Home Budaya Ketika Budaya Nias dan Belgia Dipersatukan

Ketika Budaya Nias dan Belgia Dipersatukan

0
Ketika Budaya Nias dan Belgia Dipersatukan
Pasangan Yanto dan Sophie berdansa, sebagai representasi tradisi Belgia, saat mereka melangsungkan resepsi pernikahan mereka di Museum Pusaka Nias. —Foto: NBC

Cinta itu buta, cinta itu indah. Ibarat kisah romantis karya fiksi, dua insan beda negara, beda budaya, dan latar belakang bersatu dalam sebuah pernikahan kudus. Perbedaan justru dipandang sebagai anugerah. Bukankah cinta mengalahkan segalanya?

Ah, mungkin kata-kata ini terkesan klise, gombal, lebay, atau sekadar mencari sensasi bagi sebagian orang. Namun, tidak bagi dua orang yang sedang berbahagia, Yanto Odus Lase dan Anne Sophie Marinne Pirot. Pasangan ini menyatukan cinta dengan menghargai perbedaan yang ada.

Sophie saat acara fametou ono nihalö. Pihak keluarga menyerahkan ni’owalu (pengantin perempuan) kepada keluarga marafule (pengantin laki-laki). —Foto: NBC

Yanto Odus Lase, anak dari pasangan Fatimböwö Lase dan Safira Gulö, warga Desa Lahembõhõ, Kecamatan Alasa, Kabupaten Nias Utara. Ia bekerja di sebuah hotel bintang kelas V di Italia. Adapun Sophie adalah putri dari Leon Joseph Eduar Pirot dan Marie Theres Ladetinggal di Brussels, Belgia. Sophie adalah dokter spesialis. Ia berbahasa Perancis. Sebelum ke Italia, Yanto tinggal di Jakarta.

Meskipun dua sejoli ini dipisahkan oleh benua dengan jarak yang amat jauh, kedua hati yang saling mencinta pun berkomitmen untuk bersatu. Dalam waktu dua tahun saja saling menjajal hati, mereka pun menyatakan serius membina keluarga.

Menikah secara resmi di mata negara ternyata tidak membuat mereka melupakan budaya masing-masing. Yanto dan Sophie memiliki impian besar melaksanakan pernikahan mereka secara agama dan adat di Indonesia. Terutama Yanto, sebagai anak Nias yang kental dengan tradisi dalam pernikahan, ia bertekad memperkenalkan budaya Nias kepada keluarga besar istrinya. Dan, mimpi itu jadi kenyataan pada Sabtu, 9 Agustus 2014 bertempat di Museum Pusaka Nias, Jalan Yos Sudarso, Gunungsitoli. Adapun pernikahan secara agama dilaksanakan di Gereja St. Fransiskus Asisi Laverna, Gunungsitoli pada hari yang sama.

Pemberian afo (sirih), salah satu tradisi yang harus ada dalam acara pernikahan di Pulau Nias, kepada pihak keluarga pengantin perempuan. —Foto: NBC

Acara ini disaksikan 25 orang dari keluarga Sophie yang secara khusus datang dari Belgia, tentu alasannya, antara lain, adalah penasaran dengan budaya pernikahan orang Nias. Asa itu membawa mereka terbang ke Pulau Nias.

Baca juga:  Strategi Pengembangan Bahasa Nias: Konsentrasi pada Konten Bermutu

Momen pernikahan seperti ini menjadi sangat langka. Ratusan hadirin yang berasal dari keluarga, kampung asal, teman dan undangan lainnya dari pihak Yanto terlihat antusias mengikuti acara demi acara.

Pihak keluarga marafule, biasanya kaum perempuan seperti ibu, tante, saudara perempuan, kakak ipar, menyambut nono nihalö untuk pertama kalinya. —Foto: NBC

Uniknya, perbedaan dari kedua belah pihak tidak menjadi penghalang keakraban. Walau mereka tidak dapat berkomunikasi satu sama lain karena kendala bahasa, tetapi makan semeja, duduk setenda, dan famaena bersama membaurkan dua keluarga ini menjadi satu tanpa halangan.

Ada bahasa universal, yaitu cinta, yang telah menyatukan dua insan, Yanto dan Sophie. Bahkan, kekuatan cinta mereka pun terbukti bisa mempersatukan dua keluarga, dua budaya, dua bangsa, yang berbeda.

Ya, cinta itu mempersatukan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.