Oleh Anoverlis Hulu
Kekayaan budaya Nias kerap terasosiasi dengan atraksi lompat batu. Sajian media hampir selalu mengarah ke desa Bawõmataluo atau Hilisimaetanõ. Namun, kekayaan budaya Nias tak hanya tersimpan di sana. Desa Hilimondregeraya salah satunya. Desa budaya ini menyimpan pesona yang bisa didilestarikan.
Jarak desa ini hanya 8 kilometer dari Telukdalam, ibu kota kabupaten Nias Selatan. Kebijaksanaan otonomi daerah membuatnya ada dalam wilayah Kecamatan Onolalu, berbatasan dengan dua desa hasil pemekaran, Hilikara dan Sanekhe Hõsiraya. Luas wilayahnya 9 kilometer persegi dengan populasi 1.600 jiwa. Menderes karet adalah aktivitas sehari-hari yang jadi motor ekonomi warga.
Perjalanan ke sana cukup menantang. Jalanan berbukit, berliku, sempit, dan berlubang membuat pengendara harus berhati-hati. Suasana tradisional masih lekat, pemerintah terdahulu jarang menggelontorkan dana pembangunan ke sini.
Di gerbang desa pendatang bakal melihat tulisan besar “Selamat Datang di Desa Hilimondregeraya” dengan sebuah rumah adat besar di sebelah kanan. Agar bisa masuk ke dalam desa ini, pengunjung diharuskan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua. Halaman desa yang terbuat dari batu dan semen yang disusun rapi tersebut menjadikan kendaraan roda empat pantang masuk ke desa ini. Peraturan itu pun sudah dipampang beberapa meter setelah melewati gerbang.
Rumah-rumah penduduk belum terlalu lama teraliri listrik oleh PLN. Sarana informasi, seperti radio atau televisi serta sarana komunikasi juga belum bisa sepenuhnya dinikmati. Namun, jangan terkejut jika berkunjung ke desa ini, rumah adat yang ada sudah beratapkan seng ketimbang rumbia.
“Hilimondregeraya adalah desa tradisional yang lebih tua dibandingkan dengan Bawõmataluo. Hanya karena Bawõmataluo lebih terkenal, pembangunan dan transportasi ke desa tersebut lebih diutamakan. Baru pada saat gempa bumi, sebagai kepala desa saya mencoba mengusulkan pembangunan sehingga Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memberikan bantuan dengan merehabilitasi bangunan rumah. Makanya rumah-rumah yang ada di sini sekarang beratapkan seng,” kata Fõnaziduhu Harita (48), Kepala Desa Hilimondregeraya, menyambut kedatangan NBC (14/9/2014).
Sama seperti desa tradisional lainnya di Nias Selatan, di Hilimondregeraya, rumah-rumah adat pun berjajaran saling berhadapan, omo sebua dengan olayama (halaman) dan lompat batu, serta wilayah desa berbentuk persegi panjang.
“Modelnya sama dengan kedua desa tersebut (Bawõmataluo dan Hilisimaetanõ), tetapi sedikit berbeda, misalnya, dalam adat perkawinan. Di Maenamõlõ, seperti bõwõ hanya orangtua perempuan, paman, saudara bapak dan saudara ibu yang menerima. Di sini tidak, semua keluarga mendapat,” ujar Andreas Folakhõmi Harita atau Ama Masioho Harita (64), keturunan bangsawan desa tersebut.
Potensi Wisata
Hilimondregeraya pun punya potensi wisata yang tidak kalah menarik. Utamanya tentu rumah adat. Meski merupakan replika, tetapi omo sebua yang diresmikan pada 2012 lalu ini tetap memesona. Dengan luas 8,5 meter x 14 meter ini menyimpan desain, ukiran, dan benda seni khas Nias.
“Di kecamatan ini ada tiga omo sebua, di Desa Hilimondregeraya, Hilifalagõ dan Hilimaziya’ua, tetapi sekarang sudah hancur semua. Omo sebua yang ada di Desa Hilimondregeraya ini sengaja tidak divarnis supaya kelihatan alami dan tua,” ujar Ama Masioho Harita.
Pesona berikutnya terletak pada kebersihan dan kerapian desa. Lihat saja susunan batu yang menjadi ‘lantai’ desa. Batu-batu tersebut, kata Ama Masioho diperoleh dari tempat yang cukup jauh dan diangkut beramai-ramai dengan menggunakan kapal. Begitu pula dengan lompat batu sebagai ikon yang tidak boleh terlewatkan. Lompat batu sebagai sarana menguji kekuatan para pemuda pada masa lalu ini berdiri dengan kokoh dan masih sering digunakan untuk latihan dan pertunjukan.
Selanjutnya ada pemandian umum atau hele. Hele seluas sekitar 10 meter persegi ini dibagi dua, untuk laki-laki dan perempuan. Air yang mengalir ke pemandian ini berasal dari mata air yang terlindung di balik bukit sehingga jernih dan menyegarkan.
“Setiap desa harus ada pemandian umum khusus yang harus dibagi antara perempuan dan laki-laki. Kalau sekiranya laki-laki ke tempat perempuan maka ada hukumannya, yakni mempersembahkan seekor babi ukuran 4 alisi dan 1 pau emas. Sampai sekarang aturan ini masih berlaku,” ungkapnya.
Tak adanya penutup atau pelindung membuat pemandian umum ini jarang digunakan lagi. Seperti yang dikemukakan Lihati Gea atau Ina Sri Wulan (38), salah seorang warga yang tinggal dekat dengan pemandian tersebut. Ia menuturkan, warga di desa tersebut kini lebih memilih mandi di rumah masing-masing. Untuk mencuci pun demikian karena kini air sudah dapat mengalir ke rumah-rumah penduduk.
Satu lagi potensi yang saat ini sedang diperjuangkan adalah Sungai Mbawa Mbaho. Sungai ini sudah diusulkan kepada pemerintah daerah setempat untuk dibangun menjadi obyek wisata. Lokasinya yang berada di ketinggian membuat pengunjung bisa melihat pemandangan desa dari atas.
“Lokasi di sekitar sungai itu sudah diajukan sebagai tempat pertapakan kecamatan. Tanah itu sudah dihibahkan dan karena ada lokasi wisata disana kami mengusulkan untuk dibangun menjadi obyek wisata. Mudah-mudahan hal ini bisa terwujud, jalan dibangun, dan masyarakat di daerah ini bisa semakin maju,” kata Fönaziduhu Harita.
Jika ingin datang ke desa ini, kata Fonaziduhu, pengunjung dapat menginap di rumah penduduk.
Hal ini sudah sering dilakukan oleh para turis lokal ataupun asing yang berkunjung ke tempat ini. Karena itu, tidak ada fasilitas yang bisa disediakan.
Melestarikan Budaya
Tak ingin kehilangan yang lebih besar lagi, para tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat kini getol melestarikan seni budaya kepada generasi muda. Saat ini, ada tiga sanggar budaya yang masih bertahan dalam membina pesertanya antara lain lompat batu atau hombo batu, tari perang atau fauluaya, maena, dan mogaele.
“Di sini sudah terbentuk beberapa grup sanggar, tetapi terkendala seperti peralatan. Kami menghendaki agar pemerintah memberikan bantuan supaya para pemain ini dapat berlatih dengan maksimal. Mari kita bangkitkan kembali seni budaya yang ada dengan perhatian tersebut,” ujar Ama Masioho.
Pembangunan di desa tersebut telah membawa perubahan yang lebih baik. Namun, seperti harapan masyarakatnya, adat dan budaya yang ada harus terjaga agar tetap lestari. Bukan untuk popularitas melainkan sebagai identitas.
Ada baiknya pemerintah dan wakil rakyat di DPR di Nias Selatan bisa membuat peraturan daerah desa adat atau desa budaya. Dengan demikian, desa-desa yang kaya dengan cagar budaya bisa tetap dipertahankan dan dilestarikan serta potensi wisata yang ada bisa dikemas untuk menarik perhatian wisatawan.
Pembangunan juga masih terus dinantikan oleh masyarakat Hilimondregeraya lewat pengembangan pariwisata. Hal ini sudah disampaikan kepada pemerintah daerah setempat yang diharapkan segera terealisasi. [ANOVERLIS HULU]
Artikel ini pernah ditayangkan di nias-bangkit.com dan diterbitkan di sini hanya semata-mata untuk keperluan dokumentasi.