Anda tahu kan tahu? Hmmm, makanan enak, berbahan baku kacang kedelai ini kini menjadi makanan favorit masyarakat Nias lho. Bisa digoreng begitu saja dengan direndam dengan air garam dan bawang putih lalu dimakan dengan sambal. Tahu juga bisa diolah menjadi sayuran, dicampur dalam tumisan. Adalah Ferry Saputra Lase (52), warga Mazingö, Desa Hiligodu, Gunungsitoli Selatan, Kota Gunungsitoli, pulang kampung dan mampu “melawan” serbuan tahu dari seberang. Berita baiknya, tahu buatan Ferry sukses jadi tuan di kampungnya sendiri.
Sekadar pengetahuan saja, menurut penelusuran NBC, manusia mulai mengonsumsi tahu sejak 2.200 tahun yang lalu, saat Dinasti Han dari negeri Tiongkok mulai membuat tahu dan memperkenalkannya ke Asia Tenggara dan Asia Timur. Pada zaman dulu, tahu merupakan makanan khusus yang dihidangkan untuk para raja. Seiring berjalannya waktu, kepopuleran makanan sederhana ini cepat meluas dan memperkaya khazanah kuliner dunia.
Meski masih kalah saing dengan ikan dan daging, tahu memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Dalam 100 gram tahu mengandung energi sebesar 68 kilokalori, protein 7,8 gram, karbohidrat 1,6 gram, lemak 4,6 gram, kalsium 124 miligram, fosfor 63 miligram, dan zat besi 1 miligram. Selain itu di dalam tahu juga terkandung vitamin A, vitamin B1 0,06 miligram, dan vitamin C. Berkat kandungan gizinya yang tinggi juga murah dan mudah didapat, membuat keberadaan tahu memiliki nilai tersendiri jika disajikan di atas meja makan.
Fakta lainnya, selama ini, jauh sebelum kedatangan Ferry ke Nias, kebetuhan akan tahu yang tinggi dari orang Nias dipasok dari Sibolga. Kondisi inilah yang melecut jiwa kewirausahaan Ferry untuk membulatkan tekad pulang ke Nias dan berjanji menjadi pengusaha tahu di tanah kelahirannya. Untuk diketahui, Ferry telah meninggalkan kampungnya sejak ia berumur 19 tahun. Ia merantau ke Padang dan Pekanbaru.
Satu Truk Tahu di Feri
Jauh sebelum pulang ke Nias, Ferry memang sudah lama malang-melintang di dunia usaha. Berbagai usaha pernah dia lakoni selama di perantauan, mulai dari menjadi kontraktor, beternak ayam, membuka toko kelontong, hingga menjadi pedagang kaki lima yang menjual tahu sumedang di Padang, Sumatera Barat.
Pada awal 2012, saat Ferry berlibur ke Nias, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak biasa di dalam feri yang membawanya dari Sibolga menuju Kota Gunungsitoli. Sebuah truk ekspedisi bertonase besar mengangkut ratusan ember berukuran besar berisi tahu dari Sibolga. Naluri wirausahanya pun bangkit. Ayah empat anak ini pun memendam asa untuk membuka usaha pembuatan tahu.
“Entahlah, melihat tahu sebanyak itu, saya seperti tergerak untuk membuat tahu. Padahal, saya tidak tau caranya. Tapi kalo saya lihat begitu banyak tahu di atas truk, saya yakin, permintaan tahu ke Nias cukup tinggi. Di situlah saya mikir dan memantapkan pilihan, saya harus jadi pengusaha tahu,” ujarnya kepada NBC.
Modalnya hanya nekat dan sebidang tanah di seberang rumah orangtuanya yang terletak di Mazingö, Desa Hiligodu arah Nias Tengah, Kecamatan Gunungsitoli Selatan, lebih kurang 12 kilometer dari Kota Gunungsitoli.
Awalnya Ferry tidak mengetahui seluk-beluk pembuatan tahu. Satu-satunya pengalaman yang dipunyai adalah menjadi penjual tahu keliling. Namun, karena tekadnya sudah bulat, dia pun berguru kepada produsen tahu di Pekanbaru yang biasa menitipkan tahu sumedang untuk dijualnya.
