Friday, March 29, 2024
BerandaKabar dari NiasNias SelatanAKBP Dr Hilarius Duha, Polisi Rendah Hati dan Cinta Keluarga

AKBP Dr Hilarius Duha, Polisi Rendah Hati dan Cinta Keluarga

SOSOK

Gelar sebagai anak bangsawan tak membuat langkah dan perjuangannya untuk “menjadi” (process of becoming), serta-merta berada di genggaman. Kalau dulu, pergi mandi di sumur saja harus dikawal karena anak Si’ulu, di negeri orang justru harus melayani. Anda mau dibantu orang? Ubahlah mindset Anda.

Pokok pemikiran itu disampaikan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Dr Hilarius Duha (51) kepada NBC saat obrolan santai di ruang kerjanya di kompleks Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Bagaimana doktor hukum pidana itu bisa sampai pada posisi sekarang, salah satunya karena ia mengubah mindset. Beberapa cara berpikir orang Nias yang kurang baik ia ubah total saat keluar dari Nias. Menurut dia, ini penting dilakukan sehingga orang lain bisa bersimpatik melihat dan mau membantu supaya dia bisa bertahan.

Ketika awal-awal lepas dari lingkungan lama—yang membentuknya sebagai seorang yang harus terus dikawal, diawasi, dan dimanja—Hilarius merasa berat. Ia tak memungkiri, sifat-sifat merasa diri istimewa, masih terbawa kala itu. Memang, ia mengakui bahwa secara ekonomi, orangtuanya cukup mampu. Pada masanya, ayahnya bisa membangun balai pertemuan tempat orahua di Hilisatarö, Nias Selatan, dengan uang sendiri.

Terkadang anak si’ulu memiliki pandangan bahwa orang lain itu rendah. “Mentang-mentang punya keistimewaan, lalu orang lain semua dianggap rendah. Padahal, berapa pun kekayaan Anda di Nias, saat di negeri orang, di Jakarta, misalnya, Anda itu tidak ada apa-apanya. Anda akan tidak terlihat karena masih ada yang jauh lebih kaya,” ujarnya sambil tertawa.

Menyadari hal itu, Hilarius pun mulai berlari. Ada gejolak dalam dirinya, yakni ia mesti mengubah cara berpikir. Ia menanggalkan sifat-sifat keniasannya. Dan, hasilnya,  ia mengalami perbedaan perlakuan dari orang yang ada di sekelilingnya. Orang-orang mulai mau membantunya.

“Jika Anda ingin dibantu dan diperhatikan, posisikan diri Anda satu level di bawah, artinya dengan cara itu, orang lain justru bersimpati pada kita dan mau memberikan jalan keluar atas permasalahan kita,” kata mantan Kepala Unit Cyber crime Direktorat Kriminal khusus Polda Metro Jaya ini.

Salah satu bukti perubahan yang dilakukannya adalah saat tinggal di rumah kakak perempuannya yang sudah berkeluarga di Jambi. Kebiasaan perlakuan karena posisinya sebagai ipar, yang seharusnya dihormati dan dilayani, ia terabas.

“Kalau dipikir-pikir, saya ini kan ipar yang harus dihormati dan dilayani. Namun, di rumah kakak saya itu, saya melakukan pekerjaan mengepel, mencuci pakaian, dan apa pun saya kerjakan. Itu membuat saya diperhatikan oleh kakak ipar saya,” kata Hilarius mengenang masa-masa awal perjuangannya.

Ada Harga yang Harus Dibayar

Hilarius DuhaBagi Hilarius, untuk mendapatkan sesuatu yang baik ada harga yang harus dibayar. Seseorang tidak akan bisa berhasil jika tidak bersusah payah terlebih dahulu. “Anda tak mungkin jadi pimpinan sebelum menjadi bawahan. Anda tidak akan senang sebelum susah-susah terlebih dahulu. Jangan lihat Hilarius Duha sekarang ini. Jangan lihat kejadian-kejadian yang sudah maju, jangan. Dilihatlah awalnya,” kata ayah 4 anak dan 1 cucu itu.

Perubahan mindset yang dilakukan Hilarius juga ia tunjukkan dengan hidup prihatin. Ia memilih gaya hidup yang sederhana hingga sekarang. “Kalau di Nias makan ikan, di sini makan apa adanya saja. Jika adanya hanya tempe, ya, sudah tempe saja. Itu saya jalanin, bahkan hingga sekarang,” ujarnya.

Ia juga menceritakan bagaimana ia pernah menjadi penjaga rumah salah seorang artis terkenal di daerah Petamburan, Jakarta Pusat. “Saya tak malu menceritakan itu. Anda tahu, kan, kalau jadi penjaga rumah, ya, tinggal di luar gerbang rumah orang kaya itu, di pos satpam,” kata Hilarius.

Hilarius juga memilih tidak terlalu senang pergi ke mana-mana. Ia memilih sikap masa bodoh jika ada gunjingan orang dan mengatakannya kolot, tidak suka berkumpul dengan orang Nias. Bagi dia, kumpul-kumpul itu lebih banyak mudaratnya daripada untungnya  jika tidak jelas tujuannya.

“Untuk apa berkumpul akhirnya hanya berdebat dan diakhiri dengan saling mencela. Untuk apa berkumpul hanya pamer-pamer. Untuk apa berkumpul hanya omong gede. Namun, kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya hal duka dan pernikahan,” katanya.

Ia justru meminta semua orang Nias yang sukanya berkumpul mengubah cara itu dengan hal-hal yang sifatnya lebih berguna/bermanfaat dan dampaknya untuk jangka panjang.

“Saya heran dengan semua kegiatan ala orang Nias yang sifatnya senang sesaat, setelah itu lupa, dan tidak menghasilkan apat-apa, bahkan perkumpulan tidak jarang bubar begitu saja. Apalagi pelaksanaannya asal dan tidak dipersiapkan secara matang,” kata istri Yustina Repi, yang mengaku setiap pulang kampung tidak pernah mengenakan pakaian dinasnya.

Sikap rendah hati yang dimiliki oleh Hilarius terbawa hingga sekarang. Salah satu contohnya, setiap kali pulang kampung, Hilarius bahkan memilih naik sepeda daripada naik mobil jika mengunjungi keluarga besarnya di Hilisatarö. Ia juga memilih makan di warung tegal di belakang kantornya daripada di tempat restoran mahal.

Rasa Ingin Tahu

Rasa ingin tahu dan mencoba hal-hal baru juga diakui Hilarius sebagai sesuatu yang juga  memberikan pengaruh dalam dirinya dalam membangun karier.

Hilarius kecil pernah penasaran dengan buah nangka yang kulitnya mulus, tetapi setelah besar dan matang bagian dalamnya ternyata busuk. Setelah melakukan “penelitian”, saat itu ia duduk di SMA, Hilarius menemukan bahwa ulat kecil sebagai sumber penyakit yang menyebabkan nangka busuk terjadi sejak nangka itu masih berupa bunga. Penelitiannya ia tulis dalam bentuk karya tulis.

“Karya tulis saya tidak menang di tingkat nasional. Yang menang soal telur asin. Namun, gara-gara itu, saya menjadi mudah masuk polisi,” ujarnya.

Saat masih duduk di SMA, ia mendaftar di SMA Negeri 1 Gunungsitoli. Enam bulan belajar ia minta pindah ke sebuah SMA di Sibolga. Ia hanya pengin tahu saja apa perbedaannya sekolah di Nias dan di Sibolga.

“Ternyata, pelajaran di Sibolga tidak juga lebih bagus daripada Gunungsitoli. Pengajaran di Gunungsitoli justru lebih bagus,” kata penyuka olahraga jalan ini.

Merasa kurang pas di Sibolga ia pun pindah ke Jambi dan tinggal di rumah kakaknya perempuan. Orangtua waktu itu memberikan kebebasan kepada Hilarius untuk pindah sekolah di mana ia mau. “Tapi satu syarat, kata Bapak saya, tidak boleh tinggal kelas,” kata Hilarius.

Pengaruh Lingkungan

Hilarius dalam menyelesaikan SD pernah tinggal di Tohia, Gunungsitoli. Ia tinggal di asrama. “Pak Doktor Hekinus Manaö itu satu asrama dengan saya. Beliau SMA, saya waktu itu masih SD. Itu makanya kompleks Tohia itu tolong dipertahankan. Karena telah memberikan memori dan melahirkan orang-orang hebat, seperti Pak Doktor Hekinus dan lainnya,” tutur Hilarius.

Ia mengakui, lingkungan sangat memengaruhi dirinya. Ketika tinggal di asrama dan tinggal di lingkungan teman-teman yang suka belajar, mau tak mau, ia juga harus ikut belajar setiap waktunya belajar.

Namun, sekembalinya dia ke Telukdalam dan melanjutkan SMP di sana, ia menyadari rasa ingin belajarnya berkurang, tidak seperti saat dia tinggal di asrama. “Saya mengakui bahwa pengaruh lingkungan itu sangat besar,” katanya.

Setelah tamat SMA di Jambi, Hilarius ke Jakarta dan mendaftar jadi polisi. Bermodalkan prestasi sebagai atlet lari. “Waktu itu, saya ikut dalam lomba lari di Jakarta mewakili Jambi. Tapi bukan dalam rangka PON. Semacam kejuaraan nasional. Dan saya menjadi yang terbaik,” ujarnya.

Awalnya, menjadi polisi dipilih Hilarius karena, bagi dia, itu cara cepat untuk bisa memiliki penghasilan sendiri. Ia mengakui waktu itu persaingan memang tidak seketat sekarang. “Tapi dengan saya punya modal awal, yakni bisa lari, kemudian saya pernah punya prestasi soal karya tulis itu, serta punya piagam penghargaan saat menjadi peserta Jambore Nasional Pramuka sebagai perwakilan dari Nias waktu itu. Dulu, kalau ada prestasi semacam itu dibutuhkan,” ujar alumni SMA Negeri 3 Jambi angkatan 1980/1981 ini.

Memberi “Plus”

Setelah cita-citanya menjadi polisi tercapai, Hilarius pun memulai kariernya dengan pangkat Sersan Dua Polisi, dengan perubahan pangkat sekarang Brigadir Dua Polisi (Bripda) dan ditugaskan di Polda Metro Jaya.

Baca juga:  7 Desa di Kecamatan Mazinö Terdampak Banjir

Dalam melaksanakan tugas, satu kunci sukses dari Hilarius adalah bagaimana dia berusaha keras agar disukai oleh pimpinan. Caranya, ia memberikan sesuatu yang plus dalam pekerjaan melebihi apa yang dilakukan yang lain.  “Kalau saya tidak disukai pimpinan berarti pekerjaan saya buruk,” ujarnya.

Ia juga terus membekali diri dengan kuliah terus hingga level yang mampu ia lakukan. Ia S-1 disiplin ilmu Hukum pidana di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, kemudian ia melanjutkan S-2 dan S-3 di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung juga dalam disiplin ilmu hukum pidana. Paling tidak, menurut Hilarius, dengan kuliah terus, ia bisa mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat dan mempunyai nilai lebih.

“Saya ‘berlari’ lagi. Kuliah lagi. Berlari terus. Berlari. Berlari lagi, kuliah lagi. Sehingga, jika Anda mau terlihat, boleh-boleh saja. Tetapi, terlihat dari sudut pandang mana? boleh jelek atau boleh baik. Anda mau jelek, Anda jadi perampok saja. Orang akan bilang, ‘Wah dia jadi perampok,’ terlihat juga. Tetapi, Anda menjadi orang baik, terlihat juga. Walaupun tidak menjamin ini bakal mengantar Anda ke posisi top. Tetapi, paling tidak untuk nilai jual untuk menjadi orang top ada. Karena soal kepercayaan itu beberapa tahap, beberapa penilaian,” demikian Hilarius mengurai alasannya untuk mendapatkan gelar Doktor.

Mengapa memilih pidana?

Alasan Hilarius memilih dan mendalami bidang pidana, selain tuntutan kerjanya sebagai penyidik, juga karena dulu ada anggapan bahwa jurusan hukum pidana lebih rendah di bawah hukum perdata dan orang kurang mau mendalami itu.

“Saya tertarik karena jarang dulu orang yang tertarik hukum pidana. Mereka suka hukum perdata. Perdata itu kan mengurus kebendaan atau kepentingan perseorangan, sementara pidana mengurus tentang perbuatan. Dulu kan perbuatan korupsi itu dianggap biasa dan hanya mendapatkan sanksi administrasi. Tapi lihat sekarang. Pidana sangat berkembang,” ujar dosen S-2 di tiga perguruan tinggi itu.

Sebagai dosen pidana, Hilarius memiliki kewajiban moral kepada masyarakat untuk bisa lebih mengetahui seluk-beluk hukum pidana. Menurut dia, hukum pidana itu tidak serta-merta berarti langsung masuk penjara.  “Akan tetapi, ada proses dan tahapan-tahapannya. Dari kacamata awam, setiap ada kasus korupsi, maka diminta agar langsung dihukum seberat-berat. Namun, dari kacamata hukum pidana, perbuatan korupsi itu harus bisa dibuktikan dulu. Jadi, pemahaman pidana harus dilihat dari kasus per kasus,” tuturnya.

Ia memberikan contoh bahwa masyarakat melihat pidana itu berbeda-beda tergantung perspektif dan siapa yang memberi penilaian. “Anak SD menilai tetangganya yang dituduh korupsi baik, yaitu sah-sah saja. Padahal, dari sisi orang yang mengerti hukum, tetangga anak itu adalah seorang koruptor. Nah, pemahaman-pemahaman seperti itu yang harus diberikan kepada masyarakat terkait hukum pidana,” ujarnya.

Hilarius juga mengingatkan gejala yang terjadi di masyarakat terkait pidana. “Seorang pelapor tindak pidana korupsi, misalnya, adalah wajib hukumnya dilindungi oleh penyidik. Namun, bagaimana pihak KPK, polisi, dan jaksa sebagai penyidik melindungi pelapor jika pelapor itu sendiri yang membuka identitasnya sebagai pelapor. Itu harus diketahui oleh masyarakat,” kata Hilarius.

Prihatin soal Nias Selatan

Ditanya pendapatnya soal daerah kelahirannya, Nias Selatan. Hilarius merasa sedih. “Saya terus terang prihatin dan sedih melihat kondisi Telukdalam khususnya. Dulu waktu tahun ’70-an lihatnya nyaman, indah. Sekarang kok malah seperti begitu, ya?” ujarnya.

Soal pantai di Nias Selatan, yang menjadi andalan utama, justru malah semakin rusak dan tidak bisa dikelola dengan baik. “Soal penambangan pasir itu harus ditangani serius. Peraturan daerah jawabannya. Dan, berikan solusi penghasilan kepada orang-orang yang pencariannya dari menambang pasir,” ujarnya.

Ia juga merasa prihatin sekali dengan suasana pemerintahan di Nias Selatan yang dipenuhi dengan intrik politik yang, menurut dia, tentu sangat mengganggu jalannya pembangunan dan pelayanan kepada publik.

Konflik kepentingan politik antara legislatif dan eksekutif di Nias Selatan, menurut Hilarius, sungguh sangat tidak produktif jika dilihat dari sisi tujuan awal pembentukan Kabupaten Nias Selatan itu.

Ia juga mengharapkan warga Nias Selatan untuk tidak sungkan-sungkan bertanya kepada pemerintah daerah, tentang bagaimana program-program pemerintah daerah dijalankan. Berapa anggaran tersedia, berapa yang sudah terpakai. “Undang-undang menjamin hak masyarakat itu. Pemerintah daerah harus transparan dalam menggunakan anggaran. Itu hak warga masyarakat,” ujarnya.

Ia memberikan contoh, misalnya, program pemerintah daerah tentang pendidikan dan kesehatan gratis. “Masyarakat Nias Selatan berhak mengetahui berapa dana yang digunakan untuk program itu dan sudah habis berapa sejauh ini. Masyarakat jangan hanya lihat gratis dan hasilnya saja lalu puas. Ini juga perlu untuk mengawasi agar pemda tidak dengan mudah menyalahgunakan kewenangan dan tidak terjerumus dalam praktik korupsi,” ujar Hilarius.

Bahkan, Hilarius menambahkan, “Kalau ada penunjukan dari Presiden, eh kamu jadi bupati di sana, sekarang saya berangkat jadi bupati. Benar! Saya panggil semua wartawan, ini  kita buka semua. Dan seharusnya warga Nias itu sudah dapat seperti ini, tahu-tahu hanya segini. Cuma masalahnya, di era sekarang tidak ada penunjukan dari Presiden,” kata kakek dari Odhelia Ginat ini sambil tertawa.

Apa yang dialami masyarakat Nias Selatan kini, kata Hilarius, tidak terlepas dari dampak yang dilakukan saat pemilihan umum beberapa waktu lalu. Tak dimungkiri, kata Hilarius, warga terkadang lebih memikirkan urusan yang dua hari, dengan menerima uang Rp 200.000 yang diberikan oleh kontestan dalam pilkada, ketimbang 2.000 hari lain (lima tahun pemerintahan).

“Masyarakat harus lebih bijak sekarang. Mau terima Rp 200.000 habis dua hari dan 2.000 hari sisanya menderita; atau tidak terima uang itu saat pemilu, tetapi dipastikan selama 5 tahun terjamin kebutuhan pembangunannya karena pemdanya tidak korupsi. Itu yang harus diketahui oleh masyarakat kita di Nias,” ujar Kepala Bagian Pengawas Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Metro Jaya ini.

Ditanya apa yang menjadi obsesi ke depan, Hilarius mengatakan, ia ingin menjadi Ketua KPK dan Hakim Agung.

“Cita-cita itu kan sah-sah saja. Bahwa nanti tercapai itu hal lain. Yang penting, apakah kita punya nilai jual untuk bisa menduduki jabatan itu. Misalnya, untuk menjadi Ketua KPK syaratnya biasanya doktor. Nah, sekarang saya sudah doktor, saya berpangkat AKBP. Saya harus meyakinkan diri saya sendiri dan orang lain bahwa saya punya kapasitas dan punya nilai jual untuk sesuatu jabatan itu. Namun, semuanya itu disandarkan kepada yang Maha Kuasa,” ujarnya.

***

Hilarius Duha & Keluarga
Hilarius Duha & Keluarga

Meskipun sangat sibuk, Hilarius mengaku masih tetap punya waktu untuk keluarga. Hari Minggu adalah hari untuk keluarga. Di samping itu, keluarganya juga sangat memahami dirinya dan pekerjaannya. “Waktu untuk keluarga adalah hari Minggu. Di situ saat saatnya bermain dengan cucu dan juga berkumpul bersama keluarga,” ujarnya.

Setiap hari Minggu, ia biasa memanfaatkannya untuk bercengkerama bersama, pergi beribadah bersama. Sekali-sekali juga mereka mengunjungi tempat pusat perbelanjaan atau mal. [APOLONIUS LASE]

*Pernah dimuat di www.nias-bangkit.com

BIODATA SINGKAT

  • Nama: Dr AKBP (Purn) Hilarius Duha, SH, MH
  • Tempat, tanggal lahir: Hilisatarö, 21 Oktober 1962
  • Istri: Yustina Repi
  • Anak:
    • Sheline Maria Balaki Duha, S.Pd., MSi
    • Regina Tiara Duha, S.Pd
    • Yasinta Claudia Duha
    • Antonius Baluseda Duha
  • Cucu:  Odhelia Ginat

Riwayat Pendidikan:

  • Pendidikan Umum
    • SD BNKP: tamat tahun 1974 di Telukdalam
    • SMP BNKP:tamat tahun 1977 di Telukdalam
    • SMA N 3: tamat tahun 1980/1981 di Jambi
    • S-1   Universitas Kristen Indonesia (UKI) tamat tahun 2006
    • S-2  Universitas Padjadjaran Bandung (Unpad) tamat tahun 2008
    • S-3  Universitas Padjadjaran Bandung (Unpad) tamat tahun 2012

Pendidikan Polri.

  • Sekolah Bintara Polri (Secaba) angkatan 1981/1982
  • Sekolah Perwira Polri (Secapa) angkatan 1995/1996

Karier:

  • Anggota reserse Polres metro Jakarta Pusat (1982-1995)
  • Kanit Reserse di Jajaran Polres Metro Jakarta Pusat (1996-2006)
  • Waka Polsek Metro Sawah Besar Jakarta Pusat (2006-2007)
  • Kaset Ops Polres Metro Jakarta Pusat (2007-2009)
  • Kanit Cyber crime Direktorat Kriminal khusus Polda Metro Jaya (2010- 2012)
  • Kabag Wassidik (Kepala Bagian Pengawas Penyidik) Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya (2012-2014).
RELATED ARTICLES

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments