Setelah Jadi Anggota Legislatif, Sombongnya Luar Biasa…

PEMILU LEGISLATIF 2019

0
2340
Ilustrasi: Anggota DPRD terpilih menjalani pengambilan sumpah. Setelah dilantik diharapkan tidak melupakan konstituen yang memilihnya. termasuk juga yang tidak memilih.

Oleh Aroziduhu Gulö, Caleg DPRD Sumut Dapil 8 dari Partai Demokrat No Urut 1
[icon name=”facebook-official” class=”” unprefixed_class=””] Adrianus Aroziduhu Gulö

Perjalanan selama satu minggu mulai dari tanggal 22 sampai 27 Oktober 2018, meski sedikit terasa melelahkan, tetapi cukup menyenangkan. Pasalnya, lewat pertemuan demi pertemuan, saya banyak mendengarkan. Lewat proses itulah saya menjadi lebih mahfum apa keinginan masyarakat.

Dalam proses safari atau sebutlah sosialisasi diri terkait niat saya untuk menjadi wakil rakyat di Sumatera Utara mewakili Kepulauan Nias, saya pernah pulang ke rumah di Gunungsitoli lewati larut malam. Seperti pada saat mengunjungi Amandraya, Kabupaten Nias Selatan, saya tiba di Kota Gunungsitoli pukul 2 pagi. Selama perjalanan itu, tiga kali mobil kami mogok. Untung sopir mengerti sedikit soal cara kerja mesin dan masalah bisa diatasi sehingga bisa sampai di Gungungsitoli, meski dengan hati yang dag-dig-dug juga. Sementara dari Talafu baru sampai di rumah di Gunungsitoli pukul 22.00 malam. Perjalanan memang terasa jauh ditambah kondisi jalan yang dilewati juga di beberapa tempat kurang bersahabat. Namun, hati ini tetap gembira. Mengapa? Ada banyak pengalaman baru yang penulis peroleh.

Dalam beberapa waktu terakhir, saya berkesempatan mengikuti beberapa kegiatan di sejumlah paroki, yakni musyawarah pastoral (muspas). Paroki-paroki tersebut adalah Gidö, Salib Suci Nias Barat, Amandraya, Idanögawo, Lahewa, dan Talafu-Botomuzöi. Perjalanan di sejumlah tempat tersebut seperti bernostalgia karena pada tahun 1975 hingga 1977 dan 1980 hingga 1982 saya rajin mengunjungi stasi-stasi bersama pastor di wilayah Paroki Nias Barat. Saat itu, ada 42 stasi dan berada dalam beberapa wilayah Kecamatan Mandrehe, Sirombu, dan sebagian Alasa (belum ada pemekaran Kecamatan ataupun Kabupaten).

Bedanya perjalanan kali ini tidak hanya melulu iman yang dibicarakan, tetapi juga hal-hal yang menyangkut badani, duniawi. Waktu itu dilakukan dengan jalan kaki, sekarang naik mobil. Tidak mengunjungi stasi, melainkan mengunjungi paroki, tidak banyak ceramah, melainkan banyak mendengar.

Saat melakukan sosialisasi saat musyawarah pastoral di Nias Utara, Bupati Nias Utara Marselinus Ingati Nazara memberikan sambutan di depan jemaat.

Apa ini gejala sudah naik level atau pangkat? Tidak. Tak ada hubungannya dengan level atau pangkat. Namanya era atau masa akan terus berubah. Waktunya saja dan orangnya yang berbeda. Tujuannya hampir sama, yaitu berbagi pengalaman dengan umat. Kalau dulu berbaginya lebih dominan pengalaman iman, sedangkan sekarang, selain pengalaman iman, juga pengalaman selama di birokrasi dan di bidang politik. Apalagi sebagian besar peserta muspas sudah tahu bahwa kami telah terdaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg). Tidak mengherankan, pertanyaan dari peserta ada yang berkaitan dengan pileg dan pilpres serta kondisi politik lokal maupun nasional.

Dulu Ramah

Bagi orang yang punya perasaan pertanyaan dan pernyataan peserta sangat masuk akal, manusiawi, dan sederhana. Ada pernyataan yang menarik yang mungkin perlu saya bagikan lewat tulisan ini.

Misalnya, salah seorang peserta bilang begini, “Dulu Si A saat sosialisasi di tempat ini sangat ramah, murah senyum, dan begitu tampil bersahabat. Ia selalu hadir pada acara-acara gereja (pesta pembangunan gereja, Paskah, Natal, dan lain-lain), pesta perkawinan, serta saat ada ada umat yang mengalami kemalangan. Ia memberikan papan bunga yang sangat besar sehingga mudah diketahui siapa pengirim papan bunga tersebut. Luar biasa, akhirnya banyak orang yang bersimpatik kepadanya dan ia terpilih serta dilantik sebagai anggota legislatif.

Bapak itu melanjutkan. Setelah  dilantik, Si A  langsung berubah 180 derajat. Senyumnya tidak semerkah dulu lagi. Ia pun sudah jarang ikut acara-acara gerejawi, ke pesta perkawinan dan kemalangan juga tidak pernah tampak lagi. Apalagi untuk mengirim papan bunga, sudah jarang sekali. Kaca mobilnya pun jika lewati rumah penduduk tetap tertutup. Jika dihubungi melalui telepon seluler, tidak diangkat. Ketemu di jalan atau di pasar, ia buang muka. Pura-pura lupa, pura-pura tidak kenal. Mengapa demikian? Hanya bapak anggota dewan itu yang bisa menjawabnya. Kami hanya menduga bahwa Si A adalah penganut fanatik pepatah: ”Habis manis sepah dibuang”. Apakah ia takut dimintai uang? Tidak. Kami tidak butuh uang dan bukan pengemis. Kami masih bisa hidup dari rezeki yang diberikan Tuhan kepada kami setiap hari. Kami hanya ingin Si A konsisten pada janjinya, tidak berubah sikap, bersikap apa adanya. Kami hanya ingin Si A jangan seperti kacang lupa kulitnya. Begitu keluhan bapak peserta muspas itu. Apa nilai dari keluhan penanya itu, mari kita renungkan bersama.

Baca juga:  Defisit APBD Kabupaten Nias Barat Rugikan Masyarakat

Kehadiran kami di Muspas Paroki lebih banyak mendengar, kami hanya menyampaikan garis-garis besar bagaimana menyukseskan pemilu dan agar menentukan pilihan menurut kata hati. Maka kami memberi keleluasaan kepada peserta Muspas untuk bertanya serta memberi tanggapan  sesuai alokasi waktu yang telah diberikan oleh moderator. Hampir di setiap Muspas yang kami ikuti, beberapa peserta menceriterakan pengalaman yang sama tentang sikap beberapa caleg tahun 2o14 berubah sikap setelah dilantik menjadi anggota legislatip yaitu arogan,pura-pura sibuk dan lupa pada mantan tim suksesnya.

Menyikapi Dengan Hati-Hati

Mendengar pertanyaan dan pernyataan dari peserta muspas, di satu sisi saya sangat terkejut mendengarnya, mengapa ada anggota legislatif arogan dan lupa pada orang yang sudah menolongnya. Di sisi lain, ini merupakan peringatan bagi saya sebagai caleg tahun 2019 agar tetap menjaga dan memelihara hubungan baik dengan orang-orang yang sudah memperjuangkan saya, memberikan suaranya kepada saya saat di bilik suara. Minimal bersikap apa adanya. Kalau ketemu disapa dan jangan pura-pura lupa. Kendatipun sudah naik mobil, pakai kacamata hitam, atau mungkin sudah memakai bodyguard, he-he.

Bagaimana menanggapinya pertanyaan seperti ini. Saya tetap hati-hati agar tidak terjadi “penghukuman sepihak”. Karena itu, saya menanggapinya dengan menceriterakan pengalaman pribadi. Saya sampaikan seperti ini. Saya bisa menjadi seperti ini karena gereja menyekolahkan saya. Bisa menjadi katekis, tentara, PNS, Kepala Kantor Sospol, Kepala Bagian Kesbangpol dan Linmas, bahkan menjadi Bupati Nias Barat, karena kebaikan Tuhan melalui hati dan tangan orang-orang lain. Karena itu, ketika menjabat, saya distribusikan kebaikan Tuhan yang telah saya terima kepada orang lain sebagai ucapan syukur saya atas kebaikan Tuhan. Saya menerimanya dari Tuhan secara cuma-cuma, saya distribusikan kepada orang lain dengan cuma-cuma juga.

Ketika  menjabat Bupati Nias Barat, saya mengangkat ASN dalam jabatan struktural maupun fungsional tanpa meminta dan mengharapkan imbalan. Mengapa? Di satu sisi saya anggap hal itu merupakan tugas dan tanggung jawab yang melekat pada jabatan saya. Sementara di sisi lain, itu merupakan hak dari ASN.

Ada hal menarik yang saya alami. Bukannya mendapatkan apresiasi, malah sebaliknya, saya dikhianati. Ada beberapa ASN yang saya promosikan dalam jabatan malah mencemooh, memfitnah, dan mengkhianati saya. Itu tidak terjadi sekali. Beberapa kali dengan ASN yang berbeda-beda. Bagaimana sikap saya? Saya tetap biasa-biasa saja. Saya anggap itu manusiawi.

Menurut hemat dan keyakinan saya, kebaikan yang saya berikan kepada mereka adalah kebaikan dari Tuhan yang telah saya terima sebagai berkat. Oleh sebab itu, kita tidak perlu takut, pelit, malas berbuat baik. Kendatipun orang itu tidak membalasnya, malah sebaliknya melupakan dan mengkhianati. Berbuat baik dan menolong sesama adalah wujud iman sekaligus menjadi berkat bagi orang lain. Saya berusaha untuk tidak mau menuntut “balas jasa”.

Kendatipun demikian, secara agama, etika, norma dan nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat mengajarkan kepada kita bahwa tidak sepantasnya melupakan orang yang pernah menolong, membantu, baik secara moril maupun material. Apalagi tidak boleh menghina, mencemooh, memfitnah, dan mengkhianati. Kalau ada salah paham, buka ruang dialog. Ada peribahasa mengatakan: “Manusia rambut sama hitam, tetapi sikap dan perangainya berbeda.” Malah ada yang sikapnya aneh-aneh. Kemungkinan besar caleg yang lupa pada orang yang sudah menolongnya dan sombong adalah termasuk manusia aneh. Kalau ia termasuk golongan manusia aneh kita mau bilang apa. Paling-paling kalau ia maju lagi sebagai caleg, jangan dipilih lagi. Setuju? Peserta hampir serentak menjawab: Setujuuuuuu!

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.