Tidak Takut Gagal
Meski usahanya mulai dirintis sejak awal tahun 2012, selama enam bulan pertama Ferry selalu dihadapkan pada kegagalan. Setiap kali membuat tahu, selalu gagal dan gagal. Kalaupun tahu yang dibuatnya jadi, warnanya kusam, tidak bersih seperti yang diharapkan.
“Wah, kalau saya ingat lagi awal proses membuat tahu waktu itu, benar-benar penuh perjuangan. Gagal terus tidak ada satu pun tahu yang jadi. Sebentar saya balik ke Pekanbaru untuk belajar lalu kembali lagi ke Nias. Begitu terus sampai beberapa kali. Beruntung teman saya, pembuat tahu sumedang itu, tidak pelit berbagi ilmu. Kami sama-sama mencari tahu mengapa bisa gagal,” ujar Ferry dengan semangat.
Kuatnya tekad untuk membuat tahu yang sempurna, putih dengan tekstur lembut, membuat Ferry menganggap kegagalan yang dihadapinya sebagai sebuah proses pembelajaran yang berharga.
“Saya terus berusaha membuat tahu yang terbaik. Kadang jadi, tetapi tidak sesuai dengan harapan saya. Ya, tidak saya jual. Ada saja kesalahan. Kadang sepele, seperti salah membeli kacang kedelai, fermentasinya kurang sempurna, mencuci kedelainya kurang lama, atau proses menggilingnya tidak sesuai takaran. Tapi, saya tidak putus asa. Uang habis begitu saja hanya untuk percobaan membuat tahu, he-he,” kata Ferry.
Semakin sering gagal, Ferry semakin mendekati keberhasilan. Kurang lebih akhir tahun 2012 usaha pembuatan tahu mulai menunjukkan hasil. Cita-citanya membuat tahu yang bersih dan tanpa pengawet pun akhirnya tercapai.
Tahu tanpa bahan pengawet itu kemudian diberi nama merek Tahu Nias. Karena tidak diberi bahan pengawet, tahu buatan Ferry hanya bertahan maksimal dua hari jika tidak dimasukkan ke lemari pendingin.
“Tahu buatan saya ini seperti ikan atau daging. Ikan atau daging kalau tidak segera diolah maksimal dua hari, tidak segar lagi. Itu yang banyak tidak dimengerti oleh konsumen di Nias. Tahu dari seberang meski didiamkan selama seminggu tidak akan rusak karena telah diberi bahan pengawet. Semakin keras bahan pengawet yang digunakan, tahu semakin tahan lama dan keras. Kalau dibanting ke lantai tidak hancur. Sementara tahu bikinan saya, saking lembutnya gampang rapuh. Itu sebenarnya tahu yang bagus,” ujarnya.
Salah seorang pelanggan setia Tahu Nias, Ina Resti Gulὃ asal Mandrehe, Nias Barat, kebetulan mampir untuk membeli tahu. Sepeda motor yang ditumpanginya sarat dengan barang yang baru saja dia beli di Kota Gunungsitoli. Kepada NBC, ibu satu anak ini bercerita mengapa dia membeli Tahu Nias.
“Tahunya empuk tidak keras. Kalo digoreng tidak bau obat. Saya beli sepuluh, cukup untuk keluarga saya. Kadang tahu digoreng atau saya gulai,” ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Ya’aro Lase alias Ama Delvy, personel Polres Nias, yang berdomisili di Kompleks KBN, mengaku selalu mengonsumsi tahu buatan Ferry. “Ini makanan favorit saya dan bahkan hampir semua orang Nias suka dengan tahu ini. Tahu ini dikejar orang karena tanpa pakai pengawet seperti formalin,” ujar ayah dari tiga anak ini.
Kewalahan Penuhi Pesanan
Pada akhir tahun 2014, usaha pembuatan tahu berkembang dengan cepat. Ferry mengaku kewalahan memenuhi permintaan pasar. Tahu buatannya mulai mendapat tempat di hati konsumen di Pulau Nias.
“Saya baru bisa memenuhi pesanan untuk konsumen perseorangan dan para pedagang di Pasar Beringin, Pasar Pagi, dan Pasar Nou. Sementara untuk pasar kecil, terutama di harimbale (pasar kampung) saya belum mampu memenuhinya,” ujarnya kepada NBC.
Meskipun belum maksimal, nyatanya usaha pembuatan tahu milik Ferry mempunyai nilai ekonomis yang cukup berarti bagi masyarakat di sekitar tempatnya tinggal. Selain membuka lapangan kerja bagi 16 karyawan, rata-rata Ferry menghabiskan 10 ton kacang kedelai per bulan.
“Sejauh ini hasilnya sudah lumayan, saya berani mengambil kredit pikap untuk mengantar dan menjual tahu ke pasar-pasar. Saya juga bisa mulai memperbaiki rumah orangtua saya ini. Selain tahu saya membuat tempe dan susu kedelai. Dalam sehari rata-rata 5.000 potong tahu laku terjual. Sedangkan tempe rata-rata 70 kg setiap hari,” ujarnya.
Tantangan ke Depan
Ferry optimistis usahanya dapat maju lebih pesat lagi. Melihat peluang masih terbuka lebar, ia berencana melebarkan sayap usaha pembuatan tahunya dengan membuka cabang. Mengingat bahan baku kacang kedelai masih didatangkan dari Sibolga, Ferry berharap pada instansi terkait dapat bekerja sama untuk memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada petani lokal untuk mulai membudidayakan kacang kedelai.
“Saya berharap dengan adanya usaha saya ini dapat membuka mata pemerintah daerah untuk lebih fokus pada usaha kewirausahaan masyarakat. Bagus sekali jika petani lokal mulai diajak untuk menanam kacang kedelai. Saya pasti lebih memilih untuk membeli semua hasil petani kita daripada beli dari luar,” ujarnya kepada NBC.
Harus Ikhlas
Sampai sekarang, Ferry menjual tahu buatannya dengan harga Rp 6.500 per buah dan tempe dihargai Rp 18.000 per kilogram. Apabila kita hitung secara kotor dalam sehari Ferry mampu mengantongi keuntungan sebesar Rp 3.250.000 untuk tahu dan Rp 1.260.000 per hari. Belum lagi susu kedelai yang mulai diproduksinya dalam bentuk kemasan.
“Mungkin saya belum bisa dibilang sukses. Tapi, saya rasa semua orang yang biasa usaha pasti punya pendapat yang sama dengan saya. Membuka usaha itu harus ikhlas dari awal. Tidak usah menghitung berapa untungnya. Rezeki itu sudah ada yang mengatur. Pokoknya, jalan terus dan jangan menyerah. Jangan patah semangat. Saat saya mengatakan ide saya membuka usaha pembuatan tahu di Nias, semua orang merasa heran dan tidak yakin. Apalagi saat saya gagal-gagal terus. Tapi, sekarang tidak begitu. Jadi, jangan pikirkan soal takut rugi. Jalan saja terus,” ujarnya.
Barusan saja Ferry membuka mata kita. Jangan pernah takut untuk memulai dan mencoba. Kini peluang lain datang, menjadi petani kedelai. Lalu, bukan tidak mungkin akan muncul tukang gorengan gerobak yang menambah menu dengan tahu goreng; para pengusaha restoran juga tak salah mengolah tahu ini menjadi panganan yang bisa memanjakan lidah konsumen.
Terima kasih Pak Ferry atas terobosan kerennya. Jadi pengen makan tahu isi nih. [Ketjel Parangdjati Zagötö]
Artikel ini pernah ditayangkan di Nias-bangkit.com dan diterbitkan di sini semata-mata untuk keperluan dokumentasi.
Pengusaha tahu sukses di Pulau Nias. Wirausaha seperti ini yang perlu terus diciptakan di Pulau Nias.