambil berjingkrak-jikrak dan tertawa lebar.

Ekspresi falikauhu ini juga tampak dalam beberapa tarian tradisional Nias. Perhatikan saja ketika orang Nias selesai melakukan tarian maena atau tari perang, sering diselingi atau diakhiri dengan falikauhu.

Lalu, apakah Anda sedang galau saat ini? Falikauhu saja!


Artikel ini pernah ditayangkan di nias-bangkit.com dan diterbitkan disini hanya semata-mata untuk keperluan dokumentasi.

1 COMMENT

  1. dan kata "Auhuuu" itu juga mempunyai frekuensi suara yang baik dan menyebar sehingga orang di kejauhan bisa mendengarnya.
    ayo, para pakar frekuensi bisa bantu meneliti hal ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.