Oleh Adrianus Aroziduhu Gulö
Tulisan saya yang dimuat Kabarnias.com tanggal 26 Desember 2018 yang berjudul ”Sayang, Jembatan Darurat Sungai Gidö Itu Tidak Bertahan Lama” cukup banyak yang membaca dan menanggapi. Tanggapan pembaca beraneka ragam ada yang positif dan ada yang negatif, tentu tanggapan tersebut berdasarkan rasa, pengalaman yang dialami masing-masing. Malahan ada yang merenspons dengan nada menyindir dengan mengatakan: Manusia saja bisa mati muda, apalagi jembatan darurat bikinan manusia bisa rusak, gitu aja kok ditulis. Manusia yang tidak punya pekerjaan. Mikir dikit dong…jangan asal nulis, jangan cari muka. Apakah cari simpatik masyarakat? Oh… saudara lagi nyaleg provinsi. Pantasan….
Tidak hanya sebatas itu, ada yang mengatakan: Kok, ngurus daerah orang lain. Daerahnya sendiri tidak diurus. Jembatan Lahömi yang baru diresmikan pada April 2018 dan disebut “Ikon Nias Barat” telah rusak pada Oktober 2018, dan sampai saat ini belum diberbaiki. Mengapa tidak ditulis? Mengapa engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Pada semua tanggapan tersebut, penulis menjadikannya sebagai koreksi agar tulisan saya pada masa yang akan datang dapat menyalurkan aspirasi banyak orang, tidak hanya kelompok tertentu. Apalagi penulis sadar bahwa dalam alam demokrasi perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar dan sulit dihindari. Malahan perbedaan pendapat tersebut, apabila dikelola dengan baik bisa menjadi kekuatan. Kita bisa maju karena perbedaan.
Direspons Cepat
Penulis berterus terang tidak mengetahui apa ada hubungannya percepatan perbaikan jembatan darurat Sungai Gidö dengan tulisan tersebut. Ada kaitannya atau tidak, menurut hemat penulis tidak terlalu penting. Yang penting adalah pihak pengambil kebijakan terutama Badan Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah I Sumut dan rekanan telah mendengar dan merenspons dengan baik rintihan, jeritan, keluhan, derita masyarakat Nias yang beberapa hari menjerit kesulitan transportasi. Pada Sabtu, 29 Desember 2018 pagi, jembatan darurat jembatan Sungai Gidö telah bisa dilewati kendaraan berbadan kecil. Kendatipun, para sopir harus ekstra hati-hati melewatinya agar tidak terjun bebas ke sungai.
https://www.facebook.com/jaameswong/videos/10210172389665572/?permPage=1
Tidak berlebihan, dengan telah bisa jembatan darurat Sungai Gidö dilewati kendaraan berbadan kecil merupakan hadiah terindah bagi masyarakat Nias menjelang Tahun Baru 2019. Rencana saling mengunjungi keluarga dapat lancar dengan pengeluaran berkurang. Untuk itu, semua elemen masyarakat Nias berterima kasih kepada semua pihak yang telah berpikir keras, bekerja keras atas perbaikan jembatan darurat Sungai Gidö.
Selain itu, perawatan dan pemeliharan merupakan tanggung jawab bersama dengan tidak membawa beban yang berlebih, yang bisa membuat jembatan darurat tersebut rusak lagi. Begitu pula, agar jembatan permanen Sungai Gidö selesai tepat waktu, perlu kondisi aman sehingga rekanan/pemborong dan para pekerja bekerja dengan tenang serta peralatan mereka jangan sampai ada yang hilang. Label 05 (kosong lima) yang pernah disandang di sekitar lokasi menjadi sirna.
Menjaga rekanan/pemborong dan para pekerja, selain jembatan permanen Sungai Gidö selesai tepat waktu, juga menunjukan bahwa kita telah memelihara budaya leluhur. Bagi orang Nias, tamu adalah raja. Tamu harus dihormati dan dilindungi dari segala ancaman jiwa dan raga mereka. Bukankah rekanan, para pekerja itu tamu kita? Jawabannya, ya. Mengapa? Sebab, sebagian besar dari mereka berasal dari daerah di luar lokasi (Gidö). Bahkan, di antara mereka ada yang berasal dari luar Nias. Sekali lagi ditegaskan bahwa mereka adalah tamu kita terutama tamu masyarakat lokasi jembatan (Gidö). Karena itu harus dijaga dan dilindungi dari segala ancaman dan perbuatan tercela dari orang/kelompok yang menakut-nakuti.
Jalan Alternatif
Dengan telah dapat dilewati kendaraan berbadan kecil jembatan darurat Sungai Gidö, timbul pertanyaan. Apakah masalah sudah selesai? Belum. Selama masih hidup masalah selalu ada, ringan-sedang-berat, serta timbul-tenggelam, datang-pergi, selesai-tidak selesai. Hanya bagi manusia yang telah diberi akal, pikiran, hati, rasa dan keterampilan, masalah bisa diminimalkan atau dilokalisasi agar tidak membesar serta merembes ke mana-mana. Malah masalah apabila dikelola dengan baik dapat menjadi peluang.
Kejadian pada jembatan darurat Sungai Gidö, tidak seheboh ini apabila ada jalan/jembatan alternatif. Artinya, ada jalan/jembatan lain walaupun agak jauh, tetapi berada dalam wilayah Gidö. Untuk itu, diharapkan kepada Pemkab Nias supaya memikirkan dan merencanakan pembukaan/pembuatan jalan/jembatan baru. Maaf, seribu maaf. Ini murni saran, lho, … sama sekali tidak ada niat menggurui.
Selain itu, diharapkan kepada bapak Gubernur Sumatera Utara agar tetap menyediakan biaya pemeliharaan dan perawatan jalan/jembatan provinsi lewat Nias tengah yang melewati: Gunungsitoli-Hiliserangkai-Moi-Lölöwa’u-Amandraya-Telukdalam dan Nias Barat yang melewati Lölöwa’u–Sirombu-Mandehe Barat-Mandehe-Moi-Hiliserangkai dan kembali ke Gunungsitoli. Apabila jalan provinsi tersebut terawat dan terpelihara dengan baik, penulis yakin bahwa perputaran dan peningkatan ekonomi serta kesejahteraan rakyat yang berada di wilayah Nias tengah dan Nias Barat meningkat. Selain itu, kedua wilayah tersebut juga sangat cocok dijadikan lokasi ‘wisata alam’ (Hal ini pernah di bahas dalam group WA Orahua Tötönafö/OTT)
Penulis juga yakin para kepala daerah se-Kepulauan Nias, tiap tahun, tiap saat (ada jalan provinsi rusak) melaporkan kepada Gubernur Sumatera Utara kondisi jalan/jembatan/fasilitas/umum yang ada di wilayahnya masing-masing. Akan tetapi, apa daya mereka, para kepala daerah termasuk kepala daerah di Nias, tidak ikut dalam pembahasan apalagi penetapan APBD/PAPBD provinsi tiap tahun. Biasanya para kepala daerah hanya ikut pada saat musrenbang provinsi, itu pun hanya saat pembukaan. Tidak tertutup kemungkinan laporan atau usul kepala daerah dari Nias tercecer dan tidak jelas keberadaannya. Namanya juga lewat laut, bisa-bisa/diduga jatuh di laut. He-he. Kalau begitu, kapan jadinya?
Semestinya, laporan/usul para kepala daerah dari Nias perlu digiring, dikawal oleh perwakilan masyarakat Nias yang duduk di lembaga legislatif Provinsi Sumatera Utara. Atau sekurang-kurangnya usul tersebut sudah masuk rencana kerja dan anggaran (RKA). RKA adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi rencana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan SKPD serta rencana pembiayaan sebagai dasar penyusunan APBD. Baca: Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, Pasal 1 Ayat 34. Mereka harus militan tanpa lelah memperjuangkan anggaran perawatan jalan/jembatan atau fasilitas umum lainnya yang rusak berat maupun ringan yang ada di wilayah kepulauan Nias. Hal yang sama akan saya lakukan jika Tuhan izinkan dipilih dan duduk di DPRD Sumatera Utara.
Masyarakat Nias tidak butuh diistimewakan, tetapi butuh keadilan. Apakah pengalokasian dana pembangunan di setiap kabupaten/kota sudah adil? Yang bisa menjawab ini hanyalah anggota DPRD dapil Nias, sebab mereka ikut dalam pembahasan dan penetapan APBD/PAPBD provinsi setiap tahun. Namun, menurut pengamatan penulis, dikaitkan dengan banyaknya jalan/jembatan provinsi yang rusak di Nias, keadilan itu masih jauh dari harapan.
Tulisan ini tidak bermaksud memojokkan orang/kelompok, melainkan hanya sekadar mengingatkan tugas dan fungsi masing-masing agar Kepulauan Nias bebas dari kemiskinan, dari keterisolasian, dan terbelakang. Masih ada harapan dan waktu untuk diperbaiki. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Catatan tulisan ini dibuat 1 Januari 2019 sebagai permenungan akhir tahun 2018 dan awal tahun 2019 sekaligus tanda partisipasi penulis menyalurkan aspirasi masyarakat yang merasa kesulitan atas rusaknya jembatan darurat sungai Gido dan masyarakat yang mengharapkan perbaikan jalan provinsi yang di Nias tengah dan Nias Barat. Keadaan berikutnya marilah kita pantau bersama. Selamat Tahun Baru